“Ayunannya...” Cherry memandangi kursi ayunan berwarna merah muda yang dibawa masuk ke rumah utama oleh dua orang pengawal dengan kedua mata berkaca-kaca. “Kakak~ Ayunan Cherry~”
Eris menumpukan kedua tangannya di depan d**a. Merasa kesal sekali dengan tingkah Rion yang dengan sengaja memerintahkan pengawalnya untuk membawa masuk ayunan yang baru dibelinya lewat gerbang belakang, melewati paviliun Cherry di mana sekarang gadis itu menatap ayunan yang melewatinya begitu saja dengan wajah hampir menangis.
Ini masih sangat pagi dan Rion sudah jadi sebrengsek itu sepagi ini untuk membuat gadis manis kesayangan Eris hampir menangis.
“Aku akan merebutnya!” Eris berkata sok jagoan sambil menggulung lengan kemejanya. “Aku akan menghajar siapapun yang menghalangiku untuk membawa ayunan itu ke sini. Aku akan menempatkan ayunan itu di paviliunmu apapun yang terjadi, Cherry!”
“Iya. Semangat!” kata Cherry sambil mengepalkan kedua tangannya untuk menyemangati Eris.
“Kau juga semangat,” balas Eris sambil ikut-ikutan mengepalkan kedua tangannya. “Dia mungkin akan luluh dan membiarkanmu membawa ayunannya ke sini jika kau menangis sambil guling-guling di depannya. Jadi semangat merengeknya, uh.”
“Lho? Kenapa Cherry... Tidak mau~ Kakak, kau yang harus tanggung jawab!” Dan lihatlah bagaimana sekarang Cherry sudah merengek di hari sepagi ini bukan karena ayunan yang tidak ditempatkan di paviliunnya melainkan karena Eris yang memaksa menyeretnya ke rumah utama untuk menemui Rion.
***
“Wah... Woah!” Eris berseru dengan ekspresi yang berlebihan saat masuk ke ruangan Rion dengan Cherry yang setia mengekor di belakangnya. Tanpa rasa takut dengan keberadaan Andrew yang memegang pistol di ruangan itu, Eris berkacak pinggang di hadapan Rion yang duduk dengan menyilangkan kaki di atas ayunan baru yang ditempatkan di dekat meja kerjanya.
“Lihat ini, lihat ini!” Eris berkata sambil menunjuk Rion yang hanya menatapnya dengan ekspresi tidak peduli. “Lihat betapa tidak tahu malunya kau yang berani duduk di ayunan ini setelah membuat seorang gadis menangis karena menginginkannya!”
Ucapan Eris membuat Rion menoleh pada Cherry yang langsung direspon dengan gelengan kuat oleh gadis itu. “Cherry tidak nangis, kok!”
“Apa itu?” Piring berisi sepotong kue yang berada di tangan Rion menarik perhatian Eris.
“Itu cheese cake,” kata Cherry yang sejak masuk ke ruangan ini terus curi-curi pandang ke arah kue itu. “Ada buah cerinya juga. Kelihatannya enak sekali.”
Eris meringis jijik dengan kombinasi ayunan warna merah muda dan sepotong cheese cake yang Rion nikmati. Yang kelihatan tidak cocok sekali dengan bos mafia itu. “Sejak kapan kau suka makan yang ma—“
“Kau mau ini?” Rion sama sekali tidak mempedulikan ucapan Eris dan menyodorkan piring kuenya pada Cherry yang kedua matanya langsung berbinar senang.
“Sejak kapan kau sebaik ini pada Cherry?” Dan lihat bagaimana Eris mengganggu dengan menahan tangan Cherry untuk menerima kue dari Rion. Membuat gadis itu jadi cemberut lagi karena keinginannya tidak terpenuhi. “Jangan menatapku begitu! Bagaimana jika ini ada racunnya, uh? Kau ini, bahkan meski ini kue yang kelihatan enak jangan sembarangan menerima makanan dari orang asing! Sini!”
Rion melotot saat piring di tangannya direbut begitu saja oleh Eris. Dengan sendok pria itu mulai memotong kue tersebut. “Aku harus memastikan sendiri apa kue ini aman atau—“
“Atau kau ingin mati di tanganku saja sekarang, uh?” Andrew yang tidak tahan dengan ketidakpekaan Eris tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk menghampiri pria itu dan menempelkan pistol di kepalanya. Ia merebut piring di tangan Eris dan menyerahkannya pada Cherry. “Ayo keluar sekarang!”
“Kakak~” Cherry bermaksud untuk mengikuti Eris, namun seseorang menahan pergelangan tangannya. Itu Rion, yang mencekal tangannya sebelum menunjuk tumpukan laporan—yang semalaman dikerjakan Eris sampai hampir pagi karena katanya Rion membutuhkannya untuk keperluan mendesak—dengan dagunya.
“Aku punya banyak kertas tidak dipakai. Kau tidak mau menggambar?” tawar Rion. “Ada krayon juga. Aku belikan yang banyak warna merah mudanya.”
Cherry membuka mulutnya. Tawaran Rion terdengar menggiurkan, tapi ia tidak bisa begitu saja mengabaikan Eris yang berpegangan pada kusen pintu sambil berteriak-teriak sementara Andrew berusaha untuk menyeretnya pergi.
“Kau tidak mau coba ayunannya?” Lagi, Rion memberikan penawaran yang menggiurkan sambil beranjak dari ayunannya. Meninggalkan tempat kosong yang seolah menanggil-manggil Cherry untuk mendudukinya. Namun karena keberadaan Eris masih membuat Cherry meragu, Rion meninggalkan gadis itu untuk menghampiri Eris.
“Apa? MAU APA KAU?!” Eris membentak Rion yang berdiri di hadapannya dengan kedua tangan terlipat di depan d**a sambil melotot pada pria itu. Berusaha keras untuk mengintimidasinya meski pada kenyataannya Rion yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar itu telah lebih dahulu berhasil membuatnya merasa terintimidasi.
“Apa?” Tapi lihatlah bagaimana Eris masih berusaha untuk tetap terlihat berani meski aura berbahaya Rion membuat nyalinya ciut. “Kenapa menatapku begitu, uh? Kau jatuh cinta pada— Aw!”
Andrew yang masih memegangi tubuh Eris dari belakang harus menahan tawanya saat melihat pria itu memekik keras kesakitan karena tendangan keras yang Rion berikan pada tulang keringnya. Ia melepaskan Eris, membiarkan pria itu menikmati rasa sakitnya dengan memegangi tulang kering kaki kirinya sambil melompat-lompat dengan kaki kanannya.
“Itu bahkan tidak sampai sejuta,” kata Rion. “Hanya dari sebuah ayunan kau bisa korupsi banyak sekali, uh?”
“Ah...” Ah, Eris sadar sekarang jika ia ketahuan. Namun tentu saja, mengelak adalah jalan hidup yang tidak akan pernah ditinggalkannya meski kesalahannya telah terpampang dengan jelas di depan mata sekali pun. “Apanya yang tidak sampai sejuta? Kemarin itu—“
“Kau ingin menipuku, uh?”
“Orang itu ingin menipuku, uh?”
Rion memicingkan sebelah matanya. Padahal sudah jelas-jelas tertangkap basah namun Eris masih saja mengelak.
“Iya, sepertinya aku ditipu.” Nah, lihat bagaimana sekarang ia malah menyalahkan orang lain atas dosa yang diperbuatnya. “Mungkin karena aku terlihat baik dan polos penjualnya jadi memberiku harga yang tidak masuk akal. Tapi karena kau yang berwajah seram ini yang melakukan transaksi dengannya...” Bahkan pria itu di tengah rasa takutnya masih cukup bernyali untuk menghina penampilan Rion. “Mereka tentu saja tidak akan berani menipu dan macam-macam denganmu, kan?”
“Bukankah kau seharusnya juga tidak menipu dan macam-macam dengan Bos?” tanya Andrew.
“Aku? Tentu saja! Kapan aku pernah macam-macam dengan Bos? Iya kan Bos?” Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, Eris menepuk-nepuk lengan Rion sambil menggesernya dari depan pintu. Pria itu melongokkan kepalanya ke dalam ruangan dan berseru pada Cherry yang duduk di ayunan sambil menikmati kue. “Cherry! Ayo kita kembali!”
“Ini belum habis,” kata Cherry. Gadis itu lalu menatap Rion dan dengan cara sopan yang terlihat imut ia bertanya, “Apa Cherry boleh membawa pulang kuenya?”
“Tidak!” Dan Rion sama sekali tidak terpengaruh untuk bisa langsung memberikan penolakan yang tegas itu. “Kau tidak boleh pulang sebelum menghabiskan semuanya,” tambahnya seraya menunjuk sebuah kotak putih yang berada di dekat komputernya. Yang membuat kedua mata Cherry langsung berbinar bahagia saat melihat jika seluruh sisa cheese cake yang lezat ini ada di dalam kotak tersebut.
“Cherry!” Eris berusaha memanggil Cherry sementara Andrew kembali berusaha menyeretnya pergi. Cherry hanya bergumam, terlalu sibuk memakan buah-buah ceri yang menghiasi bagian atas kue tersebut untuk bisa melihat Eris yang sedang memanggilnya.
“Kita harus kembali sekarang! Cherry!”
“Nanti!” sahut Cherry. “Kakak kembali duluan saja, nanti Cherry menyusul jika kuenya sudah habis.”
“Kau... Bisa-bisanya kau... Kau mau jadi pengkhianat, uh? Bagaimana jika nanti kau dimakan oleh orang jahat itu jika hanya kutinggal berdua saja, uh? Cherry! Che—“
Suara Eris terus menjauh seiring dengan Andrew yang menyeretnya semakin menjauh dari ruangan tersebut hingga akhirnya sama sekali tidak terdengar ketika pintu ruangan itu tertutup.
Rion melangkah kembali ke kursinya dan Cherry yang mendengar bunyi langkah kakinya mengangkat wajahnya untuk kemudian tersenyum pada pria itu. Senyuman yang membuat Rion ingin berlari untuk segera menghampirinya yang sayangnya kedua kakinya malah melangkah lebih lambat saat melihat betapa manisnya senyuman yang gadis itu tujukan padanya.
Rion masih ingat bagaimana Cherry menatapnya dengan ketakutan sambil menangis beberapa waktu yang lalu. Cherry yang kala itu tampak begitu menderita hanya karena melihatb dirinya, yang Rion pikir akan membuatnya merasa bahagia saat ia melihat gadis itu terpuruk namun justru menambah rasa sesak di dadanya.
Dan ternyata, yang seperti inilah yang bisa membawa kebahagiaan ke dalam hatinya. Melihat Cherry yang tersenyum dengan manis padanya. Dengan penuh ketulusan tanpa rasa takut sedikit pun.
Rion hampir lupa, namun sekarang ia bisa ingat. Bagaimana rasanya memiliki seseorang di sisinya yang akan membuat hatinya merasakan debaran bahagia hanya karena orang itu tersenyum padanya.
“Kau suka?” tanya rion yang lebih memilih untuk menyandarkan tubuhnya pada meja di hadapan Cherry daripada menduduki kursi kebesarannya. Berdiri di tempat di mana ia bisa lebih leluasa memandangi wajah gadis itu.
“Iya! Enak sekali!” sahut Cherry sambil memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya. “Cherrry paling suka makan buah cerinya. Sudah Cherry habiskan semua cerinya.”
“Aku juga paling suka buah ceri,” kata Rion sambil mengulurkan tangan kanannya. Membuat Cherry berhenti mengunyah saat merasakan usapan lembut ibu jari Rion di sudut bibirnya saat pria itu membersihkan sisa krim yang tertinggal di sana. Sentuhannya benar-benar sangat lembut hingga membuat Cherry bingung mengapa darahnya terasa berdesir karena sentuhan ini padahal mama dan papanya juga biasa menyentuhnya dengan sangat lembut.
“Aku suka ceri sejak masih sangat kecil,” kata Rion yang membuatnya teringat bagaimana dulu ia biasa merengek pada Trevor untuk dibelikan buah kesukaannya itu. “Aku menyukainya karena rasanya sangat manis. Semanis kenangan yang kami lalui saat itu.”
Tatapan Rion menyendu saat ia teringat hari-hari indah di masa kecilnya. Kejadian yang berlalu lebih dari 20 tahun lalu, namun saat ia mengingatnya sekarang ia seolah masih bisa mendengar panggilan Kaia yang telah menunggunya bersama Trevor dan sekotak ceri untuk mereka diam-diam makan bersama di paviliun belakang.
Di antara kehidupannya yang gelap, masa yang ia habiskan bersama Trevor dan Kaia adalah satu-satunya waktu yang bersinar dalam hidupnya. Yang setelahnya, keseluruhan dari perjalanan itu kembali gelap karena Trevor dan Kaia yang membawa pergi cahaya yang menyinarinya.
“Tapi Cherry sudah menghabiskan semua cerinya.”
Ucapan Cherry menyadarkan Rion dari lamunan masa lalunya dan mengembalikan atensinya pada gadis manis yang kini menatapnya dengan menyesal itu. “Apa sekarang Tuan masih suka ceri?”
Rion tidak langsung menjawab melainkan membiarkan dirinya berlama-lama menatap kedua mata gadis itu. Dan Rion seolah bisa merasakan jika membiarkan gadis ini terus tinggal di sisinya bisa mengembalikan cahaya waktu dalam hidupnya yang gelap. Mengembalikan masa-masa indah yang sudah berlalu puluhan tahun lamanya.
“Ya, aku masih suka,” sahut Rion. Yang dirinya sendiri tidak sadar selembut apa suaranya saat mengatakan hal itu. Jari-jarinya yang berada di wajah Cherry merenggang untuk menangkup pipi gadis itu saat ia mencondongkan tubuhnya pada Cherry.
Cherry mendongak saat wajah Rion berada tepat di hadapannya. Tatapan mereka bertemu dan Cherry tanpa sadar menahan napasnya saat ia merasakan desakan rasa sesak yang memenuhi dadanya. Bukan yang menyakitkan. Namun perasaan lain yang membuatnya ingin menenggelamkan dirinya dalam dekapan Rion saat aroma parfum maskulin yang segar dari tubuh pria itu memerangkap dirinya dalam jarak yang sangat dekat ini.
Bahkan meski Rion pernah lebih dekat dari ini dan menyentuhnya di mana-mana untuk membuatnya menangis beberapa waktu yang lalu, namun perasaan yang Cherry rasakan sekarang jauh berbeda. Gadis itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun ia belum sempat menemukan jawabannya saat bibir Rion menempel di atas bibirnya.
Rion memejamkan kedua matanya, dengan sangat lembut dan hati-hati menyesap bibir bawah Cherry yang terasa manis karena kue yang gadis itu makan. Pria itu menggunakan ujung lidahnya, membelai pelan permukaan bibir bawahnya sebelum menarik wajahnya menjauh dari Cherry.
Mereka sama-sama diam dan Cherry kelihatan sepenuhnya bingung dengan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Rion. Cherry tahu itu ciuman, tapi yang membuatnya bingung adalah karena ciuman Rion berbeda dengan yang biasa ia dapat dari mama dan papanya. Ia merasa jika dirinya bisa meledak menjadi jutaan keping hanya karena ciuman yang Rion berikan padanya.
“Aku suka itu. Aku cuka Cherry,” kata Rion meneruskan ucapannya sebelum mencium Cherry.
Dan setelahnya, untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di rumah ini, Cherry melihat Rion tersenyum. Dengan hangat. Dengan tulus. Dengan cara yang membuatnya berpikir jika akhirnya ia menemukan pangeran yang tepat seperti yang selama ini mamanya ceritakan padanya.