“Nah, sudah.”
Cherry menyunggingkan senyuman di wajahnya setelah menempelkan kertas berisi gambar pantai pemberian Rion di dinding dekat tempat tidurnya. “Pasti lebih bagus jika kapan-kapan Cherry bisa pergi ke pantai sungguhan,” gumamnya dengan nada sedih meski sepasang bibirnya masih membentuk senyuman.
Tatapan Cherry lalu beralih pada kertas lain yang ia tempel di sebelah gambar itu. Gambar karya Eris, yang berisi tiga orang bergandengan tangan dengan senyuman bahagia di setiap wajahnya. Dan meski itu sama sekali tidak mirip dengan mama dan papanya, hanya butuh sesaat bagi air mata Cherry untuk menetes karena gambar tersebut mengingatkannya pada kedua orang tuanya dan kebahagiaan yang pernah mereka lalui.
“Mama, Papa...” Di malam yang sunyi itu, di dalam paviliun mewah yang ia sama sekali tidak tahu kisah kelam di baliknya, Cherry menangisi kerinduannya terhadap orang tuanya seperti malam-malam lain yang ia lalui sejak masuk ke rumah ini.
“Cherry kangen. Cherry benar-benar ingin melihat Mama dan Papa lagi.”
Gadis itu terisak dengan suara lirih. Berusaha keras meredam suaranya agar tidak ada yang bisa mendengar tangisannya. Agar tidak ada satu orang pun yang tahu jika selama ini ia memendam rasa sakit karena kerinduan dan rasa takutnya seorang diri. Berusaha menepati janji kepada mamanya untuk tidak bersedih saat keadaan tiba-tiba berubah dan dirinya tidak lagi bisa bertemu dengan orang tuanya.
***
“Kau pulang lagi malam ini, Bibi?”
Bibi Lily yang sedang mengemasi beberapa kotak makanan ke dalam tas menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Andrew. Wanita itu tersenyum padanya sebelum kembali meneruskan kegiatannya.
“Tidak ada yang menjaga temanku itu jika aku tidak datang. Dia pasti akan merasa sedih dan kesepian jika harus melewati sepanjang waktu di rumah sakit sendirian,” kata Bibi Lily.
“Kalau begitu aku akan mengantarmu.”
“Tidak usah, ini sudah malam.”
“Justru karena ini sudah malam aku jadi harus mengantarmu, kan?”
Andrew hendak mengambil alih tas Bibi Lily, namun wanita itu mencegahnya. “Aku akan naik taksi. Rumah sakitnya tidak jauh dari sini.”
“Tetap saja aku harus mengantarmu.” Andrew kembali berusaha mengambil tas Bibi Lily, namun lagi-lagi wanita itu menahannya. “Bibi, jangan keras kepala seperti Eris begini, uh. Wanita cantik sepertimu keluar malam sendirian bagaimana jika bertemu orang jahat, uh?”
Ucapan Andrew membuat Bibi Lily terkekeh. Wanita paruh baya itu lalu menyingkap lengan bajunya, menunjukkan tato kecil di lengan kirinya. Tato yang dimiliki oleh semua orang yang bekerja di bawah kekuasaan Hector dan Rion.
“Ini senjata yang sangat ampuh. Tidak akan ada yang berani macam-macam denganku jika aku menunjukkan ini,” kata Bibi Lily sebelum menurunkan kembali lengan bajunya. “Ini sudah malam dan kau harus bangun pagi besok. Gosok gigi dan pergi tidur sana,” ujarnya seraya menepuk b****g Andrew sebelum meninggalkan kepala pengawal yang menatapnya dengan cemberut itu.
“Tetap saja aku khawatir,” gumam Andrew seraya mengeluarkan sebuah walkie talkie dari saku celananya. “Bibi Lily akan segera keluar. Kawal dia dan jaga sampai dia kembali lagi ke rumah!”
Bibi Lily tentu sadar jika Andrew melakukan ini semua karena mengkhawatirkannya. Namun saat ini ia tidak dalam keadaan bisa dijaga oleh siapapun yang berhubungan dengan Rion. Karena itulah, senyuman hangat yang biasanya selalu menghiasi wajahnya hilang ketika ia melihat mobil yang berisi seorang anak buah Andrew membuntuti taksi yang ditumpanginya.
“Benar-benar anak keras kepala,” gumamnya sebelum menyebut nama rumah sakit kepada supir taksi yang membuatnya harus mengemudikan mobilnya ke arah yang berbeda dengan alamat rumah Bibi Lily.
***
“Kau mencari sesuatu, Bos?”
Andrew mengulangi pertanyaannya. Ini sudah lebih dari 5 menit sejak ia masuk ke ruangan Rion dan pria itu mengabaikannya karena terus sibuk mengacak-acak meja dan lacinya. Ia ingin membantu pria itu, namun Rion bahkan tidak mengatakan apa yang tengah dicarinya hingga membuat wajahnya terus berkerut seperti itu.
“Aku meletakkannya di sini. Jelas-jelas aku menyimpannya di sini,” kata Rion sambil menunjuk laci meja kerjanya. “Apa aku memindahkannya ke suatu tempat, ya?”
“Apa itu?” tanya Andrew. Biar kubantu mencarinya.”
“Kalung,” sahut Rion. “Yang ada liontin cerinya.”
“Jadi kau belum mengembalikannya?” tanya Andrew tak percaya. “Kau belum mengembalikannya sampai sekarang dan justru menghilangkannya, uh?”
“Aku tidak menghilangkannya!” sanggah Rion, padahal sudah jelas-jelas ia kehilangan kalung tersebut. “Aku menyimpannya di sini. Jelas sekali aku menyimpannya di sini.”
“Selamat pagi!”
Andrew mengernyitkan keningnya saat Eris dengan suara cerianya masuk ke ruangan itu. Melewatinya begitu saja dengan menyenggol tubuhnya seolah dirinya tidak ada di depan pintu yang dilaluinya.
“Pagi-pagi sudah cari masalah,” desis Andrew sebelum melihat jam tangannya. “Ini benar-benar masih pagi. Kenapa dia jadi rajin bangun pagi akhir-akhir ini?”
“Pagi!” Eris kembali menyapa Rion sambil meletakkan selembar kertas dan pena di atas meja kerja Rion. Namun Rion yang masih sibuk mencari kalung milik Cherry sama sekali tidak mempedulikannya.
“Oi!” Dan itu membuat keramahan Eris jadi hilang. “Cepat tanda tangan!” Lihatlah bagaimana ia begitu berani memerintah bos besarnya.
“Nanti!” sahut Rion. “Aku sibuk sekarang.”
“Lalu kau pikir aku tidak sibuk?” Eris membuka tutup pena dan menyodorkannya pada Rion. “Tanda tangan saja sembarangan dan lanjutkan kesibukanmu, uh!”
“Lakukan saja sendiri!” Rion berkata sambil memberi lirikan maut pada penanggung jawab keuangannya itu saat menambahkan sindiran, “Bukankah biasanya kau juga pandai sekali meniru tanda tanganku untuk dipakai di mana-mana, uh?”
Eris mengetatkan sepasang bibirnya, memasang ekspresi sok polos di wajahnya yang sama sekali tidak ada polos-polosnya itu. “Padahal aku beritikad baik dengan meminta tanda tanganmu secara sopan begini.” Pria itu menghela napas panjang, sok merasa berat saat mendekatkan ujung penanya pada kertas. “Ya sudah jika kau maunya—“
“Tunggu!”
Eris terkesiap kaget saat kertas tersebut tiba-tiba direbut oleh Andrew. Pria itu hendak merebutnya kembali, namun Andrew yang jauh lebih tinggi darinya itu malah mengangkat kertas tersebut hingga tidak bisa dijangkau olehnya.
“Apa ini? Ayunan?” Andrew sengaja membacanya dengan keras hingga berhasil menarik perhatian Rion.
“Ayunan?” tanya Rion.
“Bukan! Kau salah baca!” Eris jadi panik dan sampai melompat-lompat untuk merebut kertas itu dari tangan Andrew.
“Bos, dia pasti mau beli ayunan untuk gadis itu,” kata Andrew. “Lihat harganya. Ayunan macam apa yang harganya semahal ini? Apa itu ayunan yang dilapisi emas, uh? Ini hampir sama dengan gajiku!”
“Jangan sok tahu! Kembalikan padaku!”
“Kau sengaja ingin memeras bosku dengan cara ini, kan? Ya ampun, pengacara macam apa yang selicik dirimu, uh?”
“Apa itu bagus?” Pertanyaan yang terlontar dari mulut Rion ini sontak menghentikan perdebatan Eris dan Andrew dan membuat kedua orang ini menatapnya. Rion mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba melihat kertas yang dipegang Andrew. “Tidak ada gambarnya?”
“Kau mau lihat? Ini, biar kutunjukkan.”
Andrew menatap Eris tak percaya saat pria itu mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan foto ayunan yang ingin dibelinya untuk Cherry.
“Bagus, kan?”
“Iya, lumayan.”
Dan Andrew jadi semakin tidak percaya saat melihat Rion yang tumben-tumbenan bisa satu suara dengan Eris untuk hal bodoh seperti ini. Ayunan. Serius, mereka sedang membicarakan tentang ayunan sekarang!
“Beli itu,” kata Rion yang membuat Eris dengan cara paling menyebalkan menjulurkan lidahnya pada Andrew. “Dan letakkan di sini.”
Eris langsung kembali menatap Rion dengan kedua mata membesar. Tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Kau bilang diletakkan di mana?”
“Di sini,” sahut Rion sambil kembali membongkar lacinya untuk mencari kalung.
“Di sini di paviliun?” tanya Eris, masih tidak ingin mempercayai apa yang didengarnya.
“Tentu saja di sini di ruang kerjaku.”
“Tapi... Tapi aku sudah janji pada Cherry... Bagaimana bisa aku meletakkannya di sini di ruanganmu saat seseorang yang sangat ingin main ayunan itu adalah Cherry, uh?”
Andrew menggeleng-gelengkan kepalanya. Eris itu judulnya saja yang seorang sarjana dan pengacara. Tapi untuk hal sekecil ini saja ia tidak mengerti.
Karena bahkan bagi Andrew saja tingkah bosnya itu sudah sangat jelas apa maksudnya. Beli ayunan dan menempatkannya di ruang kerjanya padahal tahu dengan pasti itu untuk mainan Cherry. Apalagi memangnya jika bukan karena sang bos besar ingin sandera manisnya itu main ayunan di sini, di dekatnya.
“Bukankah jadi bodoh dan tidak peka itu juga sebuah dosa yang besar?” gumam Andrew saat melihat Eris masih memohon-mohon agar Rion mau membelikan satu ayunan lagi untuk diletakkan di paviliun belakang.
***
“Karena sepertinya Tuan Rion tidak berniat untuk mengembalikan ini pada Cherry, kurasa lebih baik jika kau yang menyimpannya.”
Trevor yang hanya bisa berbaring tanpa melakukan apa-apa itu memandangi kalung dengan liontin berbentuk ceri yang Bibi Lily letakkan di telapak tangan kanannya. Kalung milik Cherry yang membuat kedua matanya langsung berkaca-kaca saat ingat wajah putri kesayangannya itu. Satu-satunya keluarga yang kini ia miliki.
“Cherry baik-baik saja.” Bibi Lily berkata sambil mengganti perban yang membalut bekas tembakan di d**a Trevor. Puluhan tahun bekerja di lingkungan mafia membuatnya terbiasa untuk mengobati seseorang yang terluka. Keterampilan yang membuatnya bisa menyelamatkan nyawa Trevor.
“Aku memastikannya makan dengan baik dan Eris selalu didekatnya untuk menjaganya. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya dan istirahatlah dengan baik sampai sembuh,” kata Bibi Lily.
“Kenapa kau melakukan ini?” tanya Trevor saat Bibi Lily telah selesai mengganti perbannya. “Kau adalah pengganti ibu bagi Rion. Tapi kenapa kau malah menyelamatkan orang yang ingin dibunuhnya?”
“Ya, itu dia. Karena aku adalah pengganti ibu untuknya,” sahut Bibi Lily. Kemudian dengan tatapan menerawang yang tampak sendu ia menambahkan, “Aku melakukan ini agar anakku tidak benar-benar berubah menjadi monster.”
**To Be Continue**