6. Bus Kaum Jelata

2007 Kata
Devan memutar bola mata dan menghela napas malas untuk kesekian kali karena mendengar Sisca terus saja mengomel sejak lima belas menit yang lalu. Devan benar-benar bosan mendengarnya. Hei! Ban mobil yang mendadak kempes bukan salahnya, bukan? Mana dia tau jika ban mobil merah kesayangannya itu mendadak sudah tidak berangin? Dasar cewek gila! Rutuk Devan dalam hati. "Devan, aku itu lagi ngomong sama kamu! Kamu dengerin aku nggak sih?!" Sisca berkata sambil memberengut kesal. Dari tadi ia berbicara tetapi Devan bukannya memperhatikan atau mendengarkan ucapannya. Laki-laki itu justru sibuk mengorek-ngorek telinganya sendiri dengan jari kelingking. Bahkan sesekali mengerlingkan mata menggoda jika ada segerombolan siswi cantik yang tengah melintas di depan mereka. Dengan malas, Devan menatap Sisca bosan. Cengiran jahil yang tadi terus menghiasi bibirnya  mendadak berubah menjadi sebuah decakan kecil. "Udah selesai?" tanya Devan dengan tampang tidak bersalah. Sementara Siswa menyipitkan mata sembari berkata, "Hah?" "Udah selesai belum ngomelnya?" tanya Devan lagi, membuat Sisca terperangah kesal. "Devan, kamu--" "Lo bisa 'kan pulang bareng teman-teman lo?! Ribet amat sih jadi cewek!" sela Devan, mengabaikan tata bahasa 'lo-gue' yang ia pakai pada Sisca. Cowok itu sudah terlanjur lelah dan muak. Selain karena udara panas di siang hari terasa memanggang ubun-ubunnya, rasa haus dan lapar juga membuat ia melupakan tata krama dan sikap baiknya pada cewek yang menyandang status sebagai pacarnya tersebut. Sisca menatap Devan horor, setengah kesal setengah takut. Ia khawatir Devan akan memutuskannya saat itu juga. Sisca menggigit bibir, berdoa dalam hati agar Devan tidak melakukannya.  'Ini bahkan belum ada satu hari,' suara Sisca dalam hati. 'Bisa mati malu gue kalau Devan sampai mutusin gue kurang dari sehari! Selamat tinggal reputasi...' "Tapi--" "Udahlah, gue mau naik bis. Lo mau ikut?" tawar Devan. Sisca mengerjab. Oke, kabar baiknya Devan tidak memutuskannya. Kabar buruknya, bis? Helloooo??? Sisca Nia Ramadhani naik bus? Apa kata dunia nanti? Wajahnya yang cantik mulus itu bisa jadi jerawatan karena terkena debu kotor di dalam sana. Belum lagi bayangan bau keringat rakyat-rakyat jelata yang tercampur jadi satu. Iyuh! Sisca merasa mual tiba-tiba. "Nggak usah! Mending aku pulang bareng sama temen-temen aku," tolak Sisca sembari membalikkan badan. Hatinya terasa dongkol saat ini. Kenapa dari sekian banyak alat transportasi  Devan malah mengajaknya naik bis? Naik taksi kan bisa? Lagipula Devan kan kaya? Dasar menyebalkan! Mengindikkan bahu acuh, Devan pun berbalik dan berjalan keluar gerbang. Jujur saja Devan tidak benar-benar berniat mengajak Sisca pulang  naik bis. Itu hanya sebuah alibi yang ia buat agar tidak pulang bersama Sisca. Bisa-bisa kupingnya jadi tuli jika harus terus mendengar celotehan cewek itu sepanjang perjalanan pulang. Dan Devan masih tidak ingin menjadi tunarungu bahkan sebelum usianya menginjak delapan belas tahun. Devan mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Ia berencana memesan taksi online. Tapi, harapan tinggal harapan. Entah kenapa semua taksi seakan sedang bersekongkol untuk mengejek dan membuatnya kesal. Anjrit! Dari ratusan bahkan ribuan taksi di kota tersebut tidak ada satupun yang sedang free? Yang benar saja?! umpat Devan, menendang sebuah kerikil tak berdosa yang mengenai punggung seorang siswa dengan potongan rambut mangkuk yang tengah melintas di depannya. Siswa itu menoleh, hendak mengumpat bahkan menghajar siapapun yang melakukan hal tersebut namun urung saat melihat sosok Devan. Ia menghela napas kesal, tau jika tidak bisa membalas. Bisa mati digebukin separuh murid perempuan di sekolah jika ia berani mencari masalah dengan Devan nanti. Sementara itu, Devan mengacak rambut frustrasi. Bagaimana sekarang ia pulang? Tepat saat itu, ekor mata Devan menangkap sosok yang tidak asing baginya. Seorang siswi berkacamata bulat besar yang berjalan sedikit tergesa. Wajahnya terlihat was-was seakan sedang mencoba menghindar atau bersembunyi dari seseorang. Sesekali ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, memastikan ia benar-benar aman. Menaikkan sebelah alis, Devan menatap heran pada cewek itu. "Sedang apa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Tanpa sadar, Devan melangkah mengikuti cewek tersebut. Bahkan ia masih tidak menyadari ketika ia melangkah naik pada sebuah bis yang berhenti di halte saking fokus membuntuti cewek tersebut. Devan benar-benar tidak mengerti kenapa ia penasaran dengan cewek cupu itu. Cewek yang ia tau bernama Alena Zhafira. Cewek yang juga kemarin ia lihat bersama Aldi. Devan terus bertanya-tanya  apa sebenarnya hubungan antara Alena dan Aldi? Apakah mereka menjalani hubungan sembunyi-sembunyi alias sedang backstreet? But, seriously? Aldi dengan cewek cupu kayak dia? Apa sih yang menarik dari cewek ini hingga kemarin Aldi tampak begitu ... entahlah. Devan tidak bisa mendeskripsikannya dengan pasti. Yang jelas, dari yang ia lihat kemarin adalah Aldi terlihat sangat protektif pada Alena. Bahkan beberapa kali Devan menangkap tatapan lembut seorang Aldi pada cewek itu, yang mana Devan tidak pernah melihat Aldi menatap perempuan manapun dengan tatapan selembut itu. Aldi tampak sangat menyayanginya dan mencintai.... "Minggir, woi!!" Devan tersentak ketika bahunya didorong ke samping hingga terhuyung dan duduk tepat di salah satu kursi bis. Devan mengerjab beberapa kali begitu ia sadar ada di mana ia sekarang. Remaja tampan itu mengumpat. Sejak kapan gue ada bis kaum jelata ini?! Devan segera bangkit dari duduknya berniat untuk turun tetapi terhenti ketika dia merasakan bus telah berjalan. s**l! Menghela napas panjang, akhirnya Devan memilih untuk kembali duduk. Sesekali mengernyit menahan napas ketika mencium bau-bau yang tidak menyenangkan bercampur jadi satu. Membuat perut Devan bergejolak ingin memuntahkan isi perutnya yang sudah kosong. "Cu, bisa geser ke sana? Nenek mau duduk." Devan mendongakkan kepala dan mendapati seorang nenek tengah tersenyum ramah padanya sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Devan. Nenek tersebut membawa sebuah tas kulit murahan berwarna cokelat  yang disampirkan di bahu kanannya, sementara di tangan lain ia menenteng sebuah tas yang terbuat dari anyaman plastik yang berisi penuh dengan sayuran. Devan tidak langsung menjawab. Ia justru semakin mengernyit karena bau di dalam bus tersebut makin membuat ia mual seiring dengan isi penumpang yang makin banyak. Devan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan sialnya seluruh kursi penumpang telah terisi penuh. Hanya kursi sebelahnya saja yang masih kosong. "Sorry, nek! Kursinya udah ada yang nempatin!" alasan Devan. Nenek tersebut mengerjab bingung. Senyuman ramahnya masih bertahan di wajah keriputnya. "Tapi itu kosong." "Siapa bilang ini kosong?" jawab Devan cepat. Ia menggeser tempat duduknya lalu menaikkan kedua kakinya ke atas kursi. Praktis posisi Devan kini adalah duduk berlunjur. "Nah! udah ada yang nempatin kan, Nek?" Devan tersenyum penuh kemenangan, sementara ia menggoyang-goyangkan sepatunya dengan santai, berharap agar si Nenek segera pergi dari hadapannya. Sungguh, entah minyak apa yang dipakai oleh wanita dengan rambut penuh uban tersebut. Apapun itu membuat kepala Devan berdenyut pusing. Devan menghidupkan handphone yang sedari tadi ia genggam lalu mendesah. Jika saja ada satu saja taksi yang sedang menunjukkan status 'ready', tentu ia akan memutuskan untuk turun dari bis tersebut saat ini juga. Namun semua taksi online menunjukkan status 'busy', jadi tidak ada pilihan lain bagi Devan. Ia harus naik bis untuk sampai ke rumahnya yang jauh. Nenek itu menggelengkan kepala. Moral anak muda zaman sekarang benar-benar memprihatinkan! Jika dulu yang muda selalu mengutamakan yang tua, maka sekarang tidak berlaku lagi. Jaman benar-benar sudah banyak berubah. "Nenek bisa duduk di tempat saya." Seorang gadis dengan kacamata bulat besar menepuk pelan bahu nenek itu. Dia tersenyum, mempersilahkan agar si nenek tersebut bisa duduk di tempatnya. Si Nenek tersenyum berterimakasih pada gadis itu. Gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Alena. Perbuatan Alena tersebut tak luput dari perhatian Devan. Bahkan sekarang mata Devan dan Alena saling bersitatap. Devan menatap Alena datar dan Alena membalasnya dengan tatapan tajam dari balik kacamata bulatnya. Sejak tadi memang Alena memperhatikan interaksi si nenek dengan Devan. Dan Alena benar-benar tidak habis pikir dengan cowok itu. Sudah playboy, nggak punya tata krama lagi! "Dasar gila!" ucap Alena tanpa suara yang membuat Devan terperangah. Apakah baru saja gadis cupu itu mengatainya gila? Tak berniat membalas u*****n Alena padanya, Devan memilih membuang muka ke jendela. Melihat cewek cupu itu terus menerus bisa membuat ia sakit mata. Padahal ia juga harus berusaha keras agar tidak muntah di dalam bis. Oh, ayolah bis kaum jelata. Jangan ngesot seperti siput! Lari yang kencang seperti ferrary!!! *** Alena mengerang sambil memijit-mijit betisnya yang terasa pegal dan kaku. Berdiri di dalam bus selama setengah jam membuat ia seperti ini. Bahkan bukan hanya kakinya yang pegal, pinggang Alena juga terasa sangat kaku. "Makanya, kalau diajak pulang bareng itu mau! Gini kan jadinya?" omel Aldi menghampiri Alena dengan membawa sebuah baskom yang berisi air hangat dan handuk kecil. Aldi berjongkok, meletakkan baskom itu. Mengambil handuk kecil dan memerasnya. Dengan gerakan telaten, ia mengompres betis Alena, mengusap dengan lembut dan memijitnya pelan. Alena tersenyum kecil memperhatikan apa yang dilakukan Aldi. Kakaknya memang selalu melakukan hal ini padanya jika ia pulang dan mengeluh kakinya pegal karena berdiri terus. Yah, meskipun harus mendengar omelan terlebih dahulu dari si kakak. "Kenapa sih menghindar terus dari aku?" Aldi menghentikan pijitannya demi menatap mata sang adik. "Sampai kapan kamu akan berpura-pura nggak kenal sama aku selama di sekolah? Atau ... kamu nggak suka punya kakak kayak aku? Kamu malu jika aku kakakmu?" Alena memutar  bola mata. "Ayolah, kak Aldi. Kakak tau bukan itu alasanku merahasiakan identitas." Jawaban Alena membuat Aldi memberengut. Ia kembali memijit kaki adiknya. "Aku udah mau lulus, Alena." "Aku tau," tukas Alena. Ia tersenyum simpul memperhatikan kakak yang ia sayangi. "Tapi biarin aku dapat seorang teman yang nggak memanfaatkan keadaan. Kak Aldi tau kan kalau aku muak dan benci sama orang-orang bermuka dua. Mau berteman denganku hanya untuk mendekati ka...?" "Oke-oke, kamu menang!" potong Aldi. Ia tau jika dulu semasa SMP banyak yang mendekati Alena karena hanya ingin dekat dengannya atau Alvian. Dan itu membuat adik kesayangannya merasa terganggu. Di depan mereka akan baik dengan adiknya, tapi di belakang mereka selalu membicarakan hal buruk pada Alena. "Tapi tetap aja itu membuat aku nggak nyaman karena harus terus pura-pura nggak kenal sama kamu," gerutu Aldi mendongak, menghentikan pijitannya lagi. Ia beringsut duduk di samping Alena, memperhatikan Alena dengan seksama. "Aku punya ide. Gimana kalau kamu jadi pacar Kakak aja?" "What?!" pekik Alena spontan. Ia menyentuh dahi Aldi lalu menyentuh dahinya sendiri.  "Kak Aldi nggak gila kan? Nggak habis kejedot tembok, kan? Aku itu adik kamu, Kak! A D I K! Adik!! Nggak boleh lho suka sama adik sendiri!" Aldi mendengus kesal. "Maksud aku itu, kita cuma pura-pura! Yakali pacaran sama adik sendiri," cibir Aldi. "Kan kalau status kamu itu pacar aku, bisa saling menguntungkan. Aku nggak harus pura-pura nggak kenal sama kamu dan nggak ada yang mendekati kamu hanya karena ingin bisa dekat sama aku. Iya, kan?" Alena mengusap dagu. Mengetuknya pelan sambil berpikir. Ia mengangguk-angguk lalu kemudian berkata, "Ada benernya juga sih ... tapi nggak, ah! Yang ada malah jadi korban bully-ing sama fans-fans fanatik kamu!" Aldi mendesah kasar. Benar juga yang dikatakan adiknya. Melihat ekspresi Aldi membuat Alena terkekeh. Aldi adalah kakak yang paling dekat dengannya. Mereka hanya selisih umur satu tahun. Aldi juga selalu satu sekolah dengan Alena sejak SD. Dan Aldi selalu melindunginya. Alena benar-benar bersyukur memiliki kakak seperti Aldi, Alvian dan Alka. Mereka bertiga memiliki karakter yang sangat jauh berbeda namun Alena sangat menyayangi ketiga kakak laki-lakinya itu. Rasanya ia tidak akan menukar apapun di dunia ini dengan mereka. "Oh iya, acara camping kamu kapan?" tanya Aldi kemudian. Matanya tampak antusias menanti jawaban dari Alena. "Minggu depan." Aldi mengangguk mengerti. "Udah ngomong sama kak Alka dan kak Alvian?" "Belum." Aldi berdecak. "Jangan sampai lupa! Bisa-bisa kamu nggak diijinin untuk ikut acara itu kalau kamu nggak minta ijin jauh-jauh hari. Kamu tau sifat kak Alka dan kak Alvian, kan?" Alena mengangguk. Ia tau. Alka dan Alvian akan sangat menjadi tidak masuk akal jika mereka jauh darinya.  Mereka berdua memiliki kecenderungan yang berlebihan pada Alena. Alka dengan kekhawatirannya yang nggak habis-habis dan Alvian dengan sifat protektif tiada taranya. Sebagai contoh sewaktu acara perkemahan SMP dulu. Setiap lima belas menit sekali ponsel Alena berbunyi karena Alvian dan Alka selalu ingin mengecek keadaannya. Bayangkan saja! Setiap LIMA BELAS MENIT SEKALI!! Bukankah itu membuat ia benar-benar frustrasi?! Karena kesal, Alena pun akhirnya mengabaikan panggilan telepon dari kedua kakaknya tersebut dan memilih me-non aktif-kan ponselnya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah ... Alka dan Alvian langsung menyusul ke perkemahan dan berbuat keributan mencari tenda Alena. Membuat cewek itu malu setengah mati. Meskipun pada akhirnya lebih cenderung terganggu sebab banyak dari teman-teman SMP nya yang mulai bertanya tentang siapa dua cowok tampan yang mencarinya hingga memaksa Alena untuk mengenalkan pada mereka. Berbeda dengan Aldi yang tampak santai karena  percaya padanya. Aldi mungkin hanya sesekali menelpon umtuk menanyakan keadaan dan kapan pulang untuk menjemput. "Nanti malam aku bakal bilang, deh," ucap Alena. Aldi tersenyum lalu mengacak rambut Alena dengan sayang. "Siap-siap nerima ceramah panjang kali lebar kali tinggi sama dengan luas dari kak Alka dan kak Alvian," kekeh Aldi. Sedangkan  Alena hanya bisa menghela napas pasrah. Sepertinya nanti malam akan menjadi malam yang panjang dengan kedua Kakak lelakinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN