Tinggal di Neraka

1358 Kata
Rion berbaring di atas tempat tidurnya dengan menjadikan lengan kirinya sebagai alas kepalanya. Pandangannya yang tertuju pada langit-langit ruangan tampak kosong. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi meski di dalam kepalanya ada begitu banyak hal yang ia pikirkan hingga terasa seperti hampir meledakkan kepalanya. “Jangan pernah mengotori tanganmu sendiri untuk membunuh orang lain. Gunakan uangmu dan biarkan orang lain yang melakukan pekerjaan kotor itu untukmu.” Usia Rion baru 5 tahun saat papanya mengatakan hal itu padanya. Saat papa yang lain akan mengajari anaknya cara memberi salam atau mengucapkan terima kasih, papanya sudah mengajarinya yang akan dijadikan sebagai penerus bisnis gelapnya itu dengan hal-hal semacam itu. Bagaimana menggenggam dunia di tangannya dan mengendalikan semua orang dengan kekayaan serta kekuasaan yang dimilikinya. “Bunuh mereka. Habisi mereka dengan kedua tanganmu sendiri!" Kemudian saat usianya 8 tahun, papanya yang sedang sekarat menyampaikan permintaan terakhirnya itu sambil memegang tangan kecilnya yang berlumuran darah. Tangan yang hari ini untuk pertama kalinya telah ia gunakan untuk membunuh seseorang yang pernah jadi orang yang begitu penting di masa lalunya. “Tapi...” Rion mendudukkan tubuhnya dan melihat jam digital yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya. Sudah jam 11 sekarang, yang artinya sudah 2 jam berlalu sejak ia meminta Eris untuk membawa Cherry padanya. “Orang itu benar-benar tidak pernah mendengarkanku! Sepertinya harus kuancam dengan pistol dulu baru akan menurut,” gerutunya seraya beranjak meninggalkan kamarnya untuk mencari sandera manisnya. Namun jawaban yang ia dengar dari seorang pengawalnya justru membuat pria itu jadi semakin kesal. “Dia membawa gadis itu pergi karena kau memanggilnya. Tapi... Kulihat dia membawanya ke kamarnya dan belum keluar lagi sampai sekarang.” “Si b******k itu...” Rion menggeram kesal. “Andrew!” “Siap, Bos!” Andrew langsung memposisikan dirinya di belakang tubuh Rion. Wajahnya terlihat senang sekali saat ia menarik pelatuk pistolnya. “Ayo kita habisi si b******k itu sekarang, Bos!” Brak! “Oh ya ampun!” Eris nyaris terlonjak dari tempat tidurnya saat pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan sebuah tendangan yang keras dan Andrew melangkah masuk dengan menodongkan pistol padanya sementara Rion berada di belakangnya dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “Kau pikir apa yang kau—“ “Ssst!” Sepertinya bertahun-tahun menghabiskan hidupnya di rumah yang dipenuhi para mafia membuat Eris tidak lagi takut pada pistol yang ditodongkan ke kepalanya—yang ngomong-ngomong rasanya sudah basi sekali karena Andrew selalu melakukannya setiap hari setiap kali mereka bertemu. Pria itu meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya sebelum menunjuk Cherry yang sudah terlelap di atas tempat tidurnya. “Jangan berisik. Aku susah sekali menidurkannya, tahu!” “Kau—“ “Kau tidak akan mati jika bicara dengan suara lebih pelan, sialan!” maki Eris dengan suara berbisik untuk menyela seruan Andrew. Pria itu membenarkan letak selimut yang menutupi tubuh Cherry sebelum membuat kedua pria yang berdiri di ambang pintu memasang ekspresi syok saat melihatnya mendaratkan bibirnya di puncak kepala gadis itu dengan lembut. “Ayo bicara di luar,” ajak Eris dengan suara berbisik sambil menggiring tubuh Rion dan Andrew keluar dari kamarnya. Rion masih sempat melihat Cherry yang menggeliat pelan di balik selimutnya sebelum Eris menutup pintu kamarnya. “Apa yang sebenarnya kau—“ Bugh! “Hei!” Andrew langsung kembali menodongkan pistolnya pada Eris saat pria itu tanpa diduga berani membungkiam ucapan bos besar mereka dengan tinjuannya. “Apa-apaan ini?” Rion bertanya sambil menahan tangan Andrew saat kelihatannya pria itu akan benar-benar menembakkan pistolnya pada kepala Eris. “Itu untuk membuat gadis kecilku jadi yatim piatu.” “Ga...” Rion mengerjapkan kedua matanya. Tidak yakin jika dirinya tidak salah dengar dengan apa yang Eris katakan barusan. Namun saat menoleh pada Andrew dan mendapati pria itu mengerutkan wajahnya dengan ekspresi aneh, sepertinya ia memang tidak salah dengar tadi. “Gadis kecil apa?” “Cherry.” “Apa?” “Namanya Cherry. Dia milikku sekarang.” “Ha?” “Masalahmu hanya tinggal dengan papanya, kan? Biarkan Cherry tetap di sini untuk memancing papanya datang, tapi jangan pernah kau sentuh anak itu, uh! Dia itu milikku!” “Tapi dia—“ “Ssst!” Kerutan di wajah Andrew jadi semakin dalam saat ia melihat Eris meletakkan telunjuknya di bibir Rion dan bosnya itu hanya diam saja sambil mengerjapkan kedua matanya dengan ekspresi bingung. “Bicaranya besok lagi saja, ya. Aku ngantuk. Sampai jumpa.” Dan kemudian Eris kembali ke kamarnya. Menutup pintunya rapat-rapat meninggalkan Rion dan Andrew yang saling berpandangan dengan wajah bingung seolah mereka tidak benar-benar sadar dengan apa yang sedang terjadi sekarang. “Ah, ini.” Pintu kamar kembali terbuka. Eris menyembulkan kepalanya sambil menyodorkan boneka penguin milik Rion. “Cherry akan tidur denganku. Jadi kau mungkin butuh Gyui untuk dipeluk. Selamat malam.” Rion menerima Gyui dan memeluknya di dadanya, kembali mengerjapkan kedua matanya saat bertukar pandang dengan Andrew. Namun belum sempat mengatakan apapun, pintu kembali terbuka. Eris keluar dengan menggandeng tangan Cherry yang menggosok-gosok matanya yang terpejam dengan kepalan tangannya. “Cherry bilang mau pipis,” jelas Eris meski tidak ada yang bertanya. “Ng?” Cherry membuka sedikit matanya dan tatapannya langsung tertuju pada Gyui yang ada di dekapan Rion. “Gyuinya Cherry,” gumam gadis itu seraya mengambil alih Gyui dari tangan Rion karena merasa jika boneka yang Eris hadiahkan untuknya sebagai ucapan selamat datang itu adalah miliknya. “Kakak, ayo pipis,” ujarnya sebelum pergi menuju kamar mandi dengan Eris yang menuntun jalannya. “Bos?” Andrew yang berdiri di belakang Rion memajukan tubuhnya untuk melihat reaksi Rion saat boneka kesayangannya direbut oleh Cherry. Pria itu membuka mulutnya dengan ekspresi yang tidak terbaca, dan Andrew tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyodorkan pistolnya pada bosnya itu. “Silakan, jangan malu-malu,” bisiknya yang akan senang sekali jika Rion sampai benar-benar menembak Eris. “Gadis itu...” desis Rion sambil memegangi pelipisnya. “Aku mau dia di kamarku sekarang juga!” teriaknya dengan suara yang menggelegar di rumah megah tersebut.     ***     Cherry menggaruk rambut panjangnya yang berantakan sambil berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melawan rasa kantuknya. Ia diculik dalam perjalanan ke kamar mandi tadi, diseret dengan paksa untuk pergi ke kamar Rion sementara dua orang pengawal memegangi Eris sambil membekap mulutnya agar pria itu berhenti menjerit-jerit di malam yang sangat larut ini. Di hadapan Cherry yang berdiri di depan meja kerjanya, Rion yang duduk dengan kedua tangan terlipat di depan d**a itu menatapnya dengan tajam. Namun entah karena merasa terlalu ngantuk atau apa, tatapan mengintimidasi yang pria itu tujukan padanya sama sekali tidak berefek apapun pada Cherry. “Angkat wajahmu!” Tubuh Cherry tersentak saat ia mendengar seruan dengan suara yang terdengar berat itu. Gadis itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat sebelum membukanya dan mengangkat wajahnya untuk menatap Rion. Rion menatap gadis yang masih terkantuk-kantuk itu dengan seksama. Kedua mata bulat yang dibingkai dengan bulu mata lentik yang panjang, hidung mancungnya yang mungil, kedua pipinya yang tampak kenyal dan bersemu merah, serta sepasang bibir kecilnya yang tipis. Wajah gadis ini tidak bisa untuk tidak mengingatkannya pada Kaia, namun beberapa bagian yang terlihat mirip dengan Trevor juga membuat Rion teringat pada pria itu. “Ng?” Cherry mengerjapkan kedua matanya dengan pelan saat merasakan sentuhan yang lembut di pipi kirinya. Gadis itu mengerjapkan kedua mata dan membuka mulutnya, merasa bingung saat tiba-tiba pria asing di hadapannya menyentuh pipinya dengan begitu lembut. “Tu—“ Plak! Tubuh Cherry tersentak kaget dan semua rasa kantuknya langsung pergi hingga kedua matanya terbuka lebar saat tiba-tiba Rion mendaratkan tamparan yang sangat keras di pipi kirinya yang sebelumnya pria itu sentuh dengan sangat lembut. Cherry yang seumur hidupnya tidak pernah merasakan pukulan dari kedua orang tuanya itu tidak bisa mencegah air mata yang langsung membuncah keluar saking kaget dan sakitnya ia atas apa yang Rion lakukan padanya. “Dengarkan ini baik-baik...” Rion mendesis dengan suara rendah sambil mencondongkan tubuhnya mendekat pada Cherry sementara gadis itu menatapnya dengan kedua pupilnya yang membesar karena rasa takut yang membuat seluruh tubuh mungilnya bergetar. “Mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku di neraka yang telah diciptakan oleh orang tuamu untukku. Dan akan kupastikan, neraka yang akan kau rasakan ini akan jauh lebih menyakitkan dari yang telah kurasakan selama ini.”       **To Be Continue**          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN