Baru tiga hari Julie kembali ke tempat kos, tapi ia mulai rajin mengomel dan marah-marah. Bagaimana tidak mengomel kalau kurcaci-kurcaci nakalnya selalu punya seribu satu alasan untuk mangkir dari p********n sewa kos-kosan. Sengaja meninggalkan kos-kosan sebelum Julie bangun, lalu kembali tengah malam saat Julio sudah mengamankan Julie di dalam kamar. Atau kalau lagi apes ketemu Julie, ada saja yang tiba-tiba mengeluh sakit. Yang sudah Julie tebak palingan hanya kepura-puraan.
“Lama-lama aku usir juga itu kurcaci-kurcaci nakal,” omel Julie.
“Ai, kita pindah, yuk,” ajak Julio.
Semakin lama Julie jadi ibu kos, bisa-bisa naik tekanan darahnya. Bisa bahaya untuk kehamilan Julie.
“Pindah ke mana?”
“Pindah rumah, di sini gak bagus.”
“Kenapa? Gak bagus apanya?”
“Gak bagus buat kesehatan kamu dan bayi kita, termasuk gak baik juga buat aku.” Karena aku juga ikut-ikutan dimarahin. Julio melanjutkan dalam hati.
“Maksudnya?”
“Baru tiga hari di sini, kamu marah-marah terus. Kasihan loh bayi-bayi kita kalo mamanya marah-marah terus.”
“Soalnya kurcaci-kurcaci nakal itu pada gak mau bayar sewa. Coba aja mereka bayar sewa, aku gak bakalan marah-marah.”
“Makanya aku ngajakin kamu pindah, untuk urusan kos-kosan serahin lagi aja ke Babe Ahmad. Kamu tinggal santai-santai aja di rumah. Katanya cita-cita kamu mau hidup yang santai kayak di pantai.”
“Gak mau, aku sekarang mau jadi ibu kos. Aku suka di sini, rame. Kalo tinggal di rumah kamu pasti sepi, ‘kan?” Julie menghempaskan tubuh di sofa. “Sekarang cita-citaku udah berubah, aku gak mau santai-santai lagi, aku mau jadi ibu kos yang sukses. Aku bahkan belum memenangkan pertarungan. Aku bakalan ngalahin kakak-kakakku.”
“Bukannya kamu udah menang? Kata Papa kan kamu yang menang.”
“Aku menang karena aku doang yang jujur. Bukan karena aku berhasil bikin kurcaci nakal itu jadi kurcaci baik. Aku tuh pengen ngebuktiin ke Papa kalo aku juga bisa melakukan sesuatu. Ya, gak perlu sesuatu yang besar kayak yang dilakukan Kak Nughie atau Kak Sophie, cukup jadi ibu kos aja, yang penting aku bisa ngurusin kos-kosan ini tanpa bikin bangkrut.”
Julio ingin mendebat sebenarnya, ingin menggunakan haknya sebagai kepala rumah tangga untuk memberi perintah agar Julie menurut, tapi ia urungkan. Ucapan Julie benar adanya. Bagaimanapun wanita itu pasti mau juga membuktikan diri pada orang tuanya agar tak selalu dicap sebagai beban keluarga.
Julie pernah bercerita, di salah satu malam setelah mereka menikah. Ia mengaku terkadang iri melihat kakak-kakaknya yang sukses dan selalu menjadi kebanggaan Pak Pramudya dan Bu Margaretha. Sementara ia selalu membuat masalah. Terakhir kali ia malah membuat masalah dengan Jonathan hingga membuat seluruh keluarganya cemas dan takut.
“Yo, kita harus pindah?” tanya Julie dengan lemas. Sadar bahwa sebagai istri, ia harus selalu siap menurut pada Julio.
“Gak, kita tetap di sini.”
“Bener?”
“Bener, asal marah-marahnya dikontrol.”
“Asal kurcaci-kurcaci itu gak nakal, ya aku gak bakalan marah-marah.”
“Ai, mungkin gini deh, kamu harus tegas ke mereka.”
“Tegas?”
“Iya. Antara tegas dan marah-marah doang itu beda. Mereka pasti udah sering dimarahi, makanya udah kebal kalo dimarahin lagi. Maksud aku dengan menjadi tegas, ya kamu harus menetapkan tanggal tertentu sebagai batas akhir p********n. Dan kalau ada yang belum bayar, berarti kamu haru bertindak dengan memberikan sanksi, bukan cuma marah-marah aja.”
“Dikasih sanksi?”
“Iya, kamu bisa mencabut salah satu fasilitas di kamar mereka. Misalnya listrik atau air. Kalau dalam beberapa hari belum dilunasin juga, berarti kamu harus nyuruh mereka keluar dari sini.”
“Tapi, kan kasian kalo langsung disuruh pergi, Yo. Mereka yang kos di sini bukan anak orang kaya. Rata-rata masih mahasiswa, yang mereka harapkan ya palingan kiriman dari orang tua mereka. Belum tentu di kampung orang tua mereka juga ada duit.”
“Manusiawi kalo kamu kasian, Ai. Sebulan dua bulan pertama kalo kamu maklumin masih wajar. Tapi, kalo keterusan mereka bakalan nganggep kalo kamu ngebiarin hal itu. Makanya kalau pun mereka punya uang, mereka bakalan sengaja ngulur-ngulur p********n. Uangnya dipake dulu buat kebutuhan yang lain. Ujung-ujungnya nunggak sampai bulan berikutnya. Awalnya cuma satu orang yang kamu biarin, nanti temen-temennya juga bakalan ngikuti. Mereka bakalan bilang toh Si A gak diusir walau udah nunggak. Makin ke sini nanti makin banyak yang kayak gitu, yang rugi ya kamu.”
“Jadi, aku harus ngusir mereka?” tanya Julie dengan tak rela.
“Gini deh aku tanya, kos-kosan ini dibangun buat usaha atau sebagai ladang amal? Kalo buat usaha, artinya kamu cari untung. Kalo buat amal, artinya kamu ngasih tempat gratis.”
“Buat usaha, sih.”
“Nah, makanya kamu harus tegas. Tapi ….”
“Tapi, apa?”
“Tapi, kamu juga bisa kok ngasih mereka pilihan buat mengangsur uang kos-kosannya. Kalau terlalu memberatkan untuk bayar langsung, mereka bisa membayar dua atau tiga kali sebulan. Asal tetap terbayar lunas sampai batas akhir pembayaran.”
“Oh gitu yah.” Julie sudah mulai tersenyum. “Ya udah deh, aku bakalan nyampein ke kurcaci-kurcaci itu pengumuman barunya.”
Julie berdiri, hendak meraih ponselnya untuk mengirim pengumumuan di grup chat anak-anak kosnya agar menghadiri pertemuan nanti malam. Menurutnya lebih baik menyampaikan secara langsung aturan baru ini dibandingkan hanya mengirim lewat pesan. Biar anak-anak kos bisa juga menyampaikan pendapat mereka secara langsung.
“Yo, kalau misalnya ada yang masih gak bisa bayar lunas, terus mereka memohon buat gak dikeluarin. Misalnya mereka bener-bener lagi gak punya uang. Kalo disuruh keluar, mereka bakalan tinggal di mana?”
“Sekali kamu termakan rayuan mereka, yang lain bakalan ngikutin. Sebagai pemilik kos, kamu harus tegas. Kan kata kamu kos-kosan ini dibangun buat usaha.”
“CK!” Julie mendecak, tak puas dengan jawaban tegas Julio. “Gini deh, kalo misalnya kamu yang di posisi mereka. Kamu gak punya uang, kamu kalo aku usir, gimana?”
Julio menyeringai. “Aku tahu caranya membayar sewa kos tanpa menggunakan uang.”
“Dasar!”
“Kenapa? Apa aku harus membayar sewa kos lagi?”
“Gak.”
“Jadi, udah lunas?”
“Dasar curang!”
“Yang penting aku tetap membayar.”
“Kalo kayak gitu, apa aku harus memberi kesempatan yang sama buat anak-anak kos yang gak mampu membayar uang kos pake uang?”
Mata Julio menajam seketika. Pria itu langsung berdiri. “Jangan berani-beraninya yah,” ujar Julio dengan kesal.
“Emangnya kenapa? Kan aku cuma menawarkan solusi. Solusinya pun aku pake cara kamu.”
“Emangnya aku kurang?”
Melihat Julio emosi sekali, kok Julie malah senang. Ibu hamil itu malah cengengesan.
“Aku tanya sekali lagi, emangnya aku kurang? Kalo kurang, ayo sini kita ke kamar. Jangan aneh-aneh kamu ya.”
“Yo, kamu kok marah-marah sih? Tadi aku yang dilarang marah-marah, kenapa sekarang kamu yang marah-marah?”
“Sini kamu, ayo kita ke kamar.”
“Gak mau.”
“Ayo!” tegas Julio. “Kamu harus dibikin sadar biar gak mikir yang aneh-aneh.”
“Gak ah, p********n sewa kamu udah lunas. Gak perlu dibayar lagi.”
“Anggep aja aku bayar sewa buat bulan depan.”
“Bukannya kamu udah gak mau pake kamar yang di atas. Katanya barang-barang kamu mau diturunin ke sini.”
“Gak jadi, barang-barangku bakalan tetap di sana. Aku mau tetep jadi kurcaci yang bayar kos dengan cara khusus.”
“Baiklah, sebagai Ibunda Ratu yang baik, penawaranmu kuterima. Dasar kurcaci nakal yang suka terburu-buru.”
Julio memastikan sendiri jalannya rapat antara anak-anak kos dengan sang Ibunda Ratu di malam hari. Mengawasi lebih tepatnya, jangan sampai istrinya keceplosan menawarkan cara khusus untuk membayar sewa kos tanpa uang. Kalau Julie yang menawarkan, ia yakin semua penghuni kos itu, kecuali Brenda, pasti semuanya berbondong-bondong untuk melakukannya.
Beberapa anak kos masih meminta keringanan, seperti durasi sanksi yang diperpanjang hingga mereka melunasi uang sewa kos atau justru meminta izin agar menjadi penjaga seperti yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Pak Karim. Tapi, seperti yang dikatakan oleh Julio, Julie mencoba memberi ketegasan. Tidak semua permintaan anak-anak kos ia tolak mentah-mentah, selama masih bisa ia tolerir dan tidak merugikan akan ia terima.
Julio hanya diam saja, ia biarkan Julie yang berdiskusi dengan para penghuni kosnya. Toh, tugasnya di sana hanyalah memastikan bahwa Julie tak keceplosan. Selebihnya biar Julie sendiri yang mengelola kos-kosannya, memberi ruang untuk Julie belajar. Sementara ia hanya mengamati, mendukung, membantu, dan mengoreksi kalau Julie keliru.
“Yo,” panggil Julie saat rapat dengan para kurcacinya selesai. Ia meraih lengan pria itu. “Kita nginep di atas, yuk,” ajaknya.
“Di atas mana? Di kamar aku?”
“Bukan. Tapi, di balkon.”
“Kok di balkon? Nginepnya di dalem aja,” bujuk Julio. “Di balkon kan dingin, Ai.”
“Gak, soalnya aku tuh selalu kepanasan.”
“Di dalam kan ada AC, jadinya dingin juga. Kalo di luar bahaya tau kena angin malam.”
“Tapi, aku pengen,” rengeknya.
“Gak boleh.”
“Pokoknya pengen.” Julie mulai memaksa.
“Ciyeee yang pengantin baru, pengen terus,” ledek Kino. Cowok itu kebetulan belum kembali ke kamarnya. Makanya ia sempat mencuri dengar percakapan Julie dan Julio.
“Apa sih, orang cuman pengen naik,” sanggah Julie.
“Ehm … yang pengen naik. Naik ke mana tuh?” Kino semakin meledek.
“Naik biasanya ke atas, ‘kan?” timpal Aan yang mendadak ikut nimbrung setelah mendengar Kino meledek pengantin baru itu.
“Naik ke atasnya siapa nih?” tanya Kino lagi.
“Ke atasnya Julio dong.”
Julie mencebikkan bibirnya. Jika saja tak sayang pada ponselnya, pasti sudah ia pakai untuk melempari Kino dan Aan. Sepertinya dua manusia itu memang hobby sekali meledek Julie. Dari zaman Julie dikejar-kejar Jonathan sampai Julie jadi istrinya Julio pun masih saja selalu diledekin.
“Gak usah banyak omong kalian di situ, pikirin aja gimana caranya uang sewa kos selalu terbayar tepat waktu.”
Julie bangkit dari duduknya dengan tergesa-gesa. Ibu hamil itu gampang sekali emosi.
“Ai, pelan-pelan. Hati-hati jalannya.” Julio buru-buru mengikuti. Pria itu sempat berbalik melihat Aan dan Kino yang masih mengulum senyum. “Kalian,” tunjuknya pada Aan dan Kino. “Stop bikin istri gue marah-marah, kalo terjadi sesuatu sama bayi-bayi gue, kalian dalam bahaya.”
“Bayi-bayi?” ulang Aan dan Kino bersamaan.
Tapi, pertanyaan itu tak lagi dijawab oleh Julio. Julio mengikuti Julie yang naik tangga menuju balkon depan kamar lamanya.
“Gile bener Si Julio, topcer banget. Abis nikah langsung buntingin bininya, mana langsung kembar lagi.”
“Kita harus berguru nih sama Si Julio,” ujar Aan.
“Ibunda Ratu, Julio, selamat naik-naikan yah,” teriak Aan dan Kino dari lantai bawah.