Keberadaan Julie tak diketahui. Keluarga besarnya langsung heboh seketika. Pak Pramudya yang berada di luar kota langsung kembali ke Jakarta begitu Bu Margaretha mengabari jika Julie menghilang.
Tak ada petunjuk.
Hal terakhir yang dilakukan oleh Julie adalah mengantarkan sarapan untuk Julio. Sementara Julio mengaku bahwa ia tak pernah bertemu Julie pagi itu. Saat berbicara dengan Bu Margaretha di sambungan telepon, pria itu mengaku telah meninggalkan kos-kosan bahkan sebelum jam 6 pagi.
Penghuni kos yang lain hanya mengatakan bahwa terakhir kali mereka melihat Julie adalah saat gadis itu membawa kotak makanan dan naik ke lantai tiga. Selebihnya tak ada lagi petunjuk apa pun.
Pencarian di sekitaran kos-kosan juga sudah dilakukan. Tapi, Julie bukanlah anak kecil yang akan menghilang dan tak tahu jalan pulang. Ia sudah dewasa untuk tahu di mana rumahnya dan ke mana ia harus pulang.
Satu persatu teman-teman kuliah, teman SMA, bahkan teman lama Julie dihubungi. Dan hasilnya tetap nihil. Tak ada kabar, bahkan kebanyakan mengaku mereka tak berkomunikasi dengan Julie akhir-akhir ini.
“Ini pasti ulah orang gila itu.” Sophie langsung menuduh. “Siapa lagi kalo bukan Pak Jonathan?”
Pak Pramudya yang sedari tadi diam juga memikirkan hal yang sama. Siapa lagi yang akan menjadi dalang di balik hilangnya Julie kalau bukan Jonathan. Pria itulah tersangka utamanya. Sayangnya, mereka tak punya bukti apa-apa. Tak bisa datang ke kantor polisi untuk melaporkan hal yang hanya akan ditertawakan oleh petugas di kepolisian.
“Terus gimana dong kita nyari Julie? Pa … gimana, dong?” tanya Bu Margaretha dengan resah.
“Papa udah minta bantuan temen-temen Papa yang ada kenalan detektif bayaran untuk melakukan pencarian. Sementara itu kita juga harus tetap menunggu 1x24 jam sebelum melapor ke polisi. Mau lapor sekarang palingan kita cuma disuruh melakukan pencarian mandiri. Polisi belum akan turun tangan.”
Bu Margaretha meringis. Ini salahnya juga, kenapa ia termakan rayuan Julie untuk membolehkan gadis itu kembali ke tempat kosnya. Harusnya ia menegasi Julie agar tetap di rumah. Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi?
Setimpalkah harga yang dibayarkan oleh satu penghuni kamar kos dibandingkan dengan menghilangnya Julie? Gara-gara satu penghuni yang ingin menempati kamar nomor 14 itu, Julie bela-belain ke tempat kosnya. Dan inilah yang terjadi.
“Ini salah Mama,” ujar Bu Margaretha dengan lesu. Penuh dengan penyesalan. Ini mungkin sudah yang kesekian puluh kalinya ia mengatakan hal yang sama. Menyalahkan diri sendiri. “Harusnya Mama gak ngebiarin Julie balik ke tempat kosnya. Harusnya Mama tetap memastikan kalau Julie selalu berada di rumah ini. Kalau Julie gak balik ke kosan, anak kita gak bakalan ngilang. Ya ampun, Julie sekarang gimana? Julie bisa aja diapa-apain sama Pak Jonathan sialan itu!”
“Ma, jangan ngomong yang gak-gak deh, kita masih mengupayakan pencariannya Julie.” Pak Pramudya mengingatkan.
“Tapi, Pa, sampai kapan kita harus nunggunya? Julie udah ngilang sejak tadi pagi. Ini udah hampir malam dan sama sekali belum ada kabar.”
“Ma, Papa juga khawatir. Papa juga bingung gimana nyariin Julie. Semua yang Papa bisa udah dikerahkan untuk mencari Julie. Satu-satunya yang bisa Papa katakan sekarang adalah kita menunggu dengan sabar dan mendoakan agar Julie tetap baik-baik saja.”
Bu Margaretha kini tak membalas lagi ucapan suaminya. Hanya membuang muka, memalingkan wajahnya agar tak kelihatan jika ia menangis lagi. Bagaimana ia tak menangis kalau hilangnya Julie adalah bentuk keteledorannya. Kalau pun ia membiarkan Julie kembali ke tempat kos-kosan, harusnya ke mana pun Julie pergi, ia tetap mengawasi. Meski hanya di lingkungan kos-kosan.
“Kalau Pak Jonathan itu menginginkan pernikahan, harusnya dia tidak akan membahayakan Julie. Kalau memang dia yang menculiknya, setidaknya dia pasti menjaga keselamatan Julie.” Nughie mencoba berpikiran positif. Walau sebenarnya, hanya untuk sekadar menenangkan mamanya. Karena dalam pikirannya saat ini pun beragam hal buruk tercipta.
“Tidak akan membahayakan?” Sophie tertawa. “Orang seperti Pak Jonathan? Cih!” Sophie mendecih. “Dia orang gila, Kak. Apa menurut Kak Nughie orang yang tanpa peduli ingin memasukkan alat medis ke dalam organ kewanitaan Julie demi melakukan tes kesuburan akan menjaga keselamatan Julie? Omong kosong! Dia gak peduli sama Julie. Dia hanya peduli dengan obsesinya. Apa orang seperti itu yang akan menjaga keselamatan Julie? Sementara untuk melindungi kehormatan Julie sebagai seorang perempuan saja ia tak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah untuk keperluannya sendiri. Tak peduli jika Julie masih gadis atau tidak dan dia dengan entengnya mau berbuat gila, menganggap Julie seperti hewan yang bisa diperlakukan sesuka dia saja.”
Bantahan Sophie terhadap ucapan Nughie sukses membuat Bu Margaretha berderai air mata lagi. Beragam pikiran yang semakin buruk memenuhi kepalanya. Entah Julie diperkosa. Atau bisa saja Julie dipukuli karena telah mempermalukan dan menolak Jonathan. Dan paling buruknya kalau Julie sampai dimutilasi lalu dibuang.
Bu Margaretha tak mau memikirkan hal itu, tapi segala pikiran buruk itu tak mau pergi dari kepalanya. Ia dihantui.
Jika di kediaman orang tua Julie terjadi keresahan, maka sama halnya yang terjadi di kos-kosan. Dengan kenyataan bahwa Bu Margaretha menyatakan bahwa Julie diculik, maka penghuni kos-kosan ikut dibuat panik. Mereka semua mengkhawatirkan Julie. Banyak spekulasi bermunculan.
“Jangan-jangan Ibunda Ratu diculik sama yang punya kos sebelah. Karena merasa tersaingi makanya Ibunda Ratu diculik.”
“Kalo pemilik kos sebelah sejahat itu, harusnya dia udah nyulik Babe Ahmad dari dulu. Kan dari dulu kos-kosan ini dikelola sama Babe Ahmad,” sanggah yang lain.
“Apa kalian lupa kalo anaknya Babe Ahmad abis ketabrak, sekarang di rumah sakit. Kan bisa aja itu bukan kecelakaan biasa, tapi emang disengaja.”
“Ah, bener.” Seseorang ikut membenarkan.
“Bagaimana kalo Ibunda Ratu itu diculik sama saingan bisnis atau musuh papanya? Kan banyak tuh orang-orang yang menyerang keluarga saingan atau musuhnya.”
“Atau jangan-jangan yang nyulik Ibunda Ratu adalah mantan pacarnya atau cowok yang mau sama Ibunda Ratu. Ibunda Ratu kan cantik, pasti banyak yang naksir. Tuh Om Jonathan aja naksir berat. Mungkin ada salah satunya yang ditolak dan sampai dendam. Terus nyulik.”
“Bener juga, ya. Ibunda Ratu kita kan emang cantik. Bisa aja diculik terus dipaksa buat nerima cowok itu, ‘kan?”
“Atau penghuni kos sebelumnya yang diusir itu, gimana kalo dia dendam gara-gara diusir, makanya dia nyulik Ibunda Ratu.”
“Tega banget gara-gara diusir doang, lagian kan salahnya dia juga karena udah nunggak sampai 4 bulan.”
“Yang sebelumnya di kamar 14 itu, ‘kan?”
“Iya, yang di kamar 14. Tampangnya kan kayak tampang-tampang kriminal gitu. Liat aja tatonya banyak banget.”
“Ah, masa gara-gara diusir aja sampai nyulik.”
“Kan bisa aja, kalo udah terlanjur dendam, ya apa pun bisa dilakuin.”
Para penghuni kos saling menyatakan spekulasinya. Mengait-ngaitkan hal yang sama sekali tak berhubungan karena sebenarnya mereka bingung harus berkata apa.
Julio yang tiba di kos-kosan di sore hari langsung disambut kehebohan. Para penghuni kos langsung menodongnya dengan berbagai pertanyaan, apalagi dengan kenyataan bahwa tempat terakhir yang dituju oleh Julie adalah kamarnya sebelum gadis itu menghilang.
“Loe tau gak kalo Ibunda Ratu ngilang?”
“Katanya Ibunda Ratu kita tuh diculik orang.”
“Kalian ngomong apa sebelum Ibunda Ratu ngilang?”
“Katanya Ibunda Ratu nganterin makanan buat loe?”
“Loe kok bisa dibawain makanan sama Ibunda Ratu?”
“Kalian punya hubungan apa?”
“Gue bahkan gak sempat ketemu Ibunda Ratu tadi pagi. Gue udah keluar dari kos sebelum matahari terbit,” balas Julio.
“Kata mamanya Ibunda Ratu, dia bawain kamu makanan. Tapi, setelahnya gak balik-balik.”
“Nah, itu juga yang gue gak tau. Ini bahkan baru balik ke kos.”
Julio meninggalkan penghuni kos lain dan bergegas naik ke kamarnya. Membuat beberapa cowok di belakangnya berbisik-bisik dan mengatainya.
“Dasar gak pedulian. Padahal kan Ibunda Ratu bawain dia makanan.”
“Iya, gak tau diri banget. Dibaikin sama Ibunda Ratu tapi gak mau peduli.”
“Meskipun dia masih penghuni baru di sini, tapi kan setidaknya dia harus menunjukkan simpatinya.”
“Mungkin dia gak peduli karena Ibunda Ratu bukan tante-tante kayanya,” timpal yang lain. “Yang dia pikirin kan cuma kerja buat tante-tante kaya biar dapat duit.”
Yang lain sontak tertawa.
“Mungkin Julio kecapean, habis memuaskan tante-tantenya. Dia bilang sendiri kan, dia udah ninggalin kos bahkan sebelum matahari terbit. Gila banget dia kerjanya, subuh-subuh udah harus kerja buat muasin tante-tante kaya. Si Julio kerja kayak gimana yah?”
Jika yang lain masih bergosip tentang pekerjaan Julio, maka pria itu sudah membuka pintu kamarnya dengan kunci yang tadi siang diberikan oleh Warren. Tadi siang ia sempat bertemu dengan teman baiknya itu dan diberikan kunci kamarnya. Sekalian diberi tahu oleh Warren bahwa Julie membawakannya sarapan.
Kotak makanan itu masih di tempat yang sama, di tempat di mana Warren meletakkannya tadi pagi. Di atas meja di dekat pintu.
Julio menghela napas panjang sebelum meraih dan membuka kotak makanan tersebut. Bulir-bulir uap air yang sudah embun di penutup kotak makan tersebut berjatuhan saat ia membukanya.
“Ah, sudah dingin.” Julio mendekatkan ke depan hidungnya, membaui aroma sop ayam buatan Julie. “Aromanya enak.”
Aromanya mungkin enak, belum saja ia mencoba bagaimana rasanya. Karena saat Bu Margaretha mencoba sop ayam yang sama, ia langsung mengeluh keasinan.
Pria itu mengambil sendok, berniat makan mumpung belum basi. Tak apalah jika sudah dingin, setidaknya ia harus menghargai makanan pemberian Julie.
Sesendok sop masuk ke dalam mulutnya, kening Julio langsung mengerut. Ini tak seperti yang ada dalam bayangannya. Ada sesuatu yang bermasalah dengan rasa makanannya. Membuat Julio mengambil air panas dari dispenser dan menuangkan setengah gelas ke dalam tempat makan itu. Ia aduk sesaat, mencobanya lagi.
“Lumayanlah, rasanya menjadi pas dan lebih hangat.” Pria itu pun melanjutkan makannya hingga menghabiskan isi kotak tersebut, termasuk nasinya. Bukan karena enak lantas ia menghabiskannya, tapi karena kelaparan sekaligus merasa bersalah karena baru sempat memakannya. “Terima kasih sarapannya, Aiii …. Maaf dimakannya jadi makan malam.” Julio berujar seolah-olah ada gadis itu di depannya. “Terima kasih pelukan hangatmu semalaman, terima kasih sop hangatmu, dan senyummu yang selalu hangat untukku.”
Pria itu bangkit dari duduknya, menanggalkan pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya. Masuk ke kamar mandi, mengguyur seluruh tubuhnya dengan air. Mencari kesejukan dari tiap bulir air tersebut. Meredam kemarahan, rasa sakit, rasa sesal, juga tentang kekhawatirannya pada Julie.
Perasaannya bercabang. Ia tengah berduka atas kehilangan yang amat menyakitkan ini. Untuk seseorang yang tak sempat ia lindungi. Ia butuh waktu sebenarnya, untuk dirinya sendiri. Tapi, rasa pedulinya pada Julie membuat pria itu mengabaikan rasa sakit yang sebenarnya tengah menggerogoti hatinya.
Setelah mandi, Julio bergegas berganti pakaian, lalu mencari Julie.
Ia sudah bisa menebak siapa pelakunya. Pasti Jonathan. Dan pria itulah yang harus ia selidiki. Ke mana ia kemungkinan menyembunyikan Julie.
Julio tak perlu mencari petunjuk lain, ia sudah tahu siapa lawannya. Dan pria itu adalah Jonathan.
Pria itu mengambil ponsel, kunci motor, dompet, dan helm. Ia meninggalkan parkiran kos-kosan dengan kecepatan tinggi. Menyalip di antara banyaknya kendaraan-kendaraan lain.
Kecepatan laju motornya melambat saat ia memasuki area perumahan elit, rumah-rumah besar berjejer dengan megah. Salah satunya adalah rumah milik Jonathan. Di depan rumah berwarna coklat kombinasi krem itulah motor Julio terhenti. Penglihatannya akan suasana di dalam tertutupi tingginya gerbang dan pagar yang berdiri dengan amat kokohnya.
Membunyikan bel dan masuk melewati gerbang depan sepertinya bukanlah ide yang baik. Pria itu merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan ponsel, dan menghubungi seseorang.
“Apa Tuan Besarmu sedang berada di rumah?”
“Iya.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Tunggu ….”
Julio menunggu, ia permainkan kunci motornya dengan tangan sebelah kanan karena ia memengang ponsel dengan tangan kiri. Menunggu seseorang di sambungan telepon itu kembali dan menjawab pertanyannya.
“Dia sedang memutar film kesukaannya, di ruang keluarga. Dengan segelas wine di tangannya. Dan … dia sedang tersenyum puas dengan mata yang terpejam,” ujar sang penerima telepon. “Sepertinya dia habis membunuh seseorang. Dia pasti akan melakukan kebiasaannya ini jika habis membunuh orang. Semacam perayaan.”