Rasanya, baru saja Alena berkedip tetapi kini tubuhnya menjadi berat. Ia mengerjab, lalu segera menegakkan tubuhnya saat merasa ada yang aneh.
Setelah dia duduk dengan tegak, Alena terkejut luar biasa. Sejak kapan ia berada di kelas? Dan kelas siapa ini? Ini bukan seperti kelasnya. Apa jangan-jangan ia salah masuk kelas lain? Tapi bahkan Alena tidak ingat sejak kapan ia turun dari bis karena tau-tau ia sudah ada di sekolah.
"Lho, nggak jadi tidur lo Dev?"
Sebuah suara pria membuat Alena menoleh. Dahinya mengernyit, mengingat-ingat siapakah sosok cowok yang ia lihat kini. Matanya bergerak ke samping dan mendapati seorang cowok lain manatapnya dengan heran.
Alena memutar otaknya cepat, tetapi ia sama sekali tidak ingat ada dua cowok itu di kelasnya. Ia hapal semua siswa yang sekelas dengannya. Kesimpulan yang Alena dapat ialah, dia benar-benar salah masuk kelas. Pertanyaannya, kenapa dia bisa sampai salah masuk kelas?
Belum sempat Alena menemukan jawaban, salah seorang cowok itu mendekat lalu menepuk pundak Alena. "Udah, sih! Lo kalau capek ya tidur aja! Nanti kita bangunin lo pas bel masuk. Eh, lo udah ngerjain PR Matematika kan?"
Alena mengerjab bingung. Sebenarnya siapa sih cowok ini? Kenapa ia sok kenal sama dia?
*
Merasa ada yang aneh dengan Devan, baik Malik dan Sigit saling berpandangan.
"Kenapa dia coy?" ucap Sigit dengan nada setengah berbisik.
"Nggak tau. Kesambet kali!" jawab Malik dengan berbisik pula.
"Dev, lo .... nggak apa-apa kan?" Malik memberanikan diri bertanya. Wajahnya mendekat, memastikan bahwa bola mata Devan masih hitam dan putih, sebab kalau tidak, berarti Devan benar-benar telah kerasukan alias ia harus segera ngacir dari sana. Bagaimanapun, Malik masih sayang nyawa. Persetan dengan Devan yang adalah teman sekaligus ketua tim basketnya!
Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Malik dan Sigit, Alena justru mengernyit. Kata 'Dev' membuat otaknya menangkap cepat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dengan cepat, gadis itu berdiri, membuat Sigit dan Malik terkejut setengah mati. Mereka mengelus d**a.
"Ampun deh! Si k*****t malah ngagetin!" maki Malik.
Alena tidak mengatakan apapun. Dia justru sudah berlari keluar kelas untuk menuju ke toilet. Ia harus memastikan sesuatu.
* * *
Sebuah goncangan keras membuat kesadaran Devan kembali. Devan menggelengkan kepala. Rasa kantuk yang tadi ia rasakan mendadak hilang. Namun, ada yang aneh. Devan menunduk dengan cepat. Tangannya memegang sebuah n****+ tebal dan memangku sebuah ransel hitam yang tampak familiar.
Sekejab saja Devan sudah menyadari jika ia tidak lagi berada di kelas, tempat terkahir yang ia ingat seharusnya ia berada. Lalu kenapa sekarang ia berada di dalam sebuah bis?
Menoleh ke samping, Devan mendapati seorang pria sedang tersenyum padanya. Devan tidak membalas senyuman pria itu karena merasa ia sama sekali tidak kenal dengannya. Justru sekarang pikirannya luar biasa panik.
Devan segera memasukkan n****+ ke dalam ransel yang berisi banyak buku-buku tebal. Buset! Pantas saja rasa pangkuannya berat.
Mengecek isi ransel lainnya, akhirnya Devan menemukan sebuah ponsel. Tanpa berniat mengidupkan layar, Devan menatap pantulan dirinya melalui ponsel tersebut. Jantungnya berdetak keras. Sebenarnya, jauh di dalam hati cowok itu sudah tau apa yang mungkin sebenarnya sedang terjadi. Namun di sisi lain dia menolak untuk percaya. Dan itu menyebabkan ia harus benar-benar memastikan.
"Mustahil ... Bagaimana mungkin," bisik Devan pelan. Pantulan dirinya benar-benar nyata. Devan bahkan menyentuh wajah berikut dengan rambut panjangnya yang dikucir kuda. Sebuah kaca mata bulat besar telah bertengger di hidungnya.
Devan menghela napas. Tubuhnya mendadak lemas. Lagi-lagi ia bertanya dalam hati. Bagaimana mungkin jiwanya bisa tertukar lagi dengan Alena?? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
* * * *
Alena menatap pantulan dirinya dengan shock. Mendadak kakinya lemas. Dia benar-benar sudah tidak berada dalam tubuhnya lagi, melainkan kembali ke tubuh Devan.
Rasa panik luar biasa merayap di hati gadis itu. Saat ia berbalik, terkejutlah dia saat mendapati dua orang cewek yang baru masuk ke dalam toilet langsung berteriak. Mereka bahkan langsung melempar tas mereka pada Alena, membuat cewek itu refleks mengangkat kedua tangan demi menghalau benda itu mengenai wajahnya.
“De-Devan? Ngapain lo di sini?” Salah seorang cewek berkata, kepalanya celingukan ke sana ke mari mencari seseorang, barangkali Devan sedang berbuat hal yang tidak-tidak di toilet cewek. Namun dia menjumpai seluruh bilik toilet sedang kosong. Maklum saja ini masih pagi sekali, jarang ada siswa ke toilet di pagi hari.
Alena mengerjab bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin bukan jika ia harus mengatakan bahwa sesungguhnya ia adalah Alena?
“Ehm. Sorry, aku salah masuk kamar mandi. Kepalaku pusing tadi,” jawab Alena sekenanya pada dua orang cewek yang sama sekali tidak ia kenal. “Aku permisi dulu.” Alena pun segera pamit keluar dari toilet.
“A-apa-apaan?” seorang cewek ber name tag Mawar berkata gagap. Ia adalah salah satu mantan Devan beberapa bulan yang lalu. Mawar heran sebab bahasa yang digunakan oleh Devan sama sekali berbeda. Seorang Devan hanya akan ber aku-kamu pada pacarnya, bukan ke semua cewek atau mantannya.
Sedangkan cewek di sampingnya yang bernama Melati, juga berkedip heran. Dia adalah salah satu penggemar berat Devan, bahkan sampai nge fans nya ia sampai hafal gerak-gerik, sikap dan sifatnya Devan. Dan jelas, yang tadi bukan terlihat seperti Devan. Wajah dan tubuhnya memang sama, tetapi dia merasa asing.
Atau mungkin dia saudara kembar Devan? pikirnya jauh berhalusinasi.
Sementara itu Alena berlari ke gerbang sekolah. Ia mengabaikan tatapan-tatapan gemas dan ingin menerkam dari cewek-cewek yang berpapasan di lorong sekolah dengannya. Beberapa bahkan sempat menggoda dan memanggilnya, tetapi Alena langsung mengiraukannya saja.
“Aduh, lama banget, sih?” gumam Alena yang kini mondar-mandir di depan pos satpam gerbang sekolah. Ia menanti seseorang yang seharusnya sudah sampai di sini sebentar lagi.
“Nunggu pacar, ya, Den?” Pak Tarjo, satpam sekolah yang suka menutup gerbang tepat waktu tetapi suka menerima sogokan rokok atau makanan dari siswa-siswa yang terlambat itu bertanya pada Devan. Pria berkulit hitam tersebut jelas tau gosip-gosip sekolah.
Alena hanya tersenyum tipis tanpa berniat menjawab. Ia melirik arlojinya yang sebentar lagi sudah menunjukkan pukul tujuh. Ke mana sih cowok ini? Tanya Alena frsutasi dalam hati.
Tak berselang lama, yang ditunggu pun tiba. Seorang cewek sedang berjalan gontai menuju gerbang sekolah. Wajahnya cemberut, terlihat sama sekali tidak bersemangat.
Itu dia Devan, yang kini menatap lurus ke depan di mana tubuh aslinya berada. Menatap pada Alena yang sedang melihatnya dengan raut muka cemas.
* *
“Selamat pagi, Non. Selamat datang di sekolah. Belajar yang rajin ya!” Pak Tarjo menyapa Alena yang baru masuk ke gerbang. Alena tampak sama sekali acuh. Ia justru berdiri tepat di depan Devan. Mata gadis itu bergerak dari atas lalu ke bawah. Lalu menatap Devan lagi.
“Gimana bisa jiwa kita tertukar lagi?” tanyanya yang membuat Pak Tarjo kebingungan. Sementara Devan, menatap balik Alena. Cowok itu menggeleng lemas.
“Aku juga nggak tau,” balasnya lirih.
*
Devan mengangguk mengerti. Tepat saat itu bel sekolah berbunyi, tanda jika jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
“Ya udah. Lo kayaknya harus segera balik ke kelas. Sudah masuk,” tukas Devan. Ia meneruskan jalannya melewati Alena dan Pak Tarjo yang mengangguk sekilas sebelum menutup gerbang sekolah.
Alena mengikuti Devan dari belakang. Otaknya terus berputar memikirkan hal yang tidak masuk akal ini. Saat mereka menjumpai pertigaan lorong, bukannya berjalan lurus, Devan malah berbelok ke kiri. Alena yang menyadari langsung menarik tangan Devan.
“Kamu mau ke mana?” tanya Alena.
“Kantin,” jawab Devan.
“Ini kan sudah masuk! Ngapain ke kantin?”
“Laper. Aduh, udah deh! Lo bawel amet sih jadi cewek!”
Alena menggeleng tegas. “Nggak ada ya kantin-kantin di jam segini! Masuk dulu!”
Bukan tanpa maksud Alena berkata demikian. Sebab saat ini Devan ada di tubuhnya, jelas jika Devan melakukan suatu hal buruk yang melanggar peraturan sekolah akan mengakibatkan namanya tercemar juga. Dan Alena tidak mau itu terjadi.
“Aelah! Iya, nanti gue masuk! Tapi gue mau sarapan dulu!” Devan berusaha menarik tangannya yang dicekal Alena, tetapi gagal. Tenaga Alena yang berada di tubuhnya benar-benar kuat.
"Emang kamu belum sarapan di rumah?" tanya Alena.
Devan diam, menatap kesal Alena. Ia jadi ingat lagi dengan apa yang tadi terjadi dengannya dengan Dewa. "Bukan urusan lo!"
"Jadi urusan aku mulai dari sekarang. Karena kamu adalah aku dan aku adalah kamu!" tukas Alena cepat. "Kamu nggak bisa berbuat seenaknya saat ada di tubuh aku, ingat?"
Devan berdecak. Sungguh, berdebat dengan Alena benar-benar membuatnya lelah. Selain tau jika dia tidak akan pernah bisa menang melawan kekeras kepalaan gadis ini, dia juga benar-benar lapar. Berjalan dari halte bis menuju sekolah telah menguras energinya.
"Lo kan punya mobil di rumah, kenapa nggak lo pake?" Devan tau pertanyaannya keluar dari topik tapi tetap saja ia bertanya. "Lo juga bisa kan bareng sama Aldi yang naik motor ke sekolah? Kenapa harus naik bis? Bikin capek tau jalan kaki!"
Alena baru membuka mulut menjawab tetapi teriakan Bu Suci, membuatnya urung.
"Devan! Alena! Kenapa kalian berdua masih ada di sini? Cepat ke kelas!" tegurnya keras. Sebuah tongkat kayu kecil yang ia pegang di tangan kanannya dia ayunkan, memberi peringatan.
Devan dan Alena mengangguk cepat. Keduanya berjalan lurus, lalu berbelok ke kiri dan menaiki tangga.
"E, eh! Mau ke mana?" Lagi-lagi Devan di buat kesal dengan Alena yang menahan tangannya.
"Ke kelas lah! Bolos juga nggak boleh kan sama lo?" ketus Devan.
Alena mengangguk membenarkan, sama sekali tidak terganggu sengan raut wajah sebal Devan. "Kelas lo ke arah sana!" Alena menunjuk ke kiri. "Tau kan gedung IPA? Aku ada di kelas 11 IPA 4."
Devan memutar bola mata malas. Ia baru akan melangkahkan kaki menuju tempat yang di maksud Alena tetapi Alena berkata lagi.
"Eh, eh! Inget ya! Jangan aneh-aneh! Nggak boleh bolos. Nanti siang baru makan di kantin!" peringat Alena sekali lagi. Ia menatap tajam mata Devan.
Devan membuang muka, lalu melangkah lagi. Namun sepertinya Alena memang senang membuatnya darah tinggi. Sebab lagi-lagi gadis itu menahan Devan. Jika saja melempar orang dari lantai dua tidak akan di penjara, sudah pasti Devan melempar cewek itu sekarang juga!
Devan melotot, menatap Alena tidak santai. Tapi bukan Alena namanya jika ia terpengaruh. Dengan wajah yang di buat cool, Alena bertanya. "Omong-omong, kelas kamu di mana?"
Devan mendengus, lalu berbalik. Alena berteriak karena Devan tidak memberikan jawaban sama sekali. Padahal ia benar-benar tidak tau di mana letak kelas Devan dan bahkan jurusan apa ia tidak tau. Tadi dia asal keluar kelas saja tanpa memperhatikan gedung mana atau kelas mana ia berada.
"Devaaaannn! Jawab aku dulu!" teriak Alena dengan suara Devan.
Devan yang ada di tubuh Alena tetap berjalan lurus, ia tersenyum miring. Lalu ia mengangkat sebelah tangan kanan, tanpa berbalik, cowok itu mengacungkan jari tengahnya di udara.