Beberapa jam telah berlalu sejak Rion mencium bibir Cherry, namun sampai sekarang sekeras apapun pria itu berpikir ia belum menemukan jawaban atas tindakan yang telah dilakukannya itu.
Semuanya terjadi begitu saja dan mencium Cherry yang mulutnya belepotan krim kue itu sama sekali tidak ada dalam rencana Rion sebelumnya. Tidak pernah! Tapi saat ia melihat Cherry yang tersenyum padanya dan betapa hal itu menghangatkan hatinya dalam rasa nyaman yang telah lama tidak ia rasakan, tubuhnya seolah bergerak sendiri dan tiba-tiba saja ia telah mencium gadis itu.
Rion tidak menyesal. Sama sekali tidak! Bibir Cherry yang lembut dan terasa manis itu tentu saja tidak akan membuatnya menyesal karena telah menciumnya dan bahkan ia jadi berpikir jika ia ingin merasakan bibir itu lagi—tidak mengelak jika sekali saja mencium bibir Cherry bisa langsung membuatnya ketagihan.
Namun yang membuatnya tidak tenang adalah reaksi Cherry setelahnya. Gadis itu—yang biasanya seperti buku terbuka yang membuat semua orang mudah membaca dirinya hanya dengan melihat ekspresi wajahnya—tiba-tiba menjadi seseorang yang tidak bisa Rion pahami. Karena Cherry hanya diam, terus diam bahkan saat Rion tersenyum padanya.
“Aku pasti membuat anak kecil itu syok. Jelas-jelas itu ciuman pertamanya tapi aku pakai lidah... Tsk! Dasar bodoh!” Rion mengacak-acak rambutnya sendiri karena merasa frustrasi. Tidak menyesal tapi juga merasa tidak enak hati. Itu benar-benar perasaan yang aneh dan tidak menyenangkan.
Tok tok tok!
Rion berhenti mengacak-acak rambutnya saat mendengar bunyi ketukan. Rion tidak tahu itu siapa, tapi yang pasti bukan Eris yang akan mendatanginya dengan cara sesopan itu.
“Masuk!”
Andrew masuk setelah dipersilakan—yang ngomong-ngomong semua mafia yang berada di bawah kekuasaan Rion itu selalu berperilaku sopan padanya tidak peduli sebarbar apa mereka di luar, berbeda dengan Tuan Pengacara yang kelihatannya sama sekali tidak punya sopan santun untuk ditunjukkan pada bos besarnya ini.
“Apa masih ada yang kau kerjakan, Bos?” tanya Andrew. “Bibi Lily menyuruhku untuk memanggilmu karena ini sudah waktunya makan.”
“Itu dia!” Rion tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan melebarkan kedua matanya. “Kapan terakhir kali aku makan?”
Andrew memiringkan kepalanya. “Kau makan siang kan tadi?” Pria itu balik bertanya sebelum menunjuk piring berisi beberapa potong cheese cake yang tidak dihabiskan oleh Cherry. “Kau juga sepertinya makan banyak kue. Apa kau masih kelaparan sekarang?”
“Tentu saja itu karena aku kelaparan!” seru Rion yang membuat Andrew jadi semakin bingung. “Aku pasti sangat lapar sampai tanpa pikir panjang melakukannya tadi.”
“Hmmm...” Andrew berpikir sambil menatap piring kue di meja Rion. “Ya. Sepertinya kau memang sudah makan kue kebanyakan.”
“Pesankan aku makanan!”
“Eh? Tapi Bibi Lily kan sudah memasak.”
“Pesankan aku makanan.” Rion mengulangi perintahnya. “Yang panas dan seksi. Aku ingin porsi besar sekarang.”
“Aaah~” Andrew akhirnya mengerti apa yang Rion inginkan. Porsi besar yang panas dan seksi. Itu artinya ia harus mengantar bosnya ini ke rumah bordil langganannya sekarang.
Ya, rumah bordil. Tempat di mana Rion biasa mencari kesenangan dan memenuhi kebutuhannya sebagai seorang pria dewasa. Meski tidak sebejat mendiang papanya yang pernah merasakan puluhan wanita dalam pelukannya, namun tentu saja Rion perlu mengunjungi rumah bordil beberapa kali dalam sebulan. Bekerja dengan para mafia yang semuanya laki-laki itu benar-benar tidak mudah, kan.
“Kalian mau pergi?”
Suara Bibi Lily menghentikan langkah Rion dan Andrew yang sudah berpenampilan tampan dan wangi, siap untuk memikat para wanita penghibur yang setiap melihat kedatangan bos mafia dan kepala pengawalnya itu akan berebut untuk melayani mereka.
“Kami akan makan di luar,” sahut Andrew yang membuat Bibi Lily menatapnya sedih.
“Tapi aku sudah memasak makanan kesukaan... Ah~” Bibi Lily tidak melanjutkan protesnya saat melihat kedipan sebelah mata Andrew. Baru paham dengan ‘makan’ yang pria itu maksud. Wanita itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu selamat bersenang-senang, uh,” ujarnya seraya mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda kedua pria itu.
“Aroma ini...”
Andrew dan Rion urung melangkahkan kakinya saat mendengar suara Eris. Pria itu datang sambil mengendus-endus dengan Cherry yang mengekor di belakangnya sambil memeluk Gyui.
“Aroma parfum mahal ini...” Eris menarik napas panjang di depan Rion dan Andrew sebelum menatap kedua pria itu dengan wajah cemberut. “Jahat sekali! Kalian mau ‘makan enak’ berdua tanpa mengajakku, uh?”
“Level kami bisa jatuh jika terlihat datang bersamamu,” hina Andrew yang membuat Eris menatapnya tak terima.
“Apanya yang menjatuhkan level, uh? Itu justru bagus jika kalian datang dengan pria yang kelihatan bermartabat sepertiku. Tunggu aku, uh! Aku akan bersiap-siap. Awas jika kalian meninggalkanku!” Eris tidak perlu menunggu persetujuan dari Rion atau Andrew untuk langsung berlari ke arah kamarnya.
“Memangnya siapa yang mau mengajaknya?” gerutu Andrew. “Bos, ayo kita cepat pergi sebelum orang itu selesai bersiap!”
Rion sama sekali tidak mendengarkan ucapan Andrew. Perhatiannya tertuju pada Cherry yang berdiri tidak jauh darinya. Pada bagaimana gadis itu menggigit bibir bawahnya saat tatapan mereka bertemu. Membuat Rion yang sudah membayangkan dua atau tiga wanita seksi akan berada dalam pelukannya malam ini jadi kembali teringat pada ciumannya dengan Cherry siang tadi.
Dan persis seperti yang sedang Rion bayangkan, Cherry juga menggigit bibir bawahnya karena teringat pada ciuman mereka. Ingat bagaimana rasanya ciuman yang lembut dan membuat darahnya terasa berdesir itu.
“Kau datang untuk makan malam di sini?” tanya Rion yang dijawab dengan anggukan oleh Cherry.
“Kalau begitu kau pasti senang karena bisa menikmati makananmu sendirian tanpa perlu melihat orang ini.” Tidak mungkin itu Andrew. Itu adalah Eris yang bicara dengan kurang ajarnya saat berjalan menghampiri mereka dengan terburu-buru sambil memasang jasnya. Sepertinya ia bersiap dengan terburu-buru dan hanya menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhnya serta memakai jas untuk melapisi kemeja birunya yang 3 kancing teratasnya sengaja ia buka. “Ayo kita pergi sekarang sebelum semakin malam dan ‘makanannya’ diborong orang lain.”
“Harusnya kita langsung pergi tadi,” sesal Andrew yang sangat tidak suka jika harus pergi ke rumah bordil bersama Eris. Karena meski dirinya lebih tampan dan keren dibandingkan Eris, tapi pengacara dengan mulut besarnya itu lebih pintar menggoda wanita. Eris selalu dapat ‘makanan’ yang lebih enak darinya jika mereka pergi bersama dan itu tentu saja membuatnya kesal.
“Nikmati makananmu, uh!” Eris mengacak rambut Cherry dengan gemas, terlalu senang untuk menyadari raut wajah gadis itu yang berubah sendu. Padahal ia sudah membujuk Eris untuk bisa makan malam bersama Rion di rumah utama, tapi sekarang pria itu malah ingin makan di luar meninggalkannya sendirian.
“Aku akan makan dengan baik. Kalian juga,” kata Cherry yang tidak bisa menutupi kesedihan di wajahnya. Dan wajahnya jadi semakin sedih saat ia menatap Rion. “Hati-hati di jalan, Tuan.”
Cherry berbalik, punggung kecilnya terlihat lesu saat berjalan meninggalkan Rion tanpa menyadari jika pria itu masih terus menatapnya. Semakin lama menatap punggung Cherry, keinginan Rion untuk pergi menemui wanita penghibur menghilang berganti dengan keinginannya untuk merengkuh punggung Cherry dan membuatnya tidak lagi terlihat semenyedihkan itu.
“Aku akan makan!” Rion tiba-tiba berseru sambil melangkah menuju meja makan. Kursi utama yang biasanya selalu menjadi tempat duduknya ia abaikan dan justru menduduki kursi di sebelah Cherry yang membuat gadis itu langsung menoleh padanya. “Bibi, aku mau makan sekarang.”
Bibi Lily terlihat bingung dengan ‘makan’ yang Rion maksud. Ia mengalihkan tatapannya pada Andrew dan Eris, namun kedua pria itu juga terlihat sama bingungnya dengan dirinya.
“Tuan ingin makan... Makan nasi?” tanya Bibi Lily memastikan.
“Apa saja yang Bibi masak,” sahut Rion yang membuat Andrew dan Eris menatapnya kecewa.
“Bos, ‘makanan panas’nya?” tanya Andrew.
“’Porsi besar’nya?” tambah Eris.
Rion sama sekali tidak menanggapi kekecewaan anak buahnya itu. Ia menolehkan kepalanya pada Cherry, menarik sedikit ujung bibirnya membentuk seringaian kecil yang selalu terlihat menawan bersanding dengan wajah dinginnya.
“Aku punya Cherry yang sangat manis di sini, jadi kenapa aku harus pergi mencari makanan di luar?”
Cherry membuka sedikit mulutnya saat rasa panas dengan cepat menjalar di wajahnya dan membuat kedua pipinya merona.
Masalahnya, hanya Cherry seorang saja yang merasa jika ucapan Rion itu terlalu manis. Karena bagi Andrew, Eris, dan bahkan Bibi Lily, Rion yang mengucapkan hal tersebut dengan diiringi oleh seringaiannya adalah tanda bahaya untuk gadis manis yang sangat polos itu.
**To Be Continue**