Entah ia dibujuk atau justru dijebak, toh pada akhirnya Julie maupun orang tuanya tak punya pilihan. Antara Julio yang menawarkan perlindungan atau Jonathan yang jelas-jelas masih memburu Julie. Jika memilih berlepas dari uluran tangan Julio, maka Pak Pramudya harus siap melindungi Julie dari segala kebengisan Jonathan. Dan sayangnya pria itu merasa bahwa ia tak mampu untuk melawan kekuasaan, uang, dan kelicikan Jonathan.
Tak ada pilihan selain menerima pernikahan itu untuk dilangsungkan secepatnya, seperti yang diinginkan oleh Julio. Entah bahaya apa yang menanti Julie di depannya. Pak Pramudya merasa sedemikian tidak bergunanya untuk melindungi Julie. Ia amat menyesal, tapi menyesal saja tak akan cukup untuk mengubah keadaan.
Setelah pertemuan keluarga siang tadi, malamnya Julie akan dibawa untuk bertemu dengan keluarga besar Harisman. Gadis itu menerka bahwa Jonathan akan ia temui di sana.
Tak ada barang atau emas sebagai mahar atau seserahan yang mereka minta di pertemuan tadi siang. Satu-satunya yang diminta oleh Pak Pramudya, jika saja itu bisa dianggap sebagai mahar, ia hanya ingin keselamatan Julie. Tentu saja permintaan itu disanggupi oleh Julio dan didukung oleh Pak Karim.
Rumah Pak Karim sudah ramai oleh saudara, anak-anak, keponakan-keponakan, dan kerabat mereka. Begitu dikabari jika salah satu dari anggota keluarga Harisman akan menikah, mereka semua langsung berkumpul.
Julie menanti dengan resah di kediaman pria yang disebut-sebut sebagai paman oleh Julio itu. Sejak tadi, gadis itu tak banyak berbicara. Hanya terlihat menghela napas panjang.
“Ayo kita keluar,” ajak Julio agar Julie bersedia mengikutinya meninggalkan kamar tamu. Sudah ada banyak saudara-saudaranya di luar yang menanti untuk berkenalan dengan Julie.
“Yo,” panggil Julie, sesaat mencegah tarikan pria itu. “Kenapa buru-buru banget, kamu gak liat kondisi aku? Aku masih patah tulang, aku malu menemui keluargamu. Lebih dari itu, kamu pernah gak nanya apa aku punya trauma atau gak untuk ketemu sama Om Jonathan?”
Julio menangkup sisi wajah Julie yang sebelah kanan, mengelusnya perlahan. Tapi, beberapa detik kemudian Julie memalingkan wajahnya.
“Liat aku,” pintanya. Suaranya selalu sama, sama lembutnya. Selalu membujuk. “Kamu nanya, ‘kan? Makanya liat aku, biar aku bisa jawab kamu.”
Julio meraih wajah Julie agar menghadap padanya. Kedua tangannya memegangi kedua sisi permukaan wajah Julie. Selalu mengelusnya, dan selalu saja sukses membuat Julie kalah dari pria itu. Ia terbuai akan lembutnya cara Julio memperlakukannya.
“Kenapa cepat sekali? Karena aku ingin benar-benar melindungimu. Begitu kita mengumumkan pernikahan ini, Jonathan bisa saja melakukan sesuatu hingga kamu benar-benar sah menjadi istriku. Makanya aku gak mau membuang-buang waktu, malam ini kita mengumumkannya di depan keluargaku, besok pagi kita akad nikah. Urusan resepsi itu nanti belakangan. Untuk sekarang adalah memastikan bahwa Jonathan tidak akan melakukan sesuatu pada istriku.”
Sial, pria ini buru-buru sekali. Bahkan sudah mencap Julie sebagai istrinya, padahal ijab kabul baru akan dilaksanakan besok pagi kalau tidak ada hal buruk yang dilakukan oleh Jonathan untuk menggagalkan pernikahan tersebut.
“Katamu besok, ‘kan?”
“Iya.”
“Kalau begitu tunggulah sampai besok untuk menyebutku sebagai istrimu. Jangan sampai aku mati duluan karena ditembak oleh Jonathan malam ini,” ketus Julie lalu menepis tangan Julio. Ia melangkah duluan, berniat meninggalkan Julio. Ia merasa dalam bahaya jika terlalu dekat dengan pria itu. Merasa bahwa dirinya makin lemah. Tapi, kalau ia jauh dari Julio, ia juga merasa dalam bahaya, seperti ia tiba-tiba ditangkap Jonathan.
“Mau ke mana?” Julio mencegah dengan mencekal lengan Julie. “Jangan ke mana-mana tanpaku. Aku tidak mau kau lepas dari pengawasanku. Paham?”
“Kau takut aku dibunuh Om Jonathan?”
Julio sedikit tertawa. “Dia tidak akan melakukannya. Satu helai rambutmu yang dia berani sentuh akan membuatnya kehilangan semua asetnya. Dia tidak sedermawan itu untuk menyerahkan semua hartanya.”
“Biar kutanya, apa yang kau dapatkan dari melakukan ini padaku?”
Julio mengerutkan keningnya. Entah benar-benar tak tahu maksud Julie atau sedang berpura-pura bodoh.
“Apa untungnya buat kamu dengan melindungiku?” ulang Julie, memperjelas maksudnya.
“Tentangmu aku tidak membahas soal untung-untungan,” bisiknya.
Pria sialan itu membuat Julie tremor. Julie gampang sekali dibuat terbuai dengan kata-kata yang manis. Ia gampang termakan rayuan dan gombalan. Apalagi saat Julio menyapukan ujung ibu jarinya di pipi Julie. Gadis itu tak kuasa, ia benar-benar kalah dari pria itu. Mata Julio, sentuhannya, atau bahkan tiap kata-katanya, semuanya amat mempesona.
“Aiii … percalah padaku. Jangan melakukan ini karena kamu tidak punya pilihan lain, tapi karena kamu percaya sama aku.”
Mata Julie bergerak-gerak dengan gelisah. Sepertinya tengah mengamati atau mencari kepercayaan yang Julio minta padanya. Bisakah ia benar-benar percaya pada pria itu?
“Kalau begitu buat aku percaya sama kamu.”
“Kamu percaya gak kalau aku masuk ke mini market waktu itu bukan karena ingin berbelanja, tapi karena kamu masuk ke sana, karena kamu tampak begitu putus asa makanya aku ngikutin kamu? Kamu percaya gak kalau aku menyewa di tempat kosmu bukan karena aku butuh tempat, tapi karena itu kamu?”
“Oh ya?”
Julio mengangguk kecil.
“Kenapa?”
“Karena kamu, karena itu kamu, makanya aku melakukan itu.”
“Kenapa?”
“Bisakah kamu tidak perlu mempertanyakan alasannya? Bisakah itu menjadi bukti bahwa kamu percaya sama aku? Di masa depan, setelah kita menikah besok, aku mungkin tidak bisa menjawab semua pertanyaan kamu. Karena itulah aku meminta kepercayaanmu, tiap hal yang kulakukan, tolong percaya padaku. Bisakah kamu melakukan itu?”
Julie tidak menjawabnya. Ia justru memberanikan diri untuk memeluk mesra pria itu, dengan kedua belah bibirnya. Menyatakan rasa cinta dan kepercayaannya tanpa perlu sepatah kata pun. Oke, bodoh amat. Biarlah ia menyesalinya nanti karena terlalu mudah terbuai oleh Julio. Itu urusan belakang. Ia mungkin harus mendatangi Pak Pramudya dan Bu Margaretha sambil menangis-nangis karena patah hati. Tapi, untuk sekarang ia hanya ingin merasakan bahwa pria itu juga mencintainya. Biarlah jika perasaan itu hanya seolah-olah terjadi. Seperti sesuatu dalam bayangannya saja.
Julie memulai lebih dulu, tak harus selalu menunggu agar pria yang memulai. Toh antara ia dan Julio, selalu ia yang memulai. Mulai mengajak pacaran duluan walau diabaikan. Kali ini, ia tak perlu malu untuk memulai ciuman tersebut. Termasuk untuk menghisap pelan bibir bawah Julio. Mendekap mesra bibir yang terasa hangat itu.
Julio tidak melakukan apa-apa. Tak membalas, atau bahkan menolak. Tidak, hanya diam saja. Membiarkan Julie melakukan apa yang diinginkannya hingga gadis itu selesai dan menarik diri.
Julio tersenyum miring, ia sentuh permukaan bibir Julie yang basah oleh bekas penyatuan kedua bibir mereka. “Lihatlah siapa yang sebenarnya sangat terburu-buru.”
“Bu-bukan aku.”
“Jadi, apa itu aku?” bisik Julio. “Ayo, kita keluar, Ai …. Jika kita tidak keluar sekarang, mungkin kau akan tau apa itu definisi terburu-buru yang sebenarnya.”
Julio membawa calon mempelainya keluar untuk bertemu keluarganya. Di tempat itu ada Jonathan yang tersenyum miring begitu ia dapati Julie terlihat ketakutan dalam rengkuhan Julio. Bahkan saat Jonathan diam saja, Julie sudah senam jantung.
Jonathan bergerak mendekati Julie dan Julio.
“Nona Julie Adriyana Hermawan,” ujarnya. “Ah, atau sekarang sudah menjadi Nona Julie Adriyana Harisman. Bukan denganku, tapi dengan Harisman yang lain. Senang kau menjadi salah satu dari kami. Pada akhirnya kau menjadi Harisman juga,” ujarnya dengan senyum licik.
“Terima kasih sudah menyambut ramah calon istriku, Pa,” ujar Julio, juga dengan senyum licik. “Julio senang Papa bisa menerima kami.”