Terkoyak

1888 Kata
“Sebenarnya siapa yang kau cari?Dalam sepekan ini, kau bahkan telah menelponku hingga dua kali.” “Seseorang. Tuan Besarmu menculiknya.” “Tidak ada seorang pun yang dibawa ke sini. Carilah ke tempat lain, di rumah yang lain. Kalau dia membawa seseorang ke sini, mungkin dia sedang berniat menjadikan wanita itu sebagai Nyonya Besar di sini. Kau sendiri tau, bukan, kalau sejak Nyonya meninggal 1 tahun yang lalu, bahkan pelayan wanita pun tak diperbolehkan masuk ke sini.” “Baiklah, terima kasih infonya.” “Kau tau ….” Julio sudah hampir menutup teleponnya, namun ia menghentikan niatnya setelah ucapan dari sang penerima telepon. “Apa?” “Tuan Besar kami punya rumah dengan lorong bawah tanah yang menakjubkan.” Panggilan telepon diputus sepihak, padahal Julio masih ingin mendengar kelanjutannya. Salah satu pekerja di rumah utama milik Jonathan mengatakan jika pria itu memiliki rumah dengan lorong bawah tanah. Apakah itu petunjuk tempat Julie berada? Namun, di mana keberadaan rumah dengan lorong bawah tanah ini? Sudah dua hari Julio terus membuntuti ke mana pun Jonathan pergi. Tapi, entah pria itu sengaja atau tidak, dua hari ini ada begitu banyak tempat yang ia kunjungi. Mengecek gedung-gedung pertokoan miliknya, kos-kosannya, dan bahkan mengunjungi beberapa rumahnya. Julio menaruh curiga pada rumah berbahan kayu jati—rumah yang tampak tradisional—yang dikunjungi Jonathan di hari sebelumnya. Rumahnya tampak cukup sederhana untuk ukuran seorang Jonathan yang suka sekali dengan kemewahan dan desain modern. “Yang mencurigakan adalah kenapa rumah itu tampak sepi? Kalau dia menyekap seseorang di dalam. Setidaknya harus ada penjaga. Harusnya dia mengantisipasi kalau-kalau orang tua Julie membawa preman untuk menerobos masuk.” Warren berkomentar. Pria itu menemani Julio memata-matai rumah Jonathan. “Anehnya, justru hanya pria tua yang rambutnya sudah memutih yang membuka dan menutup pagar saat Jonathan tiba dan akan pulang. Cara berjalannya pun sudah terbungkuk-bungkuk. Mana mungkin orang seperti itu menjaga seseorang yang disekap.” “Sshh ….” Julio memberi tanda agar Warren diam. Pria itu fokus ke rumah lain di kawasan tersebut. Dengan jarak satu rumah yang entah milik siapa, rumah ketiga itu lebih mencurigakan. Seorang pria botak keluar dari balik pagar. Dan begitu pagarnya terbuka, terlihat tiga orang pria berbadan besar yang tengah berdiri dengan pose tegap. “Pria botak itu ….” Warren menunjuk. “Dia ada di kos-kosan waktu Ibunda Ratumu hilang.” “Maksudmu?” tanya Julio. “Aku melihat pria itu. Untuk sesaat aku bingung karena merasa pernah melihatnya, tapi aku gak bisa inget. Sekarang setelah dipikir-pikir, pria botak itu adalah salah satu tukang pukulnya Pak Jonathan.” “Benar, dia dulu pernah memukuliku.” “Dan dia juga hadir di pemakaman ib—” Warren memotong ucapannya sendiri. “Iya, dia ada di sana. Namanya Bobi.” “Aku melihat pria itu di parkiran kos-kosan, sedang membawa koper besar. Apa mungkin dia membawa Julie pagi itu? Di dalam koper?” Warren dan Julio saling pandang. Keduanya sepertinya memikirkan hal yang sama. Julie tidak disekap di rumah pertama. Tapi, di rumah ketiga. Buktinya dari rumah itu Bobi keluar. Dan di balik pagar terlihat ada tiga pria penjaga. Yang Julio yakin ada lebih banyak penjaga yang belum kelihatan. “Pertanyaannya bagaimana kita masuk ke rumah itu? Mungkin ada puluhan penjaga di dalam sana. Masuk ke sana berdua tanpa senjata, sepertinya upaya bunuh diri.” “Berarti kita menarik mereka untuk keluar,” balas Julio. “Bagaimana?” “Bakar saja pagarnya. Bukankah soal bakar membakar adalah salah satu keahlianmu?” “Sial!” Warren mengumpat. “Kau masih saja ingat kalau dulu aku pernah bekerja sebagai tukang bakar sate.” Setelah menunggu waktu yang menurutnya paling pas sekaligus menyiapkan beberapa hal, Julio dan Warren akan melaksanakan misi gila mereka. Terhitung mustahil, bahkan beresiko membahayakan nyawa mereka sendiri, tapi Julio bertekad untuk membawa Julie pulang. Warren turun dari mobil saat terlihat cukup sepi. Ia membawa satu jeriken berisi minyak tanah. Mumpung tidak ada orang yang lewat, langsung ia buka tutup jerikennya dan menyiramkan pagar berbahan kayu itu dengan minyak tanah. Ia siramkan hingga habis sebelum ia melempar korek apinya. Pria itu langsung berlari dan masuk ke dalam mobil. Dalam sekejap, api langsung membesar. Membuat penghuni di sebelah keluar karena khawatir jika api akan membakar rumah yang dijaga oleh puluhan penjaga itu. Warren memang sengaja membakar pagar rumah kedua, bukannya membakar pagar rumah ketiga karena akan menutup sendiri akses untuk masuk. Terbukti benar terkaan dua pria itu, belasan penjaga keluar dari rumah ketiga. Semuanya terlihat panik untuk memadamkan api, apalagi sudah mulai merambat mendekati pagar rumah ketiga. “Ambil air!” “Air!” Walau mereka semua pria berbadan besar, tapi kalau dihadapkan pada situasi tak terduga, tetaplah mereka panik. Saat panik-paniknya, mereka tak lagi sempat memperhatikan bagaimana keadaan di dalam rumah. Dan saat semua penjaga terfokus pada api dan keluar ke jalanan, Julio bergegas masuk. Ia masuk sendirian karena Warren harus tetap memantau dari luar dan menyiapkan rencana berikutnya kalau saja Julio gagal di dalam sana. Pintu utama telah ia lewati tanpa hambatan. Pria itu mengedarkan pandangan setelah berhasil melangkahkan kaki di ruang tamu rumah itu. Ia masuk lebih dalam lagi, menemukan ruangan yang lebih besar dengan banyak sofa dan TV besar, ruang keluarga ia terka. Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap di arah kiri ruang keluarga. Menarik Julio untuk berjalan ke sumber suara. Ia tak langsung menerobos masuk, namun mengintip. Ia temukan dua pria berbadan besar berjaga di depan pintu. Semakin membuat Julio yakin jika di balik pintu yang dijaga itulah keberadaan Julie. “Di luar kok ribut-ribut,” ujar pria yang berdiri di sebelah kanan. Ia tampak menjauh dari tempatnya semula dengan mengintip keluar melalui jendela. “Api,” lanjutnya setelah melihat asap dan mendengar teriakan dari luar. “Api?” Temannya membalas dengan tak kalah paniknya. Ia mendekat ke arah jendela. Sementara itu, Julio melihat sekeliling, adakah benda atau apa pun itu yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Sudut matanya menemukan sebuah tabung berwarna merah—fire extinguisher—tak jauh dari TV, tergantung di tembok. Segera ia mengambilnya. Ia tarik kunci segelnya, menerobos masuk ke arah ruang penyekapan Julie. Selang dari fire extinguisher itu langsung ia arahkan ke penjaga. Keduanya tak sempat melakukan perlawanan saat tiba-tiba Julio menyemprotkan gas karbondioksida ke arah wajah, mata, dan mulut mereka. Hanya suara panik yang terdengar dari pria itu sebelum Julio melemparkan tabung tersebut dan mengenai salah satu pria itu hingga terjatuh. Julio menendang pintunya. Terkunci. Ia mendendang sekali lagi, namun di saat bersamaan salah satu pria tadi—walau matanya masih perih—tapi ia mencoba menarik Julio. Julio melawan, tentunya ia lebih stabil pergerakannya dibanding pria berbadan besar itu. Beberapa kali hantaman di perut dan wajah pria itu berhasil membuatnya terjatuh. Tak disia-siakan oleh Julio untuk mendobrak pintu yang terkunci itu dengan sekuat tenaganya. “Julie!” Julio langsung meneriakkan nama gadis itu begitu ia mendapatinya dalam keadaan wajah yang babak belur dan terikat. Ia bergegas mendekati Julie yang berbaring menyamping, tubuhnya masih terikat dengan erat, sementara wajahnya masih terlihat darahnya walau telah mengering. “Yy-yo,” panggil Julie dengan terbata. Walau keadaannya cukup mengenaskan, setidaknya ia masih cukup sadar untuk mengenali pria itu. “Iya, ini aku. Aku bakalan bawa kamu pergi dari sini.” Pria itu segera meraih ikatan Julie, mencoba melakukannya dengan cepat, tapi gadis itu meringis kesakitan saat Julio menyentuh tangan kanannya. “Mau ke mana?” Pertanyaan itu sontak membuat Julio berbalik. Ia belum sempat benar-benar melepaskan ikatan di tangan Julie. Pria itu berdiri, memasang badan untuk melindungi Julie. “Mundur, Ai,” ujarnya tanpa berbalik. Sayangnya perintah itu tak bisa dipenuhi oleh Julie, gadis itu, bahkan untuk sekadar menggeser badannya lagi sudah tak mampu. Ia sudah terlalu banyak menanggung kesakitan, di lengannya yang patah, ditambah lagi beberapa pukulan yang dilakukan oleh Jonathan sejak hari pertama ia diculik hingga di hari ketiga. Salah satu dari pria berbadan besar itu langsung mengeluarkan pisau. Sebuah pisau dengan jenis Jagdkommando—memiliki tiga sisi mata pisau—yang memang dibuat untuk mengoyak badan korban. “Kalian ingin pergi?” ulang pria itu sambil memamerkan kelihaian gerakan tangannya saat memegangi pisau itu. “Pergilah kalau kau bisa selamat dari pisau ini.” Julio mengambil dua langkah ke depan, memasang kuda-kuda sebagai pertahanan dirinya. Sementara kedua tangannya sudah mengambil posisi untuk menangkis. “Cih!” Pria berbadan besar itu mendecih, mengejek Julio. “Akan kukoyak kepalan tanganmu itu, dasar anak kecil.” Pria berbadan besar itu maju, menerjang Julio dengan gerakan-gerakannya yang amat cepat. Tapi, Julio tak kalah cepatnya untuk menghindar. Saat pria itu menodongkan pisaunya, Julio menangkis lengan pria itu atau bahkan menendang—memaksa pria itu mundur dengan sendirinya. Perkelahian tak terhindarkan, sementara satu temannya masih menonton. Menunggu giliran. Tapi, tampaknya ia cukup bersantai saja. Satu lawan satu dan Julio tampak cukup kewalahan. Apalagi saat serangan demi serangan pria itu makin membabi buta, semakin memojokkan Julio. Pisaunya ia desakkan ke arah leher Julio. Julio bertahan. Menghalau dorongan pria itu agar lehernya tak dikoyak habis. Entah bagaimana nasib Julie jika ia menyerah saat itu. Tapi, desakan itu makin tak tertahankan. Tubuhnya terus terdorong ke belakang. Sementara Julie tak lagi mampu ia lindungi. Ia tersudut hingga ke tembok. Ia menyerah untuk dua detik. Salah satu sisi mata pisau itu telah menyambar permukaan lehernya. Julio bisa merasakan bagaimana halusnya permukaan pisau itu mengiris permukaan kulit lehernya. Halus, amat halus. Tapi, darah yang keluar mulai bercucuran. Padahal baru tersabet di salah satu sisinya, belum mengoyak hingga ke urat-uratnya. Terjatuh. Pisaunya segera Julio tendang. Untunglah ia memilih menyerah dalam dua detik, membuat ia sempat untuk menarik pisau lipatnya, lalu menusuk jantung pria itu. Pisau kecil milik Julio tertanam di d**a pria itu, sementara sang korban telah tersungkur dan meraung. Satu temannya telah terjatuh. Sebuah pergerakan yang tak diduga-duga, membuat pria satunya lagi segera mengambil pergerakan. Pria itu bergerak maju, ia menunduk, hendak memunguti pisau milik temannya yang terlempar oleh tendangan Julio. Antara kecepatan tangan pria itu beradu dengan gemetarnya jemari Julie untuk meraih benda yang sama. Mereka saling berebut dalam waktu yang sangat minim. Walau gadis itu tak bisa bangun, tapi ia bisa mennggeser atau lebih tepatnya menyeret tubuhnya, walau dilakukan dengan putus asa. Tangan Julie berhasil menyentuhnya dengan cepat. Ia genggam pegangannya dengan erat, walau tak berhenti ia gemetaran. Kalah cepat, pria itu justru menginjak tangan Julie. Menekan paksanya bak sedang mematikan puntung rokok. “AAARGHHHH!” Julie meraung kesakitan. “Kau menginginkannya? Ambillah,” ejek pria itu tanpa berhenti menginjak tangan Julie. “Mau kau pakai untuk apa? Untuk mengoyakku? Memangnya kau bisa? Satu lenganmu bahkan patah, yang satunya sepertinya akan segera menyusul,” ujar pria itu dengan sebuah senyum mengejek di akhir kalimatnya. “Kau pikir aku tak punya pisau yang sama?” Pria itu sedikit terbahak saat ia mengeluarkan sebuah pisau. Pisau yang sama dengan milik temannya. Ia pamerkan tepat di depan wajah Julie. Menakut-nakuti gadis itu. DUAG! Sebuah tendangan dari samping, dari Julio membuat pria yang menginjak tangan Julie langsung terjatuh. Pisau yang dipegangnya sedikit terlempar. Namun, pria itu cukup cepat untuk kembali meraih senjata miliknya. Tak lagi mau bermain-main, akan ia tusukkan benda itu langsung ke perut atau d**a Julio, mengoyaknya sampai habis. Ia meraihnya, bangkit, dan terkoyaklah. “AAKKHHH!” Julie menjerit, ketakutan. Tapi, tangannya tak berhenti memutar pisau dalam genggamannya itu. Menusuk lebih dalam, mengoyak lebih banyak, hingga pria itu tumbang tepat di sisinya. “Yy-yo … ak-ak-ku ….” Ia terisak. “Ak-aku membunuhnya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN