Halaman sekolah tampak penuh dipadati oleh kendaraan dan juga orang-orang, entah dari kalangan siswa-siswi kelas XI yang hendak ikut camping maupun para orang tua yang mengantarkan anak mereka.
Salah satu dari mereka, ada Alena yang kini tengah berdiri berhadapan dengan ketiga kakaknya. Alka dengan kemeja hitam bergarisnya, Alvian dengan kaos merahnya dan juga Aldi yang memakai pakaian serba hitam mulai dari celana training, kaus dan jaket. Tak lupa, ia juga memakai masker dan topi. Itu semua pun atas dasar permintaan konyol dari Alena. Adik kesayangannya itu masih tidak ingin teman-temannya tau jika Aldi adalah kakaknya.
Jangankan Aldi, sekarang saja sudah banyak pasang mata yang mencuri lirik pada Alka dan Alvian. Untung saja mereka cukup tau diri untuk menjaga sikap di depan orang asing sehingga tidak ada yang berani mendekati mereka berdua.
"Inget ya Alena! Kalau Kakak nelpon langsung di angkat!" peringat Alvian. Ia menatap Alena serius.
"Nggak usah berlebihan, Kak. Alena sudah tujuh belas tahun, aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa jaga diri sendiri dan--"
"Kakak nggak peduli. Kakak bakal nelpon kamu setiap satu jam sekali dan kamu harus angkat," sela Alvian yang membuat Alena membulatkan mata tak percaya. Seriously? Satu jam sekali?
"Kak Alvian berlebihan, dih! Telepon sehari sekali aja kenapa, sih? Belom nanti telepon dari kak Alka sama Kak Aldi. Alena itu di sana buat kegiatan bukan buat nerima telepon setiap satu jam sekali kayak CEO!" dengus Alena sebal. Dia mengerucutkan bibirnya ke depan. "Lagipula aku di sana CUMA tiga hari dua malam!"
Alvian ikut mengerucutkan bibir. Ia maju untuk memeluk tubuh adik perempuan satu-satunya. "Bagi kamu mungkin cuma tiga hari dua malam, tapi bagi Kakak itu sangat lama." Alvian melepas pelukannya lalu mengangguk. "Okelah! Sehari sekali. Dan kamu HARUS angkat! Kalau nggak--"
"Aku pasti bakal angkat," potong Alena cepat. Ia tersenyum pada Alvian, dan di balas oleh Kakak keduanya itu.
"Tapi kamu tetep harus kirim pesan setiap satu jam sekali," tambah Alvian. Membuat senyuman Alena memudar, berganti dengan sebuah tatapan garang ingin membunuh.
"Kak Alvian!!" Alena siap protes.
"Pilihannya hanya iya atau kamu nggak Kakak ijinin ikut camping? Kita bisa pulang sekarang."
Alena mengalihkan pandangannya ke arah Aldi, meminta pertolongan. Namun Aldi hanya terkekeh sambil mengindikkan bahu acuh.
"Oke! Nanti aku USAHAKAN buat kirim pesan tiap satu jam sekali," jawab Alena kesal pada akhirnya. "Kecuali kalau kegiatan jelajah alam. Alena nggak mungkin bisa kirim pesan. Bisa-bisa malah tersesat."
Alvian mengangguk puas. "Deal! Tapi kalau acara udah selesai, kamu harus langsung hubungi Kakak."
Alena mengangguk..
"Semua barang lengkap, kan? Obat-obatan semuanya udah? Lotion anti nyamuk? Jaket? Selimut? Pe--"
"Udah semua Kak Alka," sahut Alena. Setelah selesai berurusan dengan kakak yang super duper protektif, sekarang ia harus berhadapan dengan kakak yang punya kekhawatiran berlebihan padanya.
Wajah Alka menegang, membuat Alena mendesah. Ia maju dan memeluk tubuh kakak pertamanya. Mengelus punggung pria itu dengan sayang.
"Kak Alka tenang aja. Alena bisa jaga diri. Alena janji bakal baik-baik aja."
Alka mendesah dan mengangguk. Ia membalas pelukan adiknya erat-erat. "Kalau kamu ngerasa nggak enak badan sedikit saja, obatnya langsung diminum. Entah itu pusing, meriang atau--"
"Iya, iya," ucap Alena cepat. "Sekarang boleh aku berangkat?" Alena menaikkan sebelah alisnya. Alka memejamkan mata sesaat lalu mengangguk.
"Hati-hati di sana." Alena mengangguk sebagai jawaban.
Sebenarnya kekhawatiran Alka bukannya tidak berdasar. Alena adalah adik perempuan satu-satunya dan yang paling kecil di rumah. Wajah Alena yang sangat mirip dengan almarhumah mamanya jugalah yang membuat Alka sangat mudah mengkhawatirkannya. Alka tidak ingin terjadi hal buruk pada perempuan satu-satunya di keluarga mereka.
Setelah selesai dengan Alka, giliran Aldi yang menghampiri Alena. Tanpa banyak bicara seperti kedua kakaknya, Aldi langsung menarik Alena dalam pelukannya.
"Kamu harus hati-hati di sana. Kalau ada cowok b******k yang deketin kamu dan berbuat kurang ajar sama kamu, kamu bisa memberinya sedikit pelajaran." Aldi menyusupkan sebuah benda kotak berwarna hitam ke tangan Alena. Gadis itu menunduk untuk melihat benda tersebut dan matanya membulat sempurna seketika.
Sebuah penyetrum tubuh.
"Kak Aldi nggak serius, kan?" tatap Alena tidak percaya.
"Buat jaga-jaga," senyum Aldi. Ia mengacak rambut Alena dengan sayang seperti biasa.
"Ya udah sana masuk! Bis nya udah mau berangkat!" ucap Aldi. Alena mengangguk dan segera berbalik. Dia melambaikan tangannya pada ketiga kakaknya sebelum masuk ke dalam bis.
"Belum-belum aku sudah kangen banget sama dia," desah Alvian ketika bis tersebut sudah mulai berjalan. Aldi dan Alka hanya diam. Namun jauh dalam hati mereka, juga berkata hal yang sama.
* * *
Alena merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ketika turun dari bis. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama tiga jam, akhirnya mereka sampai di lokasi.
Sebuah lapangan rumput terbentang luas di sana. Cukup luas untuk bisa mendirikan puluhan tenda dan api unggun di tengahnya. Beberapa murid sudah berjalan berkumpul ke tengah lapangan untuk mendengarkan arahan dari para guru. Tak ingin membuang waktu, Alena pun segera menyusul mereka.
Satu jam telah berlalu dan puluhan tenda telah didirikan. Alena berada satu tenda dengan Rani dan Gea. Yang membuat Alena sedikit kesal pada mereka berdua adalah, sepanjang satu jam ini mereka selalu membicarakan Devan, Devan dan Devan.
"Jadi, pacar Devan yang sekarang Maudi? Si cewek centil itu?"
Gea mengangguk membenarkan. "Aku dengar sih gitu. Baru aja kemarin putus sama Sisca, hari ini udah pacarin si Maudi," ucap Gea.
Rani menghela napas. Matanya melihat ke arah tenda seberang khusus pria. Di sana, nampak Devan sedang bermesraan dengan Maudi. Entah kenapa ia masih menyukai Devan. Padahal Devan juga yang telah menyakiti dan mempermainkan hatinya dulu. Yah, bukan sepenuhnya salah Devan sih. Salahnya juga sebenarnya. Karena bukan rahasia umum lagi jika Devan adalah cowok playboy dan suka berganti pacar dalam waktu kurang dari seminggu.
Benar, yang bodoh adalah cewek-cewek yang mau saja termakan rayuannya.
"Gea, Rani! Batuin dong beresin ini." Karena tak tahan lagi akhirnya Alena menegur mereka. Tangannya memakai sarung tangan tebal untuk membersihkan daun-daun kering di sekitar tenda mereka. Rani hanya menatap datar Lena dan kemudian menatap Gea, seolah dengan begitu bisa berbicara lewat mata.
"Alena ... kamu nggak lihat kulit aku itu putih mulus terawat? Sayang dong kalau dipakai buat kotor-kotoran kayak gitu," jawab Rani menatap sarung tangan Alena dengan jijik.
Gea mengangguk membenarkan ucapan Rani. "Kamu beresin sendiri aja ya, Len? Kamu kan cupu. Jadi meskipun kulit kamu juga putih, bersih dan mulus kayak Rani dan aku, tetep aja nggak bakal ada cowok yang ngelirik ke arah kamu," timpal Gea.
Alena mendengus jengah. Dengan hati dongkol sedongkol-dongkolnya, ia pun hanya bisa pasrah melanjutkan membersihkan daun-daun kering itu lagi. Mengumpulkannya dan memasukkannya dengan kasar ke dalam sebuah plastik besar, membayangkan jika sampah-sampah itu adalah Rani dan Gea.
"By the way, Len ... kayaknya gue pernah lihat lo pulang diboncengin Kak Aldi, deh."
Deg!
Pertanyaan dari Gea membuat gerakan Alena terhenti seketika. Ia melihat ke arah Gea dan Rani yang menatapnya penuh curiga.
"K-kapan? M-mana mungkin aku pulang diboncengin sama kak Aldi?" jawab Alena terbata. Dia mengalihkan pandangannya, kembali membersihkan daun-daun kering untuk menutupi kegugupannya.
Jika Rani adalah fans fanatik Devan, maka berbeda dengan Gea. Gea lebih menyukai Aldi. Dari sejak kelas sepuluh dulu. Bahkan Gea adalah ketua dari fansclub Aldi. Gea juga adalah orang yang paling rajin membuat surat cinta untuk Aldi.
"Benar juga, sih! Mana mungkin kak Aldi mau sama cewek cupu kayak lo? Gue pasti salah orang," ucap Gea, membuat Alena mendesah lega.
"Beresin yang bersih ya, Len. Kita berdua ada urusan. Bye!" lanjut Gea yang langsung saja pergi bersama Rani meninggalkan Alena.
* * *
Waktu saat ini sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Teriknya matahari sore sengaja dihiraukan oleh para murid yang kini tengah dikumpulkan menjadi satu di tengah lapangan. Mereka berbaris rapi sesuai dengan kelompok yang sudah ditentukan melalui undian kertas yang telah bertuliskan nama masing-masing siswa.
"Aish, panas banget sih," gerutu salah seorang siswi sembari menunduk. Ia menengok ke belakang dan mendapati wajah Alena yang menatapnya acuh tidak tertarik.
"Len, lo depan sini. Gue kepanasan!" pinta Rani yang kebagian satu kelompok dengan Alena.
Alena berdecak kecil tapi menurut saja. Rani pun langsung tersenyum senang. Demi Tuhan, Alena bisa membaca pikiran Rani. Di belakang sana, masih di kelompok yang sama dengan Rani dan Alena, ada seorang cowok yang menjadi pusat perhatian para gadis. Siapa lagi jika bukan Devan.
"Aduh... kok gue nggak sekelompok sama dia sih?" terdengar bisik-bisik siswi di dekat barisan Alena.
"Boleh nggak sih tukeran kelompok?" saut suara yang lain.
"Iri banget deh. Beruntung ya yang ada di kelompok itu."
Dan masih banyak lagi gumaman-gumaman iri lainnya yang sempat didengar Alena. Ia hanya diam tanpa menanggapi. Jika saja bisa, ia juga ingin bertukar kelompok. Bersama Fadil dan Zia jika perlu, hingga selama perjalanan nanti dia bisa membicarakan soal olimpiade yang akan mereka ikuti beberapa bulan ke depan.
Di depan sana, seorang guru pembimbing sedang memberi arahan dengan sebuah TOA di tangan kanannya.
"INGAT! BERJALANLAH SESUAI RUTE DI PETA! JANGAN SAMPAI TERPISAH DARI KELOMPOK KALIAN! MENGERTI?!"
"Mengerti, Pak!!" jawab seluruh murid dengan serentak.
"BAIKLAH. INGAT, KALIAN HARUS KEMBALI MEMBAWA BENDERA SESUAI DENGAN WARNA DI PETA TIAP KELOMPOK. BENDERA ITU KAMI SEMBUNYIKAN DI TEMPAT-TEMPAT TERTENTU, JADI KERJASAMA KELOMPOK SANGAT DIBUTUHKAN! KALIAN DI PERBOLEHKAN MEREBUT BENDERA KELOMPOK LAIN. DAN JIKA KALIAN KEMBALI KE SINI TANPA MEMBAWA BENDERA APAPUN, MAKA HUKUMAN AKAN MENANTI KALIAN. MENGERTI?!"
"Huuuuuu ...," seru para murid bebarengan.
"TIDAK ADA PROTES!! SEKARANG MARI KITA MULAI ACARA JELAJAH ALAM LIAR!"