Setelah Risa ditemukan Angga tidak pernah bergerak sedikitpun dari kursi yang terletak tepat disamping ranjang tempat Risa berbaring, hari ini lagi – lagi Rifqo harus menemani sang kakak, sudah hampir enam jam dia duduk dikursi roda menemani sang kakak yang masih saja betah duduk diruangan yang sama yaitu ruangan Risa. Rifqo tidak habis pikir mengapa kakaknya tidak mengalami rasa bosan yang sama seperti yang dialaminya, padahal mereka duduk ditempat yang sama dalam waktu yang sama pula, dan yang mengesalkan bagi Rifqo saat dia minta untuk diantar keluar kakaknya tidak mengizinkan.
“A kenapa waktu aa jengukin aku, aa enggak nangis ?” ujar Rifqo memecah keheningan yang tercipta diantara mereka sekaligus untuk menghilangkan rasa bosan yang sudah dia rasakan.
Menyebalkan, itulah julukan Rifqo untuk sang kakak, karena sejak tadi kakaknya itu sangatlah menyebalkan sudah tidak mengizinkan keluar, ditanya jawabannya sangat singkat. Rasanya saat itu Rifqo ingin sekali menelan hidup – hidup kakaknya, namun dia masih ingat jika orang yang sekarang berada didekatnya adalah Angga, orang yang masih berstatus kakak dalam hidupnya, seseorang yang harus dia hormati sekaligus dia sayangi, karena tidak dapat dipungkiri semengesalkan apapun dia tetaplah kakaknya, kakak yang memiliki darah yang sama dengannya.
“Sebenernya yang adik aa itu aku apa teh Risa sih, ko aa nengokin teh Risa bisa nangis, tapi jengukin aku enggak”
“Ah masa iya aku dulu sama teh Risa ketuker sih, enggak mungkin ah, ko aku jadi kaya orang iri sih sama teh Risa”
“Terus aa nyadar enggak sih, aa jengukin aku bukannya jadi orang baik, adeknya sakit bukannya disayang – sayang ini malah tambah nyebelin, kaki sakit aja masih sempet – sempetnya dipukul, eh giliran jenguk teh Risa, orangnya ditatap terus, pake acara nangis lagi, nah sama aku diplototin iya, ngetawain apalagi” ujar Rifqo, bermonolog sendiri berharap setiap perkataannya dijawab sang kakak tapi hanya keheningan yang dia dapat.
Rifqo juga berharap pertanyaannya itu bisa memancing gairah kakaknya agar jiwa menyabalkannya keluar, tidak duduk murung seperti seakarang. Sungguh demi apapun Rifqo tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan serapuh ini sebelumnya, dan menyaksikan seraca langsung dimana kakaknya yang jatuh terpuruk benar – benar membuat Rifqo merasa sakit, takut dan juga khawatir.
“A !”
“Aa !”
“Aa denger enggak sih, ko dari tadi aku ngomong sendiri, berasa sendirian tahu enggak ?!” ujar Rifqo, berusaha memancing sang kakak berharap mau berbicara.
Kesal karena tidak kunjung mendapat tanggapan, perlahan Rifqo mencoba untuk bangkit dari kursi roda yang menjadi tempatnya duduk, dia berusaha memaksakan kakinya untuk melangkah, namun karena keadaan tulang kakinya yang patah dia tidak mampu jangankan untuk berjalan untuk berdiri tegak saja dia tidak bisa. Hingga akhirnya Rifqo tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya sendiri.
Mendengar ada sesuatu yang terjatuh dibelakangnnya, Angga menoleh dan mendapati tubuh Rifqo yang sedang terduduk diatas lantai, sambil merintih kesakitan memegang kakinya yang pada saat itu masih dipasang gips, dengan langkah besarnya Angga langsung menghampirinya, Angga berusaha meneliti keadaan Rifqo kemudian dia mengangkat tubuh adiknya keatas kursi roda dengan perasaan khawatir yang berusaha dia tutupi.
“Kamu itu ya, jadi ade bandel banget, udah tahu kaki kamu patah masih aja ngeyel mau jalan, apa susahnya sih kamu duduk manis aja”
Angga menempuk pelan lengan Rifqo yang masih berbalut gips, namun sepelan apapun Angga yakin akan menimbulkan rasa sakit pada adiknya, karena respon yang Rifqo tunjukan tidak berbeda jauh seperti saat dia terjatuh.
“Makannya jadi ade jangan bandel”
Angga menjewer pelan kuping Rifqo kemudian dia menarik kursi yang ada didekat Risa menjadi didekat Rifqo, melihat hal itu Rifqo hanya tersenyum menunjukan deretan gigi putihnya. Sedangkan Angga tidak ada apapun lagi kalimat yang keluar dari mulutnya, matanya masih memandang kearah Risa yang masih terbaring lemah dengan peralatan medih yang menempel ditubuhnya, seakan Angga tidak ingin lengah jika sewaktu – waktu Risa terbangun.
Angga berjalan mendekati tubuh Risa yang terbaring diatas ranjang pesakitan, matanya menatap cairan bening yang mengalir dari selang inpus dan berakhir dipunggung tangan Risa yang tertutup perban, dari sanalah cairan itu menyebar menyeluruh ke seluruh tubuh Risa, mata Angga beralih menatap wajah Risa yang tampak pucat pasi, berlanjut menyeluruh hingga keujung kaki.
Hatinya terasa perih saat melihat orang yang kini sedang berbaring terbujur kaku dihadapannya adalah sahabat tercinta, Angga menekuk kakinya menjadikan lutut sebagai tumpuan, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan ranjang tempat pembaringan Risa. Angga kembali memandang wajah Risa, sekarang tidak ada lagi senyum kebahagiaan yang terlukis diwajahnya, tidak ada lagi lukisan cemberut kekesalan yang terekspresi dari bibirnya, tidak ada lagi binar kebahagiaan yang terpancar dari matanya seperti yang dulu selalu Angga lihat dari mata Risa yang sekarang tertutup rapat.
Sungguh Angga benar – benar sangat merindukan semua itu, Angga rindu melihat Risa yang selalu tertawa puas dan lepas, saat dia berhasil mencubit Angga dengan cubitan yang dia sebut cubitan sepelintir – pelintirnya, atau pada ekspresi kesal Risa saat dia berhasil menggodanya.
“Sa apakah kamu tahu kalau aku diterima disekolah islam Bandung ?” Angga menatap wajah Risa kemudian dia menundukkan kepalannya, mencoba meresapi setiap rasa yang sekarang perlahan mulai menggerogoti hatinya.
“Tapi aku gak mau sekolah disana Sa, aku mau disini aja sama kamu”
Flasback
“Sa kenapa kamu gak nunggu aku dulu”
Angga, dialah sosok yang baru saja datang dan mengganggu kegiatan Risa yang sedang menikmati ketenangan suasana pantai, laki – laki itu memang selalu berhasil merecoki Risa dan membuat Risa kesal dalam waktu sekejap. Tingkah Angga yang menyebalkan selalu berhasil membuat Risa kesal namun sikap itu juga yang selalu Risa rindukan saat Angga tidak ada didekatnya.
Saat ini wajah Angga terlihat tidak bersahabat, dan Risa yakin penyebab ekspresi wajah itu terjadi karena Risa yang sudah meninggalkannya pergi ke pantai duluan, karena memang ada satu fakta yang harus diketahui tentang Angga, dia paling tidak suka jika harus pergi kepantai sendirian. Ketika Risa tanya kenapa, dia hanya menjawab ‘berasa jadi jomblo berkarat’ tentu saja jawaban itu hanya lelucon saja.
“Assalamu’alaikum”
Risa menatap Angga sambil tersenyum, membuat laki – laki itu salah tingkah karena baru menyadari jika dia lupa mengucapkan salam, seketika wajah masamnya berubah menjadi wajah yang menunjukan senyuman canggung, Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan salah tingkah.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullah”
Risa kembali memalingkan pandangannya kearah laut lepas, menikamati keindahan birunya lautan, gemuruh suara ombak seakan menjadi teman Risa bercengkrama dalam diam.
“Maaf tadi aku berangkat duluan, aku hanya ingin lebih awal aja duduk ditepi pantainya”
Risa berusaha menjelaskan alasannya meninggalkan Angga dengan sangat tenang, Risa menjelaskan bukan karena dia takut Angga marah, karena Risa yakin dengan sangat pasti jika Angga tidak akan bisa marah dalam jangka waktu lama, bukan Risa yang terlalu percaya diri. Namun, Angga sendiri yang mengatakan kepada Risa jika dia tidak bisa marah berlama – lama kepada Risa. Risa juga yakin sekarang Angga sudah lebih tenang, kekesalan yang tadi Angga tunjukan saat baru saja datang sudah hilang.
“Sa”
Panggilan Angga berhasil memecahkan kebungkaman yang terjadi diantara Risa dan juga Angga, Risa tidak menjawab tapi Risa lebih memilih menolehkan kepalanya menatap kearah Angga seakan tatapan matanya mengatakan sebuah kata tanya ‘Apa ?’
“Sepertinya aku akan benar – benar melanjutkan sekolah di sekolah islam yang ada dikota, dan aku juga akan mondok disana Sa, besok aku, mamah dan bapak akan berangkat ke kota untuk melakukan pendaftaran”
Angga mengatakan kalimatnya dengan nada suara yang terdengar sedikit aneh, seakan ada sebuah beban yang sedang berusaha dia sembunyikan saat mengatakan akan segera berangkat kekota, mungkin bukan karena dia tidak ingin sekolah dikota, namun ada sesuatu yang belum tersampaikan hingga membuat Angga merasa berat harus pergi meninggalkan kampung halamannya.
“Bagus dong, seharusnya kamu senang , disana kamu bisa memperdalam ilmu pengetahuan sekaligus ilmu agama kamu, aku ikut bahagia mendengarnya, kamu beruntung bisa sekolah disekolah islam Ga, aku do’akan semoga kamu juga betah mondok disana. Ingat disana kamu harus belajar yang rajin jangan malas – malasan, pokoknya kalau aku dengar kamu malas – malasan disana aku akan datang kesana saat itu juga, dan aku akan cubit kamu dengan cubitan sepelintir – pelintirnya, oh iya kamu berangkatnya besok terus pulang kesini lagi kapan ?“
Risa menjawab perkataan Angga dengan penuh keceriaan sangat berbanding terbalik dengan Angga yang berkata dengan lesu, gadis itu memang pandai menyembunyikan perasaannya, dia bertingkah serta berekspresi seakan tidak memiliki beban, seakan tidak mempunyai luka yang terpendam didalam hatinya, dan seakan tidak ada air mata yang berusaha dia tahan saat mengetahui jika Angga cepat atau lambat akan pergi meninggalkannya.
“Tapi kita pasti akan jarang bertemu Sa” hati Angga berteriak.
Sungguh Angga menceritakan tentang keputusannya sekolah hanya untuk melihat seperti apa reaksi yang akan ditunjukan Risa, Angga pikir Risa akan mencegahnya dengan alasan Risa masih membutuhkan Angga untuk berada didekatnya. Namun, semua itu mungkin hanya akan terjadi dalam mimpi saja, karena dalam pandangan Angga Risa justru terlihat bahagia atas keputusannya yang akan sekolah kekota.
“Mungkin aku pulang lagi besok atau lusa, lagi pula gimana coba rasanya cubitan sepelintir – pelintirnya seumur – umur baru dengar aku”
“Aku contohkan ya”
Risa berkata sambil mencubitkan tangannya keperut Angga kemudian cubitan itu Risa putar dengan sekencang – kenncangnya membuat Angga mengaduh kesakian. Melihat Angga yang meraung – raung bukannya merasa prihatin gadis itu justtru tertawa lepas seakan baru saja melihat komedi putar.
“Kamu kenapa lihat aku sampai segitunya, ada apa sama wajah aku ? ada yang aneh ya ?”ujar Risa dengan tangannya sibuk membetulkan tatanan kerudung.
“Angga !!! kamu kenapa sih lihat aku gitu banget ! aku tahu aku itu memang cantik Ga, tapi kamu jangan lihat aku sampai segitunya nanti kamu jatuh cinta lagi sama aku” ujar Risa sedikit jengkel saat Angga hanya diam sambil menatap kearahnya.
Jujur saja terus menerus ditatap Angga membuat Risa merasa salah tingkah, Risa sengaja memuji dirinya cantik dan berkata konyol jika Angga akan mencintainya, karena dia ingin membuat perhatian Angga teralih pada lelucon yang baru dia buat. Jujur saja ditatap Angga membuat jantung Risa berdebar – debar tidak karuan Risa tidak tahu dengan pasti semua itu terjadi karena apa. Hanya saja selama jantung itu masih merespon hal demi kian Risa akan rajin menghindari tatapan Angga.
“Iya Sa aku jatuh cinta sama kamu”
Kalimat itu terucap dari lisan Angga, laki – laki itu berkata dengan sangat tenang, dalam dan penuh keseriusan, siapapun yang melihat ekspresi dan nada suara Angga akan yakin jika laki – laki itu memang berbicara dari dalam hatinya yang paling dalam. Untuk sesaat Risa terdiam, dia berusaha mencerna apa makna sesunggunya dari kalimat yang Angga ucapkan, Risa mengalihkan tatapannya kepada Angga, dia mencoba memastikan apa yang baru saja diucapkan Angga melalui pancaran mata laki – laki itu, tapi tidak ada keraguan semua terlihat nyata dan serius itulah yang Risa tangkap dari pancaran mata Angga.
Wajah Risa terlihat shock, didalam kepalanya ada berbagai pertanyaan yang ingin sekali Risa utarakan namun masih belum mampu Risa suarakan karena gadis itu masih merasa shock atas apa yang baru saja dia dengar.
‘Kamu harus tanggung jawab dengan perasaan aku Risa’ batin Angga berkata dengan tatapan matanya, masih menatap Risa yang pada saat itu tengah menatap kosong kearah laut lepas, kentara sekali jika gadis itu masih merasa tidak percaya atas pengakuan Angga, hingga akhirnya suara tawa Angga berhasil mengalihkan tatapan mata Risa.
Saat itulah Risa sadar jika dia sudah tertipu, karena menurut Risa tawa Angga adalah tanda jika sejak tadi laki – laki itu hanya menjahilinya. Meskipun pada kenyataanya Angga tidak pernah menipu Risa, Angga tertawa hanya untuk mengalihkan fokus Risa saja. Karena nyatanya apa yang tadi dia katakan memang murni dari dalam hatinya, meskipun saat ini Angga belum meyakininya seratus persen. Selain itu Angga juga merasa jika sekarang bukan saat yang tepat bagi Risa mengetahui perasaannya.
“Aduh Sa wajah kamu kocak banget tahu” ujar Angga dengan tawanya yang belum kunjung berhenti.
“Iih Angga !!!”
Jerit Risa merasa kesal karena dia baru saja menyadari jika sejak tadi dia hanya dijahili Angga, perempuan itu sangsung menyerang Angga dengan cubitan sepelintir – sepelintinya, hingga membuat suara tawa Angga seketika berubah menjadi suara ringisan yang berhasil membuat Risa tertawa menang.
Flashback End
Perlahan Angga mengangkat kepalanya menatap wajah Risa, disanalah dia bisa melihat tatapan mata yang beberapa hari ini sangat dia rindukan, dan sangat dia takutkan jika mata itu tidak akan lagi terbuka, dan ternyata sekarang mata itu sedang memandangnya dengan lembut namun kali ini tatapan mata itu terlihat sayu.