“Cherry juga punya pangeran yang jauh lebih hebat dari pangerannya Cinderella, kok. Namanya Orion. Pangeran yang suatu saat nanti akan menjaga Cherry jika Mama dan Papa sudah tidak bisa menjaga Cherry lagi.”
Cherry masih ingat betul, mamanya pertama kali membicarakan tentang Rion saat dirinya berusia 5 tahun. Menjanjikannya seorang pangeran yang lebih hebat dari semua pangeran yang ada dalam buku ceritanya dan selama bertahun-tahun membuatnya tumbuh dengan kerinduan akan sosok pria bernama Orion yang menjadi rahasia terbesarnya bersama mamanya yang sama sekali tidak boleh diketahui oleh papanya.
“Tapi Orion yang ini jahat sekali.” Cherry bergumam sangat lirih dengan kedua matanya yang terpejam sementara sekujur tubuhnya yang hanya dibaringkan begitu saja tanpa diobati sedikit pun setelah mendapat siksaan dari Rion merasakan sakit yang seumur hidupnya tidak pernah ia rasakan hingga membuat gadis itu nyaris pingsan karena tidak sanggup menanggung rasa sakit tersebut.
“Cherry tidak ingin pangeran...” Cherry kembali terisak, merasa sangat menyesal karena selama bertahun-tahun terus memimpikan pertemuannya dengan pangeran meski mamanya selalu berkata jika kelak dirinya tidak akan bertemu dengan orang tuanya lagi saat ada pangeran yang datang karena itu artinya tugas mama dan papanya atas dirinya telah selesai.
“Cherry ingin pulang. Mama, Papa... Cherry ingin bersama kalian lagi. Cherry tidak ingin pangeran...”
Cherry hanya terlalu polos dan Kaia yang mengetahuinya sengaja memanfaatkannya untuk menciptakan ilusi tentang apa yang kelak mungkin akan terjadi pada putrinya itu saat bertemu dengan Rion. Membuat Cherry percaya jika pria yang hatinya dipenuhi oleh luka dan rasa dendam itu adalah malaikat pelindungnya agar saat skenario terburuk terjadi dan takdir mempertemukannya dengan Rion, gadis itu tidak merasa takut atau bertanya-tanya tentang keberadaan orang tuanya.
Namun meski Kaia telah diam-diam menyiapkan Cherry untuk situasi ini selama bertahun-tahun, namun skenario yang bahkan jauh lebih buruk lagi luput dari perkiraannya.
Karena sekarang Cherry yang menangis ingin pulang di hari keduanya ini sudah jelas menjadi kegagalan dari semua persiapan yang selama ini Kaia lakukan untuk putrinya itu.
***
Ini masih rasa sesak yang sama. Saat Rion yang duduk bersandar di balik pintu kamar Cherry mencoba mencari kepuasaan dengan mendengar suara tangisan gadis itu, yang pria itu dapatkan hanya rasa sakit yang menyesaki hatinya.
Nyatanya meski ia mencoba mencari pelampiasan dari rasa sakit dan sedih di hatinya dengan menyiksa Cherry hingga gadis itu jadi benar-benar tidak berdaya, yang Rion rasakan saat mendengar gadis itu menangis seperti ini
“Tuan.”
Suara yang terdengar lembut itu menyadarkan Rion dari lamunannya, membuat pria itu mendongakkan kepalanya dan menadapati Bibi Lily berdiri di hadapannya dengan membawa kotak P3K.
“Eris memintaku—“
“Aku menghajarnya dengan tujuan agar dia merasakan sakit,” potong Rion dengan nada dingin. Dengan jelas menunjukkan ketidaksenangannya saat melihat pengasuhnya yang datang dengan membawa kotak P3K untuk mengobati Cherry.
“Dia sudah sangat kesakitan sekarang. Dan kau pun juga,” kata Bibi Lily yang membuat Rion memalingkan wajah darinya. Pria itu sadar jika 22 tahun yang wanita paruh baya itu habiskan untuk mengasuh dirinya membuatnya tidak dapat menyembunyikan apapun dari Bibi Lily.
“Ini.” Bibi Lily yang menyodorkan kotak P3K padanya membuat Rion kembali menatap wanita itu. “Bawa ini masuk dan coba dengarkan cerita gadis itu tentang pangerannya yang bernama Orion. Itu mungkin bisa menyembuhkan sedikit lukamu dan membuatmu jadi ingin menyembuhkan gadis itu juga.”
***
Rion menghabiskan lebih dari satu jam untuk duduk di depan pintu kamar Cherry setelah Bibi Lily meninggalkannya sebelum memutuskan untuk masuk dengan membawa kotak P3K yang ditinggalkan Bibi Lily. Ia tidak memiliki keinginan untuk mengobati Cherry, hanya saja ia penasaran apakah hatinya benar-benar bisa tergerak jika ia mendengar kisah gadis itu.
Dengan tubuh meringkuk di atas tempat tidurnya, Cherry sedang memejamkan kedua matanya ketika Rion masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu membuka kedua matanya yang terasa berat karena terlalu banyak menangis, dalam pandangannya yang kabur oleh genangan air mata melihat tubuh Rion yang duduk memunggunginya di tepi tempat tidurnya.
Rion menolehkan kepalanya untuk menatap Cherry. Gadis itu memejamkan kedua matanya. Kedua tangannya terkepal erat dan sekujur tubuh mungilnya bergetar karena rasa takut yang begitu besar saat ia berada sedekat ini dengan pria yang baru saja memukulinya hingga babak belur.
Dan seolah menikmati ketakutan yang membuat seluruh tubuh Cherry gemetar, Rion dengan sengaja mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan gadis itu. Merasa puas hingga sebuah seringaian tercipta di wajahnya ketika ia merasakan tubuh Cherry yang jadi semakin gemetar karena sentuhannya.
Cherry yang merasa ketakutannya terlalu besar hingga tidak sanggup menangungnya lagi mulai terisak. Yang mana hal itu justru membuat seringaian Rion jadi semakin lebar. Membuat pria itu jadi semakin puas karena bahkan hal kecil seperti sentuhannya di tubuh Cherry ini sudah bisa menjadi siksaan yang membuat gadis malang itu menangis hingga seperti ini.
“Apa kau takut?” Rion bertanya dengan merendahkan tubuhnya, berbisik dengan suara rendahnya yang terdengar berbahaya di dekat telinga gadis itu.
Cherry tidak menyahut, namun isakannya yang jadi semakin keras telah menjadi jawaban yang membuat tangan-tangan Rion semakin bersemangat untuk menyentuh tubuh Cherry yang selama ini begitu dijaga oleh kedua orang tuanya.
Mulai dari lengannya, pergelangan tangannya, jari-jarinya yang terasa rapuh di bawah sentuhan jari-jari kokoh Rion.
Dan saat tangannya menyentuh paha Cherry yang terasa begitu halus, Rion sadar jika sentuhan yang kini ia berikan pada gadis itu bukan semata untuk membuat Cherry jadi semakin ketakutan dan menderita. Melainkan untuk memuaskan rasa panas yang dengan cepat menyelimuti tubuhnya saat ia membiarkan tangannya semakin banyak menyentuh tubuh Cherry.
“Cherry...” Suara Rion terdengar serak saat pria itu berusaha untuk menekan gairahnya yang terbakar hanya dengan sentuhan kecilnya pada tubuh Cherry. Pria itu menunduk, membiarkan ujung hidungnya menyentuh helaian rambut Cherry. Memejamkan kedua matanya saat aroma manis yang menguar dari rambut gadis itu terasa membuainya.
“Berada di tangan seorang bos mafia, kurasa nasibmu akan jadi sama menyedihkannya dengan mamamu, Cherry.”
***
“Tidak ada apa-apa di sini.”
“Kalau begitu berhentilah mengacau!”
“Tidak apa-apa, hancurkan saja rumah ini dan kirimkan fotonya pada bos kita agar dia puas,” kata Andrew yang membuat beberapa anak buahnya semakin semangat memporakporandakan isi rumah kecil milik keluarga Cherry.
“Dia pasti sedang bersembunyi di suatu tempat sekarang. Kita harus segera menemukannya agar Bos bisa menuntaskan misi balas dendamnya.” Andrew berkata sambil menatap lantai di hadapannya. Lantai yang kemarin menjadi tempat tubuh Kaia menghembuskan napas terakhirnya setelah ditembak oleh Rion itu kini sudah bersih tanpa menyisakan setetes darah pun. Yang artinya seseorang telah datang ke tempat ini sebelumnya untuk mengambil mayat Kaia dan membersihkan tempat itu.
“Apa yang kau bawa itu?” Andrew bertanya pada seorang anak buahnya yang membawa sebuah tas besar keluar dari salah satu kamar di rumah itu.
“Ini pakaian milik Cherry. Eris yang memintaku untuk membawanya.
Andrew memejamkan kedua matanya. Bukan masalah membawakan pakaian Cherry yang membuatnya kesal, namun bagaimana Eris yang dengan lancang berani memberi perintah untuk anak buahnya ini lah yang membuatnya jadi sangat kesal.
“Letakkan itu!” perintah Andrew.
“Tapi Eris—“
“Kau ini anak buahku bukan anak buah si sialan itu!” sergah Andrew dengan nada membentak. “Apapun yang dia katakan jangan pernah menurutinya sekali pun! Kalian ini anak buahku! Ingat itu baik-baik!”
“Tapi tidak ada baju ganti untuk—“
“Kalau dia ingin baju ganti untuk gadis miliknya itu, suruh dia mengambilnya sendiri!” Sekali lagi Andrew memotong ucapan anak buahnya dengan bentakan keras. “Jangan mau diperintah orang lemah itu! Jangan pernah!”
Anak buah Andrew itu hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan patuh meski pada akhirnya ia tetap nekad menyelundupkan tas berisi pakaian miliki Cherry ke dalam mobil untuk dibawa pulang. Karena meski ia adalah anak buah Andrew, namun Eris yang merupakan pengacara sekaligus penanggung jawab keuangan Rion itu adalah orang yang mengatur p********n gajinya. Yang akan mengurangi atau melebihkan gajinya tergantung dengan bagaimana ia bisa menyenangkan hati pria itu.
“Dia masih hidup...”
Sementara itu di sebuah ruangan bawah tanah yang tersembunyi di halaman belakang rumahnya, Trevor yang bisa mendengar suara-suara anak buah Rion yang memporakporandakan rumahnya itu bergumam pada dirinya sendiri.
“Cherry... Cherryku... Dia masih hidup...”
Trevor lalu menatap beberapa buah senjata yang ia letakkan di atas meja. Senjata yang dulu ia bawa kabur dari kediaman Hector dan kini akan ia gunakan untuk membunuh putra mantan bosnya yang tengah menyandera putri kesayangannya itu.
“Papa akan segera menyelamatkanmu, Sayangku. Dan kita akan hidup bahagia lagi setelah Papa membunuh putra Hector.”
**To Be Continue**