Devan memang selalu berharap jika suatu saat Dewa mau menyapanya. Duduk di sampingnya, mendengar keluh kesahnya dan bersikap layaknya seorang ayah padanya. Dia selalu bertanya-tanya sejak dulu kenapa Papa mendadak bersikap dingin setelah kepergian Mama. Devan pikir ia tidak akan pernah bisa mendapat sedikit saja perhatian dari Dewa.
Namun apa ini? Kenapa mendadak Dewa menyapanya? Bukan hanya itu, saat ini pria yang masih mengenakan kemeja kerja yang sudah tampak sedikit kusut itu juga makan semeja dengannya!
Dua belas tahun lamanya! Sudah dua belas tahun lamanya Dewa tidak pernah lagi makan satu meja dengan Devan. Pria itu, menatap matanya saja tidak mau, apalagi sengaja makan bersama? Atau jangan-jangan ini yang di sebut orang-orang dengan halusinasi? Karena sungguh, Devan tidak tau apakah ini mimpi atau nyata.
Bi Yana baru saja akan pamit untuk memberikan privasi kepada dua pria yang ia sayangi itu. Dengan sebuah senyum tipis yang terukir di bibir, wanita itu berbalik. Tetapi apa yang baru saja ia dengar membuatnya urung untuk melangkah.
"Devan sudah kenyang, Bi. Devan berangkat!" Devan menggeser kursi ke belakang. Matanya melirik waspada ke arah Dewa yang kini menampilkan ekspresi yang tidak bisa ia tebak.
Sebenarnya bukan ini yang di inginkan Devan, hanya saja sikap baik Papa tiba-tiba membuatnya awas. Dan jelas, ia tidak akan jatuh pada apapun rencana Dewa setelah sekian lama pria itu tidak pernah menganggapnya ada.
Dewa mengerjab setelah putra semata wayangnya menghilang dari balik ruang makan. Ia menatap pada piring makanannya yang baru satu sendok ia makan, lalu ke arah piring Devan yang masih sisa separuh. Pria yang baru saja pulang bekerja itu menghela napas panjang, dengan lemah meletakkan kembali sendok dan garpunya. Tiba-tiba saja ia kehilangan nafsu makan.
"Maaf Tuan Dewa," Bi Yana yang melihat wajah kecewa dari Dewa sedikit merasa bersalah meskipun ini bukan kesalahannya. "Den Devan memang rada aneh dari kemarin..."
"Saya mau balik saja ke perusahaan langsung. Saya tadi hanya mau mengambil berkas saya yang ketinggalan." Dewa tersenyum pada Bi Yana. "Saya pergi dulu, Bi."
Bi Yana mendesah. Padahal baru kemarin ia senang karena Devan mau berbicara pada Dewa setelah sekian lamanya. Tapi ada apa lagi sekarang? Kenapa Devan kembali bersikap dingin?
Gemas karena tidak tau harus berbuat seperti apa, Bi Yana mengambil sebuah nugget dari meja makan dan memakannya sekali lahap. Semakin ia memikirkan, semakin lapar perutnya dibuat.
* * *
Devan mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Sesekali ia mengetuk-ngetukkan jemarinya pada setir mobil. Rasa tidak nyaman yang luar biasa membuat ia gelisah. Nyatanya, kejadian barusan terpikir terus olehnya.
'Dasar g****k! Itu Papa lo, Devan! Harusnya lo stay aja di sana dan ngomong apapun yang selama ini lo mau! Bukan malah kabur kayak pengecut!' Devan mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Berteriak frustasi, dengan kesal Devan menekan bel mobil berulang kali saat ada kendaraan yang melaju lelet di depannya. Ia tidak peduli jika sang pengendara lain kini telah melontarkan dan bahkan menyumpahi karena ketidaksabaran sang pengemudi. Devan hanya merasa marah dan kecewa. Kali ini bukan pada Papa, tapi pada dirinya sendiri.
Dua puluh menit kemudian, mobil merah Devan memasuki gerbang sekolah. Devan melajukan kendaraannya ke area parkir khusus mobil. Setelah berhenti, ia tidak langsung turun. Cowok itu justru menelungkupkan tubuh di atas setir, matanya memejam. Rasanya ia baru saja benar-benar menjadi cowok paling t***l semuka bumi.
Tok tok tok!
Suara kaca jendela mobil Devan di ketuk oleh seseorang. Devan mengabaikan.
Tok tok tok!
Lagi. Namun Devan memilih tetap mengabaikannya.
Tok tok tok tok tok tok!
Kali ini jendela kaca mobil Devan diketuk tidak sabaran dan membuat Devan yang sedang kacau pikiran menjadi jengkel setengah mati. Ia menegakkan tubuh, lalu menoleh tajam ke jendela mobil. Ternyata pacarnya. Maudi.
Devan menghela napas. Ia melepas seat belt, meraih ransel yang terletak di kursi samping kemudi lalu segera membuka pintu mobil.
"Kenapa?" tanya Devan to the point. Perasaannya masih tak karuan namun ia berusaha meredakannya dengan mengalihkan tatapan ke mobil lain yang masuk area parkir agar menjadi sedikit tenang.
Di tanya seperti itu, Maudi jadi kesal. Cewek berambut lurus sebahu itu menggembungkan pipi cemberut. Kedua tangannya di lipat di depan d**a. Seandainya saja saat ini Devan sedang tidak kesal, ia pasti sudah akan mencubit kedua pipi tembam menggemaskan itu. Maudi, salah satu cewek cantik incaran cowok-cowok di sekolah dan terkenal susah di dekati, nyatanya luluh pada ketampanan seorang Devan.
"Kok tanya kenapa, sih? Kamu nyuekin w******p aku selama beberapa hari!" ucap Maudi.
Devan memutar bola mata. "Sorry," jawabnya singkat tanpa benar-benar menyesal atau meminta maaf. Cowok itu lalu meraih tangan Maudi. "Ayo ke kelas."
Maudi menurut saja. Meskipun awalnya ia dongkol dan kesal setengah mati, tetapi sekarang ia tersenyum bak puteri malu. Alasannya karena semua mata kini tertuju padanya. Nama Maudi, kembali dibicarakan seantero sekolah. Sebagai cewek paling beruntung karena saat ini bisa menggenggam tangan Devan. Cowok pacar idaman setengah penduduk cewek di bumi ini.
* * * *
"Beneran nggak mau bareng aku?" Aldi melajukan motornya dengan kecepatan kurang dari 20 km/jam demi menyejajarkan kendaraannya dengan langkah kaki kecil Alena. Adiknya yang benar-benar sudah kembali normal sifat dan sikapnya itu kekeuh menolak.
"Iiissh... Kak Aldi sanaan deh! Buruan berangkat aja! Aku nggak mau. Enakan naik bis!"
"Alena kesayangan aku, nggak ada ceritanya naik bis penuh sesak dan bahkan harus berdiri berjam-jam lebih enak dari pada naik ke boncengan aku sambil menikmati udara segar dan menyandar di punggungku dengan nyaman!" celetuk Aldi narsis. "Kamu ini kebanyakan alasan! Ayo, deh, naik. Ya, ya, ya?"
Alena menghentikan langkah, menatap kesal pada Aldi di balik kacamata tebal bulatnya. Bibirnya cemberut, membuat Aldi benar-benar gemas. Adiknya ini benar-benar cantik. Seperti dia. Bukan Kak Alka, atau Kak Alvian.
"Kalau Kak Aldi tetap maksa Alena buat bareng ...," Alena menggantung perkataannya, membuat Aldi mengerutkan dahi. Telinganya pun ia pasang lebar-lebar untuk mendengar kalimat apa yang akan meluncur dari bibir Alena.
"Alena nggak akan mau ya ngebuang kecoa terbang yang tadi malam masuk ke kamar Kak Aldi!"
Wajah Aldi langsung pucat mendengarnya. Ia mengerjab merinding. Kecoa terbang adalah hewan paling horor di muka bumi menurutnya. Bukan hanya dia, tetapi bahkan Alka dan Alvian pun takut jika melihat hewan berbentuk kurma itu.
"Ha ha ha ... Aku nggak ngelihat ada kecoa terbang tuh! Kamu pasti bohong, kan?"
Alena mengindikkan bahu. Lalu kembali melangkah pelan. "Ya udah kalau Kak Aldi nggak percaya," tukasnya. "Tapi nanti sepulang sekolah, kalau pas Kak Aldi mau ganti baju dan ada kecoa terbang ke sana ke mari buat nemplok ke badan Kakak, jangan panggil Alena!"
Alena tersenyum geli saat melirik ekspresi Aldi yang semakin pucat. Mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantera. Kelemahan ketiga kakaknya kurang lebih sama. Dan ia selalu berhasil mengancam dengan hewan yang memiliki ketahanan hidup tinggi itu.
"Ya udah deh, aku berangkat dulu!" Aldi akhirnya pasrah, tidak memaksa Alena untuk ikut dengannya lagi. "Hati-hati di jalan ya!"
Setelah itu, motor Aldi sudah melaju jauh ke jalan raya. Alena berbelok ke kanan untuk menuju ke sebuah halte bis. Tak perlu menunggu terlalu lama, sebuah bis TransJakarta berhenti dan Alena pun segera naik.
Alena duduk di kursi kosong yang paling dekat dengan pintu masuk. Di sana, sudah ada seorang pria berkemeja biru cerah dan celana hitam bahan duduk tepat di samping jendela. Dia memperhatikan ALena dari sejak bis berhenti hingga akhirnya Alena duduk di sampingnya.
Setelah melontarkan senyum tipis ramah, Alena duduk. Ia memindahkan ransel ke atas pangkuannya agar posisi duduk lebih nyaman. Remaja itu menghela napas, lalu membuka risleting ranselnya. Dia mengambil sebuah n****+ misteri yang belum ia baca hingga habis.
Belum lama Alena tenggelam dalam bacaan, ia mendengar pria di sampingnya berkata. "Saya rasa sudah cukup. Sekarang saatnya kamu melanjutkan kisah kamu."
Alena menoleh, tetapi ia mendapati pria itu menatap lurus ke depan. Alena mengernyit, lalu mengikuti ke mana arah pandang pria itu tetapi ia tidak menjumpai apapun atau siapapun yang pria itu coba ajak berbicara. Alena menggelengkan kepala, lalu kembali ke bacaannya. Di pikir-pikir, bukan urusannya juga.
Tiba-tiba, pundak Alena di tepuk. Alena refleks menoleh ke arah pria itu yang saat ini menatap padanya dan tersenyum. Dan sebuah bisikan lembut pun masuk ke indera pendengaran Alena sebelum pandangannya menjadi gelap.
"Kembalilah ...."
* * * * *
Devan baru saja sampai di kelas dan duduk di bangkunya yang terletak di paling belakang saat merasakan nyeri di leher. Ia meringis, menggosok lehernya berharap bisa mengurangi rasa nyeri tersebut. Namun, semakin lama, rasa nyeri itu semakin nyata hingga membuatnya mendesis.
Kelas masih cukup sepi. Di bangku sebelah, ada Malik dan Sigit yang sedang heboh membahas tentang pertandingan basket yang akan diadakan sebentar lagi dengan sekolah-sekolah saingan. Mereka tidak sabar untuk bisa menyabet juara satu kali ini karena persiapan mereka sudah lebih matang dari pada tahun kemarin.
"Dev, pokoknya tim kita ngandelin lo! Minggu depan lo udah jadi ketua resmi tim basket kita ngegantiin Aldi yang masa jabatannya udah habis. Jangan sampai kalah sama masa kepemimpinan senior kita! Jangan bikin angkatan kita malu, ya!" Sigit berceletuk.
"Betul itu, Dev! Kalau bisa tahun ini kita go internasional!" ucap Malik lalu disambut dengan tepukan bangga oleh Sigit.
Devan tidak merespon. Cowok itu terpejam karena mendadak matanya terasa berat. Heran. Padahal kemarin ia sudah tidur cukup, tetapi kenapa rasanya ia mengantuk sekali?
Menyerah, akhirnya Devan meletakkan kepalanya di atas bangku. Ia menatap Malik dan Sigit dengan senyum miring. "Lo berdua tenang aja. Tahun ini kita bakal jadi juara satu," ucapnya lalu menguap lebar. "Gue ngatuk. Bangunin gue kalau udah bel ya!"
Tak butuh waktu lama bagi Devan saat kegelapan menjemputnya. Sebuah tato berbentuk kupu-kupu kecil kembali terukir di leher remaja lelaki itu, begitu pun dengan Alena yang masih ada di dalam bis menuju sekolah.