#R – Pengaduan

1379 Kata
Saat tatapan mata Angga bertemu dengan iris mata Risa yang berwarna hitam, Angga benar – benar seperti orang yang linglung, tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, tidak ada pergerakan apapun yang dilakukannya, dia hanya diam sambil menatap Risa tepat dibagian mata, dia seakan tidak percaya jika sahabatnya benar - benar terbangun dari koma seperti apa yang dia inginkan. Setelah beberapa menit berada dalam posisi diam, barulah Angga tersadar dari keterpakuannya. Dia berteriak memanggil dokter dari tempatnya berdiri tanpa mau repot bergerak, tatapan matanya masih mengunci mata Risa. Melihat tingkah sang kakak Rifqo hanya mampu menggelengkan kepala, dia memaksakan kursi rodanya untuk bisa maju menggunakan sebelah tangan, kemudian Rifqo menekan sebuah tombol yang tersedia untuk memanggil dokter. “Maaf, bisa tolong tinggalkan pasien sebentar, biarkan dokter memeriksa keadaannya” ujar seorang Suster, setelah beberapa menit lalu dia masuk bersama Dokter, tidak ada yang Angga lakukan atau katakan kecuali mengangguk setuju, tatapan matanya tidak pernah lepas sedikitpun dari Risa, yang masih diam menatap kearahnya juga. “A, bantuin dong” ujar Rifqo, saat dia melihat kakaknya akan pergi begitu saja meninggalkan dirinya yang tidak bisa bergerak sedikitpun, karena saat itu tenaga yang Rifqo punya hanya sebelah tangan saja, mengingat sebelah tangannya lagi masih di pasang gifs. “Lupa” jawab Angga, sambil berbalik dan mendorong kursi roda yang sedang diduduki oleh adiknya.  Saat mereka keluar dari ruan perawatan Risa, ternyata Ayah, ibunya dan ibu Kina, sudah datang, duduk di kursi tunggu sambil berbincang ringan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Angga, dia hanya bungkam dan mendekatkan kursi roda Rifqo kedekat ibunya. “Aku mau cari udara dulu sebentar” ujar Angga, tanpa ekspresi apapun yang tergambar diwajahnya, karena memang itulah dia yang hanya mampu berekspresi disaat dia bersama sahabat kecilnya saja, hanya sebuah ketidak sengajaan bagi orang – orang selain Risa, bisa melihat ekspresi Angga selain dingin, datar dan cuek. “Jangan terlalu lama, A” ujar mama Lina, sambil menatap punggung Angga yang sudah berjalan menjauh dari tempat mereka duduk. Angga mengangguk tanpa menoleh atau menghentikan langkahnya, dalam setiap jejak kakinya melangkah Angga, berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika kesadaran Risa, yang terjadi di depan matanya bukanlah sebuah mimpi. Karena, melihat mata bulat berwarna hitam milik Risa, memandangnya dengan penuh kelembutan membuat Angga, merasa bermimpi. Padahal, beberapa hari ini, dia sangat begitu merindukan tatapan itu. Namun, saat tatapan itu benar – benar nyata  menatapnya Angga, justru merasa tidak percaya, disaat hatinya berusaha yakin jika semuanya nyata, tapi otaknya seakan manyangkal mengingat semua pernyataan dokter mengenai keadaan Risa. Maka dari itu dia lebih memilih keluar dan pergi menjernihkan pikirannya sebentar, takut jika apa yang baru saja dilihatya benar – benar  hanya mimpi saja. “Pokoknya nanti harus pastiin sekali lagi, kalau tadi itu bukan cuma mimpi” gumam Angga, saat kakinya sudah berdiri tepat didepan masjid rumah sakit, karena tanpa Angga sadari kakinya membawa Angga menuju ke masjid.  Saat Angga melangkahkan kakinya masuk, pemandangan pertama yang dia lihat adalah seorang pria paruh baya yang sedang bersujud kepada yang maha kuasa, mungkin dia juga sedang melaksanakan shalat sunnah seperti apa yang hendak Angga lakukan, karena waktu masih terlalu awal untuk menunaikan shalat Dzuhur, mungkin karena belum masuk waktu shalat Dzuhur pula alasan paling mendasar atas kurangnya orang yang berada di masjid. Setelah selesai mengambil air wudhu, Angga langsung menunaikan shalat dengan khusyuk. Dalam setiap bentuk pergerakan shalatnya, Angga berusaha untuk tetap khusyuk, Angga berusaha menahan tangis yang siap tumpah saat dia melakukan rukuk terakhirnya, namun pertahanan Angga, runtuh saat dia tidak bisa menahan tangis disujud terkahir.  “Ya Allah, sesungguhnya engkau yang maha memberikan rasa sakit, dan enkau juga yang dapat mengangkat rasa sakit itu, Ya Allah engkau adalah tempatku mengadu dan berkeluh kesah juga, letak dan tempatku meminta pertolongan, aku mohon jika memang apa yang baru saja aku lihat adalah sebuah kenyataan, tetap nyatakan dia dalam keadaan sadar dan baik – baik saja, aku mohon Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang” ucap Angga, belum sempat Angga mengakhir do’anya, sebuah lafadz indah terdengar oleh gendang telinganya. “Fabiayyi alai Rabbikumatukadzdziban …” Untuk sesaat Angga terdiam, merenungkan sebuah lafadz yang berhasil membuat hatinya merasa tenang dan damai. Lafadz itu berhasil membuat Angga tersadar, sudah tidak ternilai lagi banyaknya kenikmatan yang Allah berikan kepadanya. Tapi, dia masih saja mengeluhkanya, padahal diluar sana masih banyak orang yang yang lebih kekurangan dari pada dirinya, banyak orang diluar sana yang memiliki derita dan duka lebih besar dari dirinya. Tanpa diduga tangis Angga langsung pecah saat itu juga, dia sadar masih begitu banyak hal yang harus dia pelajari, karena sebagai seorang muslim, Angga merasa jika dia lebih banyak mengeluhnya dari pada bersyukurnya. Saat lafadz itu terdengar untuk yang kedua kalinya, Angga laangsung melafaalkan, La bisyay-in min alaika rabbi akdzibu (Tidak ada satupun nikmat- Mu, duhai tuhanku yang aku dustakan), Angga kembali bersujud ampun kepada yang maha kuasa, tangisnya kembali pecah saat itu juga, Angga merasa malu, malu atas segala sikapnya yang lebih sering mengeluh atas segala kenikmatan yang sudah Allah berikan kepadanya. Angga bangkit dari posisi sujudnya saat dia merasakan ada seseoraang yang menepuk punggungnya, saat Angga sudah terduduk, dia bisa melihat pria yang tadi dilihatnya sedang bersujud dan baru saja mebaca sudah Ar-Rahman ada dihadapannya. “Apakah kamu memiliki sebuah masalah ?” pertanyaan itu terucap dari lisan pria paruh baya yang sekarang ada dihadapannya, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Angga, karena Angga sendiri masih merasa bingung apakah yang dihadapinya sekarang adalah sebuah masalah atau bukan. “Ceritakanlah barang kali aku bisa membantumu” lanjutnya, setelah merasa keadaannya jauh lebih baik, Angga menceritakan semua yang dihadapinya dengan tenang, tidak kurang dan juga tidak lebih. “Beberapa hari yang lalu kampung halamanku mengalami Tsunami, kebetulan saat Tsunami itu terjadi aku sedang pergi ke kota bersama ayah dan ibuku, tapi keluarga dan semua orang kampung Jati Maju mengalami Tsunaami itu, dan banyak dari mereka yang menjadi korban, adik ku…” suara Angga terdengat bergetar, Angga menundukkan kepalanya dalam – dalam berusaha menahan tangisnya yang siap pecah untuk yang kesekian kalinya. “Adikku mengalami patah tulang dibagian tangan dan kakinya, kakek ku sempat terendam air dan sekarang dia koma, sahabat kecilku, sahabat perempuanku..” Angga menunduk sambil menghapus air mata yang sudah mulai berjatuhan dari pelupuk matanya.“Sahabat kecilku terendam air dan tertutup pasir pantai hampir dua hari, dan yang tidak aku sangka dia ditemukan masih dalam keadaan selamat meskipun dia sempat koma, dan tadi aku melihat matanya terbuka tapi aku tidak tahu itu benar atau aku hanya halusinasi saja” Angga terisak seperti bocah kecil yang kehilangan ibunya, dia seakan sudah tidak memiliki rasa malu untuk menangis dihadapan orang asing. “Apakah kamu mencintainya ?” Angga mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk dalam, dari wajah pria itu Angga bisa melihat ada sebuah senyuman yang terlukis dibibirnya. “Ya, aku mencintainya” ujar Angga, yakin. Akhirnya, kalimat itu keluar dari mulut Angga, setelah lama berada di ambang kebimbangan mengenai hatinya sendiri, dia mendeklarasikan secara jelas dan gambling jika dia memang mencintai Risa. Kemarin, Angga lebih memilih bungkam bukan berarti dia tidak memiliki perasaan apapun kepada Risa, tapi itu adalah cara Angga menjaga dirinya, hatinya, imannya, temasuk menjaga Risa juga. Biarlah satu kali ini saja dia mengutarakan secara gambling bagaimana sesungguhnya perasaan yang dia miliki untuk Risa. “Apa yang paling kamu ingat tentanya ?” tanya pria paruh baya itu lagi, sambil menatap Angga dengan senyuman yang membingkai wajah teduhnya, membuat Angga yang mendapat pertanyaan darinya tersenyum masam, tapi tidak urung dia tetap menceritakannya. “Caranya menasihatiku untuk jangan malas – malasan belajar” ujar Angga, sambil menerawang masa dimana Risa yang mengomel panjang lebar, mewanti – wantinya dengan penuh keseriusan, tangannya yang selalu tiba – tiba mencubil membuat Angga tersenyum karena sebuah kenangan. “Berangkatlah kepeasantren jika memang orang tua dan sahabatmu sudah meridhoimu, buktikan pada kedua orang tuamu dan dia, jika memang kamu itu pantas untuk menjadi calon imamnya” ujar pria paruh baya itu, dengan sebuah senyuman yang masih membingkai wajahnya. “Kalau begitu saya pamit ya, Nak” ujarnya sambil tersenyum menenangkan. “Iya, maaf ya pak saya jadi curhat” jawab Angga, dengan sebuah tawa diakhir kalimatnya, begitupun pria paruh baya dihadapannya, mungkin bagi pria itu mendengarkan Angga bercerita sudah seperti dia mendengarkan putranya sendiri. “Tidak masalah, suatu saat kemungkinan besar kamu akan banyak bercerita seperti ini kepada saya, percayalah, saya pamit Assalamu’alaikum” ujarnya sambil bangkit dari posisi duduknya, dia sempat mengelus kepala Angga sebelum berdiri lalu pergi. Perkataan laki – laki itu berhasil membuat Angga bingung, belun sempat  Angga bertanya apa maksud dari perkataannya, dia sudah lebih dulu beranjak dari posisinya meninggalkan Angga, yang masih merasa kebingungan memahami makna dari kalimat yang terucap dari lisan pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN