“Maaf soal pergelangan pundakmu. Sepertinya orang suruhanku terlalu buru-buru sampai dia mematahkannya. Sayang sekali,” ujar pria itu dengan tatapan sedih. Tapi, itu adalah ekspresi yang palsu.
Sudah Julie duga, orang yang menjadi dalang dari penculikannya adalah Jonathan. Pria tua menakutkan yang amat terobsesi padanya. Memangnya siapa lagi yang punya dendam padanya dan akan melakukan hal seekstrim ini selain Jonathan?
“Bagaimana kondisi tanganmu, Nona Julie? Masih terasa sakit?”
Jonathan menarik kursi, ia duduk dengan kaki menyilang, sementara kedua tangannya terlipat di dadanya. Menunjukkan keangkuhannya terhadap Julie.
“Kudengar dari orang yang berjaga, kau terus berteriak kesakitan tentang tanganmu itu,” ujarnya dengan dagu yang terarah pada bagian pundak Julie. “Karena kau terlalu ribut, makanya orang-orang menutup mulutmu itu.”
Mulut Julie memang dalam keadaan ditutup dengan menggunakan lakban hitam. Membuat gadis itu tak mampu membalas tiap ucapan Jonathan.
“Apa kau tau alasan lain kenapa mulutmu ditutup?”
Walau Julie dibekap mulutnya, setidaknya gadis itu masih mampu menjawab entah melalui gelengan atau anggukan kepalanya. Atau bahkan bisa memberikan kedipan sebagai sebuah tanda. Sayangnya Julie tak memberi tanda apa pun. Menyulut kemarahan Jonathan karena ia membutuhkan jawaban dari Julie.
“Jawab!” tegas pria itu, tatapan matanya menajam. “Jawab, mengangguk atau menggelenglah. Jangan seperti orang d***u. Atau kamu memang benar-benar d***u? Ah … saya lupa kalau kau memang anak yang d***u, buktinya selama kuliah, nilai-nilaimu dituntaskan dengan sekian banyak gepok uang milik ayahmu.”
Jonathan tertawa, mengolok-olok Julie. Itu adalah fakta, tapi tetap saja melukai perasaan Julie.
Mungkin sama seperti perasaan Jonathan ketika Julie mengatainya sebagai pria tua. Hal itu benar adanya. Jonathan memang sudah tua, uban-uban di kepalanya sudah mulai bermunculan. Tapi, saat Julie mengatainya, mengapa fakta itu tetap terasa menyakitkan?
“Biar saya ulang sekali lagi, apa kau tau alasan lain kenapa mulutmu ditutupi?”
Julie mengabaikannya. Tidak mau memuaskan rasa ingin tahu pria itu entah dengan sebuah gelengan atau anggukan.
“Ah, sepertinya kau memang benar-benar d***u. Benar-benar gadis yang bodoh!” Jonathan tertawa sementara Julie mengepalkan tangan kirinya. “Kalau begitu, biar kuberi tahu padamu. Mulutmu dibekap karena mulutmu begitu tidak sopan. Mulut terkutukmu itu!” tunjuk Jonathan lurus pada Julie, bahkan ia berdiri lalu mendekati Julie. Sementara telunjuknya masih belum berhenti menodong gadis itu. “Mulut terkutukmu itu, kau menggunakannya untuk mengataiku. Hahahah … memangnya kau pikir siapa dirimu, huh? Sehebat apa kau sampai berani mengataiku sebagai seorang pria tua?”
Tangan pria itu langsung terayun, ia tempeleng pipi Julie dengan kasar. Pipi kirinya ditempeleng ke kanan, kepala Julie berakhir terbentur di tembok.
Kepalanya seolah berputar. Pandangannya berkunang-kunang dan menggelap. Tubuhnya terhuyung hingga ia tak mampu lagi terduduk. Jatuh menimpa bagian pergelangan bahunya yang tergips. Sakit, tertimpa lagi oleh tubuhnya. Sakitnya berkali lipat. Air mata gadis itu luruh.
Jonathan tertawa dengan puas melihat lelehan air mata Julie.
“Air matamu itu belum seberapa dibandingkan dengan semua penghinaan yang pernah kau lakukan padaku. Tiap penghinaan yang keluar dari mulut terkutukmu itu …,’ tunjuk Jonathan. “… akan kau bayar dengan sangat mahal. Dengan penderitaan yang tidak pernah kau bayangkan.”
Jonathan menyentak gadis itu agar kembali terduduk. Mengabaikan sakit yang dialami Julie. Karena setelah sentakan kerasnya itu, ia langsung menarik paksa lakban yang menutupi mulut Julie. Menariknya dalam sekali tarikan. Permukaan kulit di area mulut Julie tartarik, bahkan bagian permukaan kulit bibirnya—tepat di bagian tengah bibir Julie—sampai terkelupas karena tarikan kencang itu.
Lolongan kesakitan Julie memenuhi ruangan penyekapan itu, bahkan terdengar hingga ke luar ruangan. Tapi, semakin Julie menangis dan berteriak kesakitan, semakin Jonathan merasa puas. Harga dirinya yang telah diinjak-injak oleh gadis itu terasa sedikit demi sedikit terbayarkan. Apalagi kala melihat cairan berwarna merah itu merambat turun dari permukaan kulit bibir Julie yang terkelupas.
Pria itu tertawa dengan bangga. “Seorang gadis dari keluarga Hermawan sedang membayar satu demi satu dosanya akibat mulutnya yang terkutuk ini! Ah, seorang gadis lainnya … dia juga berhutang untuk membayar dosa atas mulutnya yang sama terkutuknya dengan milikmu. Siapa namanya? Sophie?” Jonathan mengangguk pelan. “Iya, namanya Sophie.” Ia menjawab sendiri pertanyaannya. “Kakakmu itu juga perlu diberi pelajaran. Pembelajaran berharga untuk membayar dosa-dosanya.”
Mata Julie melebar seketika. Nama kakaknya ikut-ikut disebut.
“Apa maumu?” Ia memberanikan diri bertanya.
“Mauku?” ulang Jonathan seraya berlutut di depan Julie. Ia raih dagu gadis itu, mendongakkannya hingga urat-urat leher Julie tertarik mengikuti gerakan Jonathan yang semakin merenggangkan leher Julie. “Mauku adalah … kau dan kakakmu yang sombong itu membayar mahal penghinaan kalian. Kalau perlu seluruh keluargamu harus ikut membayar penghinaan kalian.”
Tangan kiri Julie kembali terkepal sementara giginya ia gertakkan. Amarah melingkupi gadis itu.
“Kenapa?” tanya Jonathan dengan senyum licik. Sadar jika Julie saat ini mengepalkan tangan kirinya. Sementara tangan kanan gadis itu tak bisa bergerak karena patah. “Kau ingin membalasku? Ingin melakukan sesuatu? Atau ingin mengatakan sesuatu? Tapi, apa kau cukup berani untuk melakukan sesuatu? Ah, biar kuperbaiki pertanyaanku … apa kau cukup mampu untuk melakukan sesuatu? Lihatlah dirimu, Nona Julie Adriyana Hermawan. Kakimu terikat, bahumu bahkan patah.” Jonathan menaruh jari telunjuk dan jari tengahnya tepat di bagian pergelangan bahu dan lengan bagian atas Julie. Ia tekan dengan paksa di sumber kesakitan gadis itu. “Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuhmu yang lemah dan dalam ruangan yang terkunci ini?”
Jonathan terbahak-bahak saat Julie meringis kesakitan. Pria itu masih tetap menekan sumber utama kesakitan Julie. Semakin sakit, semakin ia ingin menyakiti. Ia tak peduli dengan penderitaan orang lain, karena justru itulah kesenangannya.
“Inilah akibat dari memiliki mulut yang suka berbicara sembarangan!” tegas Jonathan.
Dua jari pria itu ia tarik hingga Julie bernapas dengan lebih lega. Tapi, di detik berikutnya ia justru kembali menempeleng mulut Julie, membuat gadis itu sekali lagi terjungkal ke belakang hingga kepalanya terbentur di tembok.
Sama menyakitkannya. Pandangannya sama, berkunang-kunang. Hanya saja kali ini, Julie sudah bersiap untuk menerima penyiksaan. Setidaknya tak lagi sekaget saat pertama kali ia ditempeleng oleh Jonathan. Kali ini pun jatuhnya ke belakang, untunglah bukan jatuh ke kanan sehingga harus menindih bagian bahunya yang patah.
Patah di tulangnya tak benar-benar diobati. Yang memasangkan gips bukanlah dokter, melainkan hanya pelayan di rumah penyekapan itu. Pengalaman seadanya saat ia mengurusi tiap orang yang dibawa ke sana. Memberikan pengobatan seadanya. Karena memang bukan berniat menyembuhkan, hanya untuk mencegah terjadinya kematian sebelum Jonathan puas menyiksa korbannya.
“Cukup sakitkah?” tanya Jonathan saat Julie meraba-raba lantai untuk mencoba bangun.
Itu bukan cukup sakit lagi, tapi amat menyakitkan. Namun, Julie enggan berkata iya. Gadis itu, meski kepalanya masih terasa berputar-putar, atau pandangannya yang mengabur. Mulutnya justru mengatakan hal sebaliknya.
“Ti-tidak. Saya baik-baik saja.” Ia ucapkan sambil menggertakkan giginya, di saat bersamaan ia mencoba untuk bangun.
“Ah, baguslah kalau kau masih baik-baik saja. Aku memang belum puas melihatmu baru berdarah sedikit. Tidak lucu kalau kau langsung meninggal hanya dengan dua kali tamparan. Kau … gadis yang cukup menyenangkan,” ujarnya dengan sebuah tawa di akhir kalimatnya. “Kau menyenangkan untuk disiksa.”
Jonathan bergerak mundur, ia tampak keluar dari ruangan tersebut namun kembali dalam waktu kurang dari setengah menit.
“Baiklah, Nona Julie Adriyana Hermawan … karena kau adalah gadis yang menyenangkan, maka akan kuberi hadiah. Malam ini kau diperbolehkan makan. Ini sudah malam kedua yang kau habiskan di sini, kau mendapatkan jatah makan untuk yang pertama kalinya.”
Pelayan masuk ke dalam ruang penyekapan dan membawa sepiring nasi beserta lauk seadanya. Ada segelas air minum yang juga dibawa oleh pelayan itu. diletakkan di depan Julie. Gadis itu segera merangkak untuk menyentuh piringnya. Kelaparan, sungguh sangat lapar. Terakhir kali ia makan adalah saat masih di rumahnya sebelum ia mengunjungi tempat kosnya.
“Terburu-buru sekali.” Jonathan langsung menarik piring itu, menjauh dari jangkauan tangan Julie. “Kenapa begitu buru-buru? Ayo kita bersenang-senang dulu.”
Jonathan kembali mendekatkan piring itu ke hadapan Julie. Sengaja menggoda gadis itu. Menaruhnya tepat di dekat jari-jari Julie yang sebelah kanan. Sengaja, karena tahu bahwa gadis itu tak mampu menggerakkan tangan kanannya bahkan untuk menyuapi diri sendiri.
“Apa kau sudah sangat kelaparan?”
“Belum, saya baik-baik saja.”
Jonathan tersenyum. “Kau memang menyenangkan. Ternyata kau cukup pintar juga. Kupikir kau adalah gadis yang bodoh, rupanya kau menyimpan kepintaranmu. Ah … seperti kata para ahli anak, setiap anak adalah bintang. Kau … mungkin tak pintar dalam urusan sekolah. Tapi, kau cukup pintar untuk hal-hal seperti ini. Pintar membawa diri. Kau memang menyenangkan.”
Jonathan terus mempermainkan Julie. Berkali-kali ia mendekatkan piring makanan itu lalu kemudian menariknya kembali. Ia habiskan sekitaran 5 menit untuk mengulur-ngulur waktu hingga ia biarkan Julie makan.
“Makanlah, Nona Julie Adriyana Hermawan.”
Julie ragu, ia tak langsung meraih piring tersebut. Menyimpan kewaspadaan jika saja ia kembali dipermainkan.
“MAKANLAH! APA KAU MENUNGGU HINGGA PIRING INI KUPECAHKAN?” teriak Jonathan.
Julie langsung mengulurkan tangan kirinya, meraup sebanyak mungkin butiran nasi dengan tangannya yang gemetaran. Ia masukkan ke dalam mulut dengan cepat. Mengantisipasi jika Jonathan berubah pikiran di detik berikutnya. Ia masukkan makanan sebanyak mungkin.
Entah bagaimana rasanya saat nasi itu bercampur dengan darah dari bibirnya yang masih basah. Kalau ia berada di rumahnya, gadis itu pastilah merengek. Tapi, saat ini ia hanya ingin bertahan hidup. Tak peduli bagaimana rasa makanan itu. Ia bersumpah untuk bertahan hidup, bersumpah bahwa ia tak akan kalah oleh keangkuhan Jonathan.
Julie menelan makanannya dengan terburu-buru. Mengabaikan betapa sakit bibirnya saat ia mengunyah dengan cepat. Ia tak berhenti mendorong satu demi satu suapan ke dalam mulut.
“Jangan menghabiskan semuanya.” Jonathan menarik piring itu menjauh dari jangkauan Julie. “Kucing di luar harus dapat bagian juga. Bukankah sebagai sesama makhluk hidup, kita harus selalu berbagi?”
Julie menelan sisa makanan di tenggorokannya. Ia meraih gelas, tapi langsung disambar oleh Jonathan. Pria itu merebutnya. Seperempat isi gelas tumpah saat dirampas paksa oleh Jonathan.
“Kata siapa kau boleh minum? Kau … kuhadiahkan dengan makan malam, bukan berarti kau boleh minum.”
Terus apa gunanya kau membawa minuman itu? Berengsek sialan! Julie mengumpat dalam hati.
“Kenapa? Kau sedang menyumpahiku?” tanya Jonathan, seolah mampu membaca isi pikiran Julie. “Air ini ….” Ia menggoyangkan gelasnya. “Bukan untuk diminum, tapi ….”
PRAKK!
Gelas berisi air itu terlempar, tepat di pelipis Julie. Airnya langsung berjatuhan membasahi sisi wajah sebelah kiri Julie. Sayangnya bukan hanya air dari gelas yang merembes turun, tapi juga cairan berwarna merah kental yang mengalir dari pelipis Julie. Dari kulit pelipisnya yang terobek oleh pecahan gelas.
“Selamat malam, Nona Julie Adriyana Hermawan. Sampai jumpa besok. Sangat menyenangkan telah bersenang-senang bersamamu malam ini.”