Cherry tidak benar-benar sadar akan situasi yang tengah dihadapinya setelah ia bertemu dengan Rion dan dibawa ke rumah besar ini sampai Rion menamparnya. Tamparan pertama dalam hidup sempurnanya yang selama ini hanya berisi tentang hal-hal manis dan kasih sayang tak terbatas dari kedua orang tuanya hingga membuatnya syok bukan main.
Jadi setelah Rion menamparnya dan Andrew membawanya ke sebuah kamar yang berada tepat di depan kamar Rion, gadis itu menangis sangat lama di bawah tekanan rasa takutnya. Membuat Rion terus terjaga di dalam kamarnya hanya untuk menikmati tangisan gadis itu sambil mengingat bagaimana dirinya sendiri menangis begitu lama di hari kematian papanya.
Sampai kemudian suara tangisan itu tidak terdengar lagi, Rion beranjak dari duduknya. Meninggalkan kamarnya dan membuka pintu kamar Cherry untuk kemudian menjadi sama kagetnya dengan gadis itu saat tatapan mereka bertemu.
Brak!
Tubuh Cherry tersentak kaget saat Rion menutup pintu kamarnya dengan keras. Gadis yang memeluk erat Gyui di atas pangkuannya dan seluruh wajahnya dibasahi air mata itu terlihat bingung sementara di balik pintu kamarnya, Rion yang membuka pintu karena berpikir jika Cherry sudah tidur juga sama bingungnya dengan gadis itu saat mendapati Cherry masih terjaga dan mereka sempat bertukar tatapan selama beberapa detik tadi.
Tap.
Tap.
Rion masih belum menjauhkan tangannya dari gagang pintu saat ia mendengar bunyi langkah kaki di balik pintu yang terus mendekat. Hingga akhirnya bunyi langkah kaki itu tidak terdengar lagi dan Rion bisa merasakan jika saat ini Cherry berdiri di balik pintu itu dan memegang gagang pintu sambil menurunkannya secara perlahan. Membuat tangan Rion yang masih memeganginya jadi ikut bergerak juga.
Pintu terbuka dan Cherry hanya membuat sedikit celah saat tahu Rion masih berdiri di sana. Tangan kanannya memegang gagang pintu dengan erat sementara tangan kirinya mendekap Gyui dengan tak kalah erat, seolah ia sedang mencari kekuatan di antara rasa takutnya untuk menghadapi Rion.
“Kenapa menampar Cherry?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut mungil Cherry dengan suara pelan yang nyaris terdengar seperti bisikan. Suara yang terdengar seperti anak kecil yang tak berdaya, membuat Rion sulit percaya jika gadis di hadapannya ini sudah berusia 17 tahun.
“Itu tadi benar-benar sangat sakit. Kenapa Tuan sampai menampar Cherry sekeras itu saat Cherry sama sekali tidak melakukan apapun?”
Rion tidak langsung menjawab. Dari celah pintu, ia bisa melihat ujung pakaian Cherry yang berwarna putih dan sedikit rambut panjangnya yang kecoklatan. Pria itu lalu membuka mulutnya dan dengan suara yang juga sangat pelan ia berkata, “Karena aku juga sangat sakit.”
Rion tidak tahu seperti apa nada bicaranya terdengar saat ia mengucapkan hal itu. Namun yang kemudian Cherry lakukan setelah mendengar ucapannya itu adalah menarik pintunya lebar-lebar hingga tangan Rion terlepas dari gagangnya dan tatapan mereka kembali bertemu.
“Tuan sedang sakit?” Rion tidak mengerjapkan kedua matanya hanya untuk memastikan jika kedua mata yang memerah dengan bulu mata lentiknya yang basah itu benar-benar menatapnya penuh kekhawatiran saat menanyakan hal tersebut. “Tuan harusnya berbaring sekarang. Tidak boleh tidur sampai malam jika sedang sakit.”
“Aku menamparmu tadi.” Seolah menolak pemikirannya tentang bagaimana tatapan khawatir itu tidak berubah sampai saat ini, Rion memilih untuk mengingatkan Cherry pada apa yang telah dilakukannya hingga membuat gadis itu menangis sebelumnya.
“Tuan sedang sakit,” sahut Cherry. “Harus minum obat lalu pergi tidur.”
Rion kembali terdiam. Ia ingin melihat rasa takut atau putus asa dari kedua mata Cherry untuk menghibur hatinya yang terus merasa sakit setelah apa yang dilakukannya pada Kaia hari ini. Namun kedua mata bulat gadis itu hanya terus menunjukkan kekhawatiran yang tulus hingga membuat hati Rion lebih sakit lagi saat rasa bersalah mulai menyerangnya.
“Tuan?”
Panggilan Cherry akhirnya membuat Rion mengerjapkan kedua matanya. Dan di hadapannya, gadis itu masih menatapnya dengan kekhawatiran yang sama. Yang membuat Rion mulai berpikir kapan terakhir kali seseorang menatapnya seperti ini saat melihat dirinya sakit.
“Mau Cherry ambilkan—“
“Kau harusnya hanya terus menangis dan meratap,” potong Rion dengan dingin. “Saat itu aku menangis dan hampir mati karena terlalu sedih. Lalu kenapa sekarang kau bisa terlihat baik-baik saja?”
“Cherry tidak baik-baik saja. Cherry juga merasa sakit dan sedih,” sahut Cherry. “Tapi Tuan bilang lebih sakit dari Cherry sekarang.”
“Cherry?”
“Ya?”
“Wanita itu dulu juga sebaik ini padaku,” kata Rion sambil mengingat bagaimana dulu Kaia begitu menyayanginya seperti anaknya sendiri. “Tapi kemudian dia meninggalkanku dan membuatku sakit sangat lama, sampai sekarang. Kau tahu, aku tidak akan luluh padamu hanya karena kau bersikap seperti ini.”
Cherry memiringkan kepalanya bingung karena ia tidak mengerti apa atau siapa yang sedang Rion bicarakan sekarang sementara Rion yang baru saja mengucapkan hal itu untuk meyakinkan dirinya sendiri jika ia tidak akan luluh pada Cherry nyatanya langsung tersentuh oleh tulusnya kekhawatiran yang bisa ia temukan di kedua mata gadis itu.
“Kau akan merasa sakit, sedih, dan menangis.” Rion mengucapkan hal itu dengan menahan rasa sakit, sedih, dan air mata yang mulai mengalir di hatinya yang rapuh yang ia sembunyikan di balik ekspresi dingin yang ia pasang di wajahnya.
“Di tempat ini, bersamaku, kau hanya akan merasa sakit dan menderita. Jadi berhentilah bersikap seperti ini dan mulailah benci aku mulai sekarang. Itu akan lebih mudah untuk kita berdua nantinya jika kita saling membenci.”
Dan kemudian Rion berbalik untuk kembali ke kamarnya. Melarikan diri dari keinginan hati kecilnya yang tiba-tiba membuatnya ingin mendekap tubuh Cherry dan menangis bersama gadis itu.
Nyatanya, waktu yang terus berlalu tidak membuat Rion terbiasa akan rasa sakitnya. Ia masih terus merasa sakit dan tumbuh dewasa dengan membawa rasa sakit serta dendam yang ditanamkan oleh papanya. Dan itu benar-benar membuatnya harus melalui tahap menuju kedewasaan yang jauh lebih melelahkan dari yang dilalui orang lain.
***
Saat keluar dari kamarnya keesokan harinya, Rion dibuat tertegun selama beberapa saat oleh rangkaian mahkota bunga yang terpasang di daun pintu kamar yang berhadapan dengan kamarnya. Kamar yang sejak semalam akan menjadi kamar Cherry selama gadis itu menjadi tawanannya.
“Gadis bodoh itu... Harusnya ini diletakkan di makam mamanya daripada untuk menghias pintu kamarnya seperti ini.” Dengan kasar, Rion menarik rangkaian bunga yang sebelumnya memang Cherry buatkan untuk mamanya itu lalu membuangnya ke lantai. Sengaja menginjaknya saat melewatinya ketika ia melangkahkan kakinya menuju lantai bawah.
“Selamat pagi, Bos!” Andrew menyapa Rion saat mereka bertemu di ruang tengah. Kepala pengawal yang juga merangkap sebagai asisten pribadi Rion itu lalu menunduk menatap layar tabletnya dan mulai membacakan jadwal Rion hari ini yang jadi lebih padat setelah pria itu mangkir dari semua pekerjaannya demi menunaikan kewajiban pada papanya kemarin.
“Lalu kau akan bertemu dengan—“
“Kau belum menemukan Trevor?” Rion memotong perkataan Andrew dengan pertanyaan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang sejak tadi Andrew ucapkan padanya.
“Aku mengirimkan beberapa orang untuk kembali ke rumahnya hari ini. Yang lainnya masih akan terus mencari. Putri kesayangannya ada di sini, jadi dia tidak akan pergi terlalu lama dan pasti akan datang untuk menyelamatkan gadis itu.”
“Suruh anak buahmu mengambilkan pakaian Cherry juga.”
Suara Eris membuat Rion dan Andrew menoleh padanya. Meski pria itu yang satu-satunya pria dengan pekerjaan paling terhormat sebagai seorang pengacara di antara para mafia ini, namun ia masih terlihat berantakan dan berwajah bantal saat dua mafia di hadapannya ini sudah sangat rapi.
“Coba ulangi lagi perkataanmu,” pinta Andrew sambil mengeluarkan pistol yang selalu ia bawa ke mana pun—untuk melindungi bos besarnya dan tentu saja untuk mengancam Eris kapanpun pria itu membuatnya kesal seperti ini.
“Masih pagi, lho,” kata Eris sambil menguap lebar. “Turunkan pistolmu!”
“Di mana gadis itu?” tanya Rion.
“Dia sedang pergi melihat-lihat taman—“
“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan sekarang, sialan?!”
Suara teriakan marah Rion membuat Eris yang masih terkantuk-kantuk itu jadi tersentak kaget.
“Masih pagi, lho,” kata Eris. Diucapkan dengan suara yang lebih pelan dari saat ia mengatakannya pada Andrew karena saat ini Rion yang marah kelihatan lebih seram dari Andrew yang masih menodongkan pistol padanya. “Rendahkan suaramu.”
“Apa kau tidak mengerti jika aku membawanya ke sini untuk dijadikan sandera?” tanya Rion sambil melangkah maju mendekati Eris, membuat Andrew menerbitkan seringaian di wajahnya saat melihat Eris yang memundurkan tubuh sambil mengerjapkan kedua matanya seperti anak kucing yang tersudut.
“Aku akan menyiksanya,” desis Rion. “Aku akan memukulinya dan memperkosanya. Aku akan merusak gadis itu hingga dia benar-benar hancur ketika papanya datang ke sini.”
“Kau bisa melakukannya sejak kemarin,” kata Eris. Rupanya masih cukup bernyali untuk menyahuti kemarahan Rion. “Tapi kau memberikannya kamar yang bagus dan membiarkannya tidur dengan tenang.”
Wajah Rion masih tegang, namun di dalam hatinya terasa melunak oleh rasa bingung atas sikap impulsifnya yang membiarkan Cherry begitu saja setelah menamparnya sekali.
“Kau itu masih anak baik yang polos,” kata Eris. “Itulah mengapa seharusnya kau lebih banyak bergaul denganku dibandingkan anak jahat yang suka menodongkan pistolnya terus-menerus.”
Andrew yang sebelumnya telah menurunkan pistolnya jadi mengangkatnya lagi untuk ditodongkan pada Eris saat menyadari jika anak jahat yang pria itu maksud adalah dirinya.
“Ingat ini baik-baik. Masalahmu adalah dengan papanya, bukan dengan anak yang tidak berdosa itu. Itu seperti bagaimana orang tuanya membenci papamu namun tetap bisa menyayangimu dengan tulus.”
Ucapan Eris mengingatkan Rion pada hari-hari masa kecilnya yang penuh tawa saat ia bersama Kaia dan Trevor. Ia tidak akan pernah bisa lupa bagaimana orang yang selama 22 tahun membuat hidupnya tidak tenang adalah orang-orang yang meninggalkan begitu banyak kenangan indah di masa kecilnya.
“Aku sakit.” Rion berbisik lirih dengan tatapan kosong dan Eris yang telah berada di sisinya sangat lama tahu dengan benar rasa sakit macam apa yang terus pria itu rasakan selama ini. “Aku sangat sakit saat memikirkan betapa tidak berdayanya aku yang masih kecil dan hanya bisa terus menangis saat dunia mempermainkan takdirku dengan kejam.”
Kedua mata Rion lalu menatap Eris, yang meski terlihat setajam biasanya namun ada kesedihan yang tidak bisa pria itu sembunyikan di sana. “Aku sudah membunuh wanita itu, namun hatiku masih sangat sakit. Mungkin karena pria itu masih hidup. Atau mungkin karena aku melihat anak mereka tetap baik-baik saja setelah apa yang kulakukan sementara di masa lalu aku begitu hancur atas apa yang kedua orang tuanya lakukan padaku.”
Kembali ke masa 22 tahun yang lalu, Eris pertama kali menginjakkan kakinya di rumah ini bersama pengasuhnya seminggu setelah kematian Hector. Rion 3 tahun lebih muda darinya, namun pengkhianatan dari Kaia serta kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya membuat Rion harus merasakan sakit yang terlalu besar untuk ditanggungnya hingga membuat hatinya yang masih lemah jadi hancur dan tidak pernah sembuh hingga sekarang meski puluhan tahun telah berlalu.
Jadi saat membayangkan jika yang berdiri di hadapannya saat ini adalah Rion yang berusia 8 tahun dan baru saja melihat wanita yang telah dianggapnya sebagai mamanya sendiri membunuh papanya bersama kekasih gelapnya, Eris bisa merasakan jika luka yang tidak pernah sembuh di hati Rion jadi semakin menganga saat ia yang mengharapkan tangis dan kesedihan Cherry sebanyak yang ia alami di masa lalunya justru melihat gadis itu tetap baik-baik saja seperti sekarang.
“Oh, Tuan!”
Suara bernada ceria itu membuat perhatian ketiga pria itu teralihkan. Cherry berdiri tidak jauh dari sana, dengan senyuman polos di wajah manisnya gadis itu menyodorkan mangkuk berisi bubur yang masih hangat pada Rion.
“Cherry membuatkan bubur ini karena Tuan sedang sakit,” kata Cherry sementara Rion dengan langkah-langkah lebar mendekat padanya seperti binatang buas akan menerkam mangsanya yang membuat Eris dan Andrew menahan napas mereka. Namun Cherry yang masih terus tersenyum itu tampaknya sama sekali tidak menyadari bahaya yang sedang mendekat padanya.
“Tuan harus makan sebelum minum o—“
Plak!
Andrew dan Eris serentak membulatkan mata mereka saat telapak tangan besar Rion mendarat di pipi kiri Cherry dengan sebuah tamparan keras yang membuat tubuh gadis itu langsung jatuh tersungkur. Mangkuk yang berada di tangannya terlepas begitu saja, langsung pecah saat menghantam lantai dan membuat isinya berceceran di mana-mana.
“Siapa yang mengizinkanmu untuk tersenyum seperti itu di hadapanku, sialan?!” Rion berkata dengan suara beratnya yang rendah sambil tangan kanannya merenggut rambut Cherry dengan kasar, menariknya hingga membuat gadis itu terpaksa mendongakkan kepalanya dengan diiringi rintihan kesakitannya.
Tidak hanya berhenti di sana, saat Cherry masih belum siap untuk menghindari serangannya Rion kembali memukulnya. Di wajahnya, di perutnya. Dengan tamparannya, dengan tinjunya, juga dengan tendangannya. Menghajar gadis lemah itu dengan kedua mata berkaca-kaca, tidak bisa menghentikan dirinya sendiri meski mendengar rintihan dan isakan Cherry tidak berhasil membuatnya merasa puas namun justru membuat hatinya semakin keras.
Eris mengepalkan kedua tangannya, namun tidak melakukan apapun untuk menolong gadis malang itu. Ia tahu Cherry kesakitan saat ini, namun ia juga sangat tahu bagaimana jika Rion yang sedang menghajarnya itu sedang merasakan sakit yang bahkan jauh lebih menyiksa. Karena itulah ia tidak melakukan apapun untuk dua orang yang sedang saling menyakiti itu.
“Sepertinya bukan Rion yang ini...”
Ucapan Cherry yang terdengar sangat lemah itu membuat Rion menahan tangannya untuk kembali memukul gadis itu.
“Mama bilang akan ada malaikat pelindung bernama Rion yang akan menggantikan Mama dan Papa menjaga Cherry kalau Mama dan Papa sudah tidak bisa menjaga Cherry lagi. Tapi kenapa Rion yang ini jahat sekali? Apa Cherry bertemu dengan Rion yang salah sekarang?”
Rion terdiam untuk waktu yang lama sampai menyadari jika jauh sebelum dirinya mempersiapkan diri untuk balas dendam, Kaia telah lebih dahulu mempersiapkan Cherry untuk bertahan saat berada di sisinya.
**To Be Continue**