Menemui Cinta Lamanya

2045 Kata
Usia kandungan Julie sudah mencapai angka 10 pekan. Sudah dua bulan lebih. Sayangnya, itu adalah malapetaka bagi Jonathan. Karena wanita-wanita yang ia tiduri tak juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Ia enggan menikahi salah satu wanita itu jika mereka tak hamil. Pria itu memutar otak, ia harus mengentikan Julio dinyatakan sebagai pewaris dari aset 80% itu. Bayi yang dikandung Julie tak boleh lahir dalam keadaan hidup. Ia harus menembus penjagaan Pak Karim untuk memastikan bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada Julie hingga ia keguguran. Mumpung usia kandungannya masih muda. “Tapi, apa?” Jonathan bertanya pada dirinya sendiri. Pertahanan Pak Karim bisa dibilang mustahil untuk ia tembus. Ada banyak orang yang menjaga Julie. Dan setiap orang yang menjaganya adalah orang-orang yang telah Pak Karim pastikan tidak akan berkhianat, tidak seperti Wira yang mengkhianati Jonathan karena keselamatan keluarganya. “Racun macam apa yang harus kujejalkan ke dalam mulut anak itu agar dia keguguran? Atau kecelakaan macam apa yang harus kuciptakan agar anak itu terluka sampai dia keguguran?” Jonathan menggebrak meja kerjanya. Kesal karena tak menemukan solusi. Semakin lama ia diam, semakin besar kandungan Julie. Dan itu tak boleh terjadi. Ia harus melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Viola, kekasih Julio yang saat ini berada di Amsterdam. “Atau haruskah aku menceritakan pada Julie kalau suaminya yang sangat dia cintai itu pernah punya bayi dengan perempuan lain?” Otak Jonathan berpikir, ia harus mendapatkan cara untuk bisa memberitahu Julie secara langsung jika Julio pernah punya bayi dengan Viola, walau kandungan Viola gugur karena ulah Jonathan. Keinginannya adalah membuat Julie stress. Wanita hamil dan stress, tinggal menambah beberapa masalah, akan lebih besar peluangnya untuk keguguran. “Tapi, bagaimana?” Mendekati Julie adalah hal yang mustahil untuk Jonathan. Satu langkah ia mendekat, orang-orang Pak Karim akan langsung bersiaga. Di saat bersamaan ia juga harus rela melepaskan asetnya yang didaftarkan dengan nama Wira—asistennya yang pengkhianat itu. Bahkan jika ia bisa mengelabui dan menembus garis terdepan dari penjagaan Pak Karim, ia masih harus menembus penjagaan Julio terhadap Julie. Melihat aktivitas Julio akhir-akhir ini, adik tiri Jonathan sama sekali tak pernah membiarkan istrinya sendirian. “Sepertinya aku harus mengirim anak haram itu ke suatu tempat,” ujar Jonathan dengan senyum licik. “Seperti mengirimnya ke Amsterdam. Bagaimana jika cinta lamanya mengundang anak itu ke Amsterdam? Kalau dia pergi menemui cinta lamanya, istrinya akan berada dalam bahaya.” Jonathan mengangguk-angguk, ia meraih ponselnya. Menghubungi orang kepercayaannya yang berada di Amsterdam. Saat mengirim Viola ke Amsterdam, Jonathan juga mengirim orang kepercayaannya untuk mengikuti Viola. Kepergian Viola ke Amsterdam sebenarnya semua direncakan oleh Jonathan. Pria itu tahu bagaimana ambisiusnya Viola untuk mengejar pendidikan. Makanya ia menawarkan beasiswa, tentu saja bukan dari tangannya langsung. Tapi, melalui beberapa kenalannya yang turut membantu. Singkat cerita, Viola dengan bangga berangkat ke Amsterdam. Dengan niat mengejar gelar S2. Makanya ia menyembunyikan kehamilannya dari Julio. Karena sadar jika sampai Julio tahu bahwa ia sedang mengandung anak pria itu, maka Julio pasti memaksa untuk menikah. Sementara Viola selama ini sengaja menunda-nunda lamaran Julio dengan alasan pendidikannya. Sayang sekali, dengan kelicikan Jonathan, bayi Viola gugur. Dan menyedihkannya bagi Julio karena ia baru tahu bahwa ia punya bayi setelah bayi itu tak bisa terselamatkan lagi. “Celakakan gadis itu!” Jonathan memerintah melalui sambungan telepon. “Seberapa parah?” “Separah mungkin, cukup sisakan nyawanya saja. Sangat parah, sampai Julio tidak tahan untuk tidak mendatanginya ke Amsterdam.” Perintah tersampaikan. Orang kepercayaannya mulai bertindak. Viola di Amsterdam berada di ambang kematian. Dan berita itu sampai kepada Julio, melalui orang tua Viola dan salah satu teman Viola di Amsterdam. Saat mengunjungi Viola yang keguguran di Amsterdam, Julio sebenarnya sudah sangat kecewa dengan sikap kekasihnya itu. Tega sekali Viola baru memberitahunya bahwa ia hamil setelah mengalami keguguran. Ia mengajak gadis itu kembali ke Indonesia, tapi sayangnya ditolak oleh Viola dengan alasan masih ingin melanjutkan kuliahnya. Julio pulang dengan putus asa. Walau sebelumnya, ia masih meminta salah satu teman Viola untuk selalu mengabarinya tentang keadaan gadis itu. Dan kabar yang ia dapat hari ini sangat mengejutkan. Viola ditusuk saat dalam perjalanan pulang dari kampus ke apartemennya. Tusukannya tak hanya sekali, tapi beberapa kali, dan itu di area-area organ vital. Viola saat ini sedang dioperasi, tapi tak ada yang bisa menjamin apakah operasi bisa menyelamatkannya atau tidak. Julio meremas ponselnya sesuai membaca pesan tersebut. Napasnya memburu teramat cepatnya. Semarah dan sekecewa apa pun ia terhadap Viola, nyatanya masih tersimpan peduli untuknya. Antara Viola yang berada di ambang kematian atau Julie? Julio tak pernah berpikir dua kali, pilihannya jelas pada Viola. “Pesankan aku tiket pesawat ke Amsterdam, yang paling cepat!” Julio memerintah melalui sambungan telepon. “Oke.” Setelah mendengar jawaban Warren, Julio langsung mematikan sambungan teleponnya. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar, tanpa membalas senyum yang Julie layangkan untuknya. Julio malah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya yang ia yakini amat frustasi. “Yo,” panggil Julie saat Julio keluar dari kamar mandi. “Kamu baik-baik aja?” Julio mencoba menenangkan diri sesaat. Memastikan jika ekspresinya tak akan terbaca oleh Julie. Karena mulai saat ini ia akan menyatakan kebohongan. Dan ia tahu bahwa satu kebohongan akan terus diikuti oleh kebohongan lain agar ia tak ketahuan. “Aku mau keluar kota.” Satu kebohongan mulai ia ucapkan. Padahal ia mau keluar negeri, tapi kepada Julie ia mengatakan keluar kota. “Ke mana?” “Jambi.” Itu kebohongan yang kedua. Julio hanya asal menyebut kota itu. Toh, Jambi tak pernah menjadi tujuannya. Di antara sekian banyak kota yang bisa ia sebutkan, ia malah memilih kota itu—kota kelahiran cinta lamanya—Viola. “Aku perlu ikut?” “Gak, aku ke sana ada kerjaan.” “Kapan berangkatnya?” “Sekarang.” “Kapan baliknya, Yo?” tanya Julie dengan penuh harap. “Aku bakalan kabarin kamu.” “Oke,” jawab Julie dengan seulas senyum. “Aku bakalan nungguin kamu balik, Yo. Si Kembar juga bakalan nunggu kamu.” Julio hanya mengangguk pelan. “Aku perlu nyiapin pakaian buat kamu?” “Kayaknya gak usah, aku udah harus berangkat.” Pria itu hanya mengambil sebuah map dari dalam laci nakas. Isinya adalah paspor dan beberapa dokumen penting yang kemungkinan ia butuhkan saat di Amsterdam. Julie mengikuti Julio keluar, mengantar pria yang izin kepadanya untuk bekerja di Jambi. “Semangat kerjanya, Yo.” “Iya,” jawab Julio dengan datar. “Kamu baik-baik di rumah, yah.” Senyum Julie di teras mengantar kepergian Julio yang langsung mengemudikan mobilnya dengan cepat. **** Julie jadi parno sejak Julio tak bisa dihubungi. Penerbangan Jakarta-Jambi harusnya hanya satu jam setengah. Tapi sampai tengah malam Julio tak kunjung mengabari, entah sudah sampai atau ada delay dengan penerbangannya. Padahal saat pamit, pria itu mengatakan akan berangkat sekarang. Seharusnya pria itu sudah tiba di Jambi dan mengabari Julie. Kalau pun tak sempat mengabari Julie karena harus bekerja, setidaknya ponsel pria itu harusnya tetap aktif. Tapi, ini malah tidak. Chat yang Julie kirim bahkan masih bercentang satu. Julie menghela napas panjang. “Tau gini harusnya tadi manggil Mama buat nemenin ke sini. Kalai nelpon Mama sekarang, Mama pasti kaget.” Julie beberapa kali berganti posisi di tempat tidur, balik ke kanan dan kiri bergantian tanpa merasa tenang. Ponselnya tetap ia pegangi, masih tetap setia menunggu kabar yang entah kapan datangnya. “Ih, gak bisa tidur kalo parno gini.” Julie bangun dari posisi berbaringnya. Sendirian di dalam kamar membuatnya makin resah. “Julio kenapa gak bisa dihubungi sih? Kan aku khawatir.” Julie menggulir layar ponselnya, mencari kontak Warren. Ingin menanyakan keberadaan Julio pada sahabat baik suaminya itu. “Ganggu gak yah kalo aku nelpon tengah malem begini? Warren mungkin udah tidur.” Jempol yang semula hendak menekan tombol pemanggil ia urungkan. Julie justru meletakkan benda itu di kasur. “Julio apa mungkin udah tidur juga, yah? Dia pas sampai di Jambi langsung kerja, abis kerja langsung tidur, makanya gak sempat ngabarin.” Julie mencoba berpikiran positif, berusaha menenangkan diri. “Iya, semoga aja kayak gitu. Julio gak kenapa-napa.” Kekhawatiran Julie membuatnya tak benar-benar tidur. Hampir tiap dua puluh menitan ia terbangun, sekadar mengecek ponsel lalu mencoba tidur kembali. Lalu kembali terbangun dan mengecek ponsel lagi. Dan ia melakukannya hingga pagi. Sayangnya bahkan saat pagi ia masih belum dapat kabar apa-apa. Puluhan kali ia telah menghubungi Julio tapi tak bisa tersambung. Ini sudah mustahil untuknya berpikiran positif. Tak mungkin Julio masih tidur hingga pagi. Karena tak tahan dengan kekhawatirannya, Julie mencoba menghubungi Bu Merinda. “Mi, ini Julie.” “Iya, sayang. Gimana kabar kamu sama calon cucu Mami? Kalian sehat-sehat, ‘kan?” “Julie sama Si Kembar baik kok, Mi. Tapi, ini soal Julio, Mi.” “Julio kenapa?” “Kemarin sekitaran jam setengah 4, Julio pamit mau ke Jambi. Tapi, sampai sekarang gak bisa dihubungi, Mi.” “Jambi?” ulang Bu Merinda. Mendadak perasaan wanita itu tak enak mendengar kota kelahiran Viola disebut. Tentang Julio dan Jambi, hanya ada satu orang yang muncul di pikirannya. Pasti Viola. “Iya, Mi. Julio katanya ada kerjaan ke Jambi. Tapi, dari semalam gak ada kabar. Julie khawatir kalo Julio kenapa-napa, Mi.” “Kamu tenang dulu, Julio pasti baik-baik aja. Mungkin susah signal di sana. Mami bakalan coba hubungin Julio juga atau nanti Mami minta tolong ke pamannya Julio.” “Iya, Mi. Semoga emang pengaruh signal. Soalnya Julie khawatir banget.” “Julio pasti baik-baik aja, sayang. Di situ kamu sama siapa?” “Ada pelayan, Mi.” “Semalam gimana? Sendirian?” “Gak sendirian, Mi. Kan ada pelayan sama penjaga yang selalu jagain Julie. Anak-anak kos di sini juga rame.” “Baguslah kalo gitu, nanti Mami ke situ. Oh ya, sayang, hari ini bukannya kamu harus ke dokter?” Julie hampir saja lupa kalau tak diingatkan oleh Bu Merinda. “Iya, Mi. Hampir aja Julie kelupaan.” “Berarti nanti ke dokter biar dianterin sama Mami aja.” “Iya, Mi. Makasih.” “Iya, sayang.” Setelah panggilan teleponnya terputus dengan Julie, Bu Merinda langsung menghubungi putra tunggalnya. Ingin memastikan bahwa anaknya itu apakah benar-benar kembali berurusan dengan Viola lagi. “Mami bakalan marah banget kalo kamu sampe mengurusi Viola lagi.” Bu Merinda mendekatkan ponselnya ke telinga. Sayangnya bukan suara Julio yang ia dengar, melainkan suara operator. Membuat wanita itu mendecak kesal berkali-kali. Ia sungguh tak rela jika Julio kembali terjerat oleh pesona Viola lagi. Ia sudah cukup tenang setelah Julio menikah dengan Julie, apalagi sekarang menantu kesayangannya itu sedang hamil. Tapi, mendengar Julio pamit ke Jambi, ini pertanda buruk. Wanita itu beralih menghubungi Warren, orang yang ia yakin pasti tau di mana keberadaan Julio. “Warren?” “Iya, Tante.” “Di mana Julio?” Bu Merinda to the point saja. Ia tak perlu berbasa-basi. “Julio lagi ada kerjaan di luar kota, Tante.” Bahkan kebohongan Julio kemarin pun turut diiringi oleh kebohongan yang dilakukan oleh Warren. Saat menemui Julio di bandara, Warren memang sudah menanyakan apa yang harus ia katakan jika Julie atau Bu Merinda menghubunginya. “Di luar kotanya di mana?” “Di Jambi, Tante.” “Julio beneran kerja atau menemui Viola? Kenapa harus Jambi?” “Julio beneran kerja kok, Tante. Lagian Viola kan ada di Amsterdam.” Warren sempat menyesalkan kenapa Jambi yang harus disebutkan oleh Julio pada Julie. Ini hanya akan mengundang kecurigaan. Dan memang benar, Bu Merinda sudah curiga. “Julio punya kerjaan apa di Jambi? Kenapa bukan kamu aja yang berangkat ke sana? Atau kenapa kalian gak berangkat bersama? Kenapa sampai sekarang Julio masih belum bisa dihubungi? Julio beneran bekerja atau melarikan diri ke Jambi?” Bu Merinda memborongi Warren dengan beragam pertanyaan. Wanita itu tak bisa langsung percaya jika Julio benar-benar ke Jambi untuk bekerja. Ada firasat tak enak yang muncul dalam hatinya mendengar kota itu. “Julio beneran ada kerjaan di Jambi, Tante. Dia lagi ada projek kerja sama dengan perusahaan di sana. Apa perlu saya mengirim dokumen kerja sama antar perusahaan biar Tante percaya?” “Iya, kirimlah,” jawab Bu Merinda. “Baik, Tante, akan saya kirimkan. Dan mengenai Julio yang belum bisa dihubungi, sepertinya ada gangguan signal di sana. Tapi, saya akan mencoba menghubungi pihak perusahaan di Jambi untuk meminta agar Julio segera menghubungi Tante.” “Baguslah kalau Julio benar-benar bekerja di Jambi,” ujar Bu Merinda lalu mematikan sambungan telepon.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN