“Berada di tangan seorang bos mafia, kurasa nasibmu akan jadi sama menyedihkannya dengan mamamu, Cherry.”
Meski Rion mengucapkan kalimat itu dengan perasaan yang berkecamuk, namun Cherry sama sekali tidak memahami apa sebenarnya maksud ucapan pria itu. Bahkan apa yang tengah pria itu lakukan dengan tubuhnya saat ini pun Cherry sama sekali tidak mengerti. Ia hanya berpikir jika tangan Rion yang terus menjamah tubuhnya adalah bentuk lain dari siksaan yang pria itu berikan padanya karena belum puas membuatnya babak belur hingga kesakitan dan ketakutan seperti ini.
Gadis itu hanya terlalu polos untuk menyadari jika apa yang akan Rion lakukan padanya bisa jadi lebih menyakitkan dan lebih menakutkan dari semua pukulan yang telah ia terima sebelumnya.
“Aku akan merusakmu, Cherry.” Rion berkata sambil ujung jari tengahnya menyusuri garis leher Cherry. Tersenyum jahat saat melihat bagaimana tubuh gadis itu bergetar di bawah kuasanya. “Aku akan menodaimu dan menyiksamu tanpa ampun. Lalu aku akan membunuh—“
“Kau akan menyakiti dan membunuh orang-orang tanpa rasa bersalah.”
Gerakan tangan Rion yang sedang menjamah tubuh Cherry terhenti begitu saja bersamaan dengan seringaiannya yang langsung lenyap saat tiba-tiba ia mendengar suara seorang wanita di dalam kepalanya.
Itu suara mendiang mamanya. Dan seolah saat ini wanita itu tengah berbicara langsung padanya, Rion bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajah sedih mamanya saat mengatakan hal itu pada dirinya yang baru berusia 4 tahun.
“b******n itu akan membesarkanmu menjadi seperti dirinya. Dia akan membuatmu menjadi mafia dan orang jahat. Mengapa aku harus melahirkan seorang anak untuk dijadikan penjahat sepertinya?”
Rion yang kala itu masih berusia 4 tahun sama sekali tidak mengerti dengan apa yang mamanya katakan padanya. Butuh bertahun-tahun baginya sampai akhirnya mengetahui maksudnya dan bahkan lebih lama lagi untuk menyadari jika apa yang mamanya katakan saat itu benar-benar menjadi kenyataan.
Karena saat ini, ketika dirinya menindih tubuh Cherry yang menangis tak berdaya di bawah kungkungan tubuh besarnya ia seperti melihat papanya yang suka menindih tubuh wanita simpanannya tidak peduli di mana pun atau siapapun yang bisa melihatnya—termasuk mendiang mamanya dan dirinya yang seharusnya tidak dirusak masa kecilnya dengan melihat hal tidak pantas seperti itu.
Brak!
Tubuh Eris yang sejak tadi duduk dengan memeluk lututnya di sebelah pintu kamar Cherry tersentak kaget saat tiba-tiba pintu tersebut terbuka dengan kasar. Rion berdiri di sana, dengan wajah memerah yang dipenuhi keringat dan tatapan kosong di kedua matanya.
“Sudah ketemu?” Suara Rion begitu pelan saat menanyakan hal itu pada Eris. “Apa mereka menemukan Trevor?”
“Mereka masih belum kembali,” sahut Eris. Tatapannya lalu beralih ke dalam kamar, ke arah Cherry yang terisak pelan di atas tempat tidurnya. Ia ingin melangkah ke sana untuk memeriksa keadaan Cherry, namun Rion yang terlihat kacau ini juga tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. “Apa kau—“
“Apa aku benar-benar terlihat seperti papaku sekarang?” Rion memotong ucapan Eris dengan pertanyaan yang terdengar putus asa.
Eris tidak menjawab pertanyaan Rion, hanya terus menatap pria itu karena apa yang Rion pertanyakan itu sama sekali tidak perlu jawaban dari siapapun.
Karena sudah sangat jelas, Rion yang mewarisi kedudukan Hector ini berjalan di jalur yang sama yang telah mendiang papanya itu lalui.
“Aku akan pergi,” pamit Rion. “Dan jangan coba-coba mengobati gadis itu. Aku senang melihatnya begitu, jadi jika kau mengobatinya sekarang aku akan membuat luka yang baru untuknya.”
Rion pergi dengan langkah lunglai dan Eris hanya berdiri di ambang pintu tanpa melakukan apapun untuk Cherry yang suara isakannya bercampur dengan rintihan kesakitannya. Pria itu tahu pasti jika apa yang Rion katakan bukan sekadar ancaman. Pria itu bisa saja menyiksa Cherry lebih parah dari ini jika dirinya memaksa untuk mengobati gadis itu.
Jadi dengan berat hati, dengan menekan kuat-kuat rasa bersalah yang merongrong dadanya, Eris meraih gagang pintu dan menariknya hingga tertutup. Kemudian dengan langkah lunglai yang sama lesunya dengan Rion yang telah lebih dahulu meninggalkan tempat itu, Eris pergi meninggalkan Cherry seorang diri tanpa bisa melakukan apa-apa untuk gadis itu.
***
Rion membuka tutup wine mahal yang merupakan merk favorit mendiang papanya. Ia menyesap sedikit wine tersebut sebelum menuangkan seluruh isinya di atas makam papanya.
Pemakaman Hector berada di sebuah bukit yang indah. Pusaranya selalu dirawat dengan bersih dan anak buahnya secara bergiliran melakukan kunjungan untuk memastikan bos besar mereka selalu memiliki buket bunga yang segar di atas pusaranya.
Bahkan meski 22 tahun telah berlalu sejak kematiannya, makam Hector selalu bersih seolah itu adalah orang suci yang bersemayam di dalamnya. Padahal banyak orang yang bersukacita saat bos mafia itu tiba-tiba meninggal dunia di tangan kepala pengawalnya sendiri.
“Papa, aku telah membunuh Kaia dengan tanganku sendiri.” Seperti anak buah yang patuh, Rion menyampaikan laporannya pada papanya. “Hanya tinggal Trevor. Lalu aku akan menyusulmu ke neraka.”
Bagi Rion, hidup yang dijalaninya ini benar-benar sangat tidak adil. Di dunia ini ia hidup dengan neraka yang diciptakan oleh papanya dan orang tua Cherry. Dan setelah kematiannya pun dengan semua dosa yang telah dilakukannya ia juga akan pergi ke neraka. Rasanya seolah hidupnya telah menjadi sebuah kesalahan besar sejak awal hingga akhir.
Angin yang terasa dingin berhembus kencang saat terdengar bunyi gemuruh yang menggelegar. Rion mendongakkan kepalanya, merasakan satu per satu air hujan jatuh di atas wajahnya. Namun sebelum hujan turun dengan deras dan membuat tubuhnya basah, sebuh payung berwarna hitam dibentangkan di atas kepalanya.
“Kau tahu aku di sini,” kata Rion saat melihat Andrew yang berdiri di belakangnya sambil memayunginya sementara tubuh pria itu sendiri telah basah kuyup oleh guyuran hujan yang dengan cepat menjadi sangat deras.
“Ke mana lagi kau akan pergi dengan membawa wine kesukaan Tuan Besar?” Suara Andrew masih terdengar sejelas biasanya seolah dinginnya hujan yang mengguyur tubuhnya sama sekali tidak berpengaruh untuknya. “Kita harus kembali sekarang, Bos. Aku akan menyetir untukmu.”
Rion bergeming. Memilih untuk terus duduk di depan makam papanya dengan memeluk lututnya. “Apa kau tahu jika papaku ini adalah orang yang sangat hebat?”
“Tentu saja,” jawab Andrew. “Semua orang mengakui kehebatan Tuan Besar. Bahkan sampai sekarang pun belum ada yang bisa menandingi kehebatannya.”
Rion menganggukkan kepalanya pelan. “Dulu karena semua orang selalu mengatakan hal seperti itu tentang papaku aku jadi sangat ingin menjadi seperti dirinya,” kata Rion. Pria itu lalu menolehkan kepalanya ke arah Andrew dan dengan wajah datarnya yang terlihat dingin ia menambahkan, “Padahal apa hebatnya b******n satu ini, hah?”
“Bos!” Andrew berseru tidak percaya dengan apa yang baru saja Rion ucapkan di depan makam papanya sendiri. Namun Rion hanya menanggapinya dengan decihan pelan seolah ucapannya itu sama sekali tidak ada artinya.
“Dia membunuh dan bermain wanita sesuka hatinya. Kenapa aku harus ingin jadi b******n seperti dirinya?”
“Bos!” Andrew masih berusaha untuk menegur Rion, namun pria itu tidak ingin dihentikan.
“Seharusnya kalian tidak mengatakan kebohongan itu padaku. Seharusnya sejak awal kalian dengan jujur berkata jika papaku ini orang yang sangat jahat. Dengan begitu, aku tidak akan bersedih untuk kematiannya. Tapi... Mengapa kalian semua membohongiku? Mengapa kalian semua hanya menceritakan hal-hal baik tentang b******n ini saat pada kenyataannya tidak pernah ada satu pun hal baik yang dilakukannya?”
Andrew menyerah untuk menghentikan Rion. Ia akan menganggap Rion yang dari mulutnya tercium aroma wine ini sedang mabuk hingga bicara sembarangan tentang mendiang papanya meski dirinya tahu dengan pasti jika bosnya ini bukan jenis orang yang akan dengan mudah mabuk meski menghabiskan 5 botol wine sekaligus.
“Tapi bagaimanapun juga, aku harus menyelesaikan pembalasan dendam ini, kan?” Rion berkata dengan membayangkan jika saat ini ia sedang berbicara secara langsung dengan papanya. “Ya, aku akan menyelesaikannya. Lalu setelah itu, aku akan membunuh diriku sendiri sebelum aku benar-benar menjadi seperti dirimu,” tambahnya dengan suara lirih yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
***
Setelah Rion meninggalkannya, Cherry masih terus terjaga hingga larut sekali. Sama sekali tidak beranjak dari tempat tidurnya sampai kemudian bunyi pintu kamar Rion yang berada tepat di depan kamarnya membuatnya bangkit dan melangkah keluar.
Rion sedang membuka kancing kemejanya saat terdengar bunyi ketukan pintu. Berpikir jika biasanya hanya Eris yang cukup berani mendatangi kamarnya selarut ini, tanpa menghentikan aktivitasnya Rion berseru untuk mempersilakan orang itu masuk.
Bunyi langkah yang diseret membuat Rion membalikkan tubuhnya. Dan ia nyaris tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Cherry yang berdiri di tengah-tengah kamarnya.
Dengan kemeja yang tidak terkancing dan menampilkan tubuh bagian atasnya yang terbentuk dengan sempurna, Rion hanya berdiri di tempatnya menunggu Cherry yang menghampirinya dengan langkah tertatih. Pria itu memasang ekspresi dingin di wajahnya meski dalam hatinya bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Cherry yang sebelumnya menangis ketakutan hanya karena sentuhannya kini dengan nekadnya berani mendatanginya seperti ini.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Rion saat Cherry telah berdiri di hadapannya namun tidak kunjung mengatakan apapun padanya.
“Apa yang Tuan inginkan?”
Rion mengangkat sebelah alisnya saat Cherry justru membalik pertanyaannya seperti ini.
“Melakukan semua ini pada Cherry saat Cherry tidak melakukan kesalahan apapun pada Tuan, apa yang sebenarnya Tuan inginkan?”
Cherry bukannya sedang menantang Rion dengan pertanyaannya itu. Rion masih sangat menakutkan baginya bahkan meski kini pria itu hanya berdiri di hadapannya seperti ini. Namun ia tidak bisa bertahan lebih lama dengan semua siksaan yang Rion berikan saat ia sendiri tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga membuatnya pantas untuk menerima semua perlakuan buruk pria itu.
“Aku ingin kau menderita.”
Jawaban Rion membuat Cherry menggigit bibir bawahnya. Ia tidak mengerti mengapa Rion yang baru kemarin ditemuinya ini bisa begitu membencinya. Padahal dari semua cerita mamanya tentang pria ini, Rion selalu digambarkan sebagai pria baik yang hangat dan penyayang. Yang bisa memberinya kasih sayang yang lebih besar dari yang selama ini ia terima dari mama dan papanya.
“Aku ingin kau menangis dan merasa kesakitan. Ketakutan dan tersiksa. Yang paling kuinginkan adalah melihatmu menderita sebanyak aku menderita selama ini.”
Rion masih sangat menakutkan bagi Cherry. Namun kedua mata pria itu yang dengan jujur bicara tentang penderitaan dan kesedihan yang selama ini dilaluinya membuat Cherry berani untuk membalas tatapannya.
“Mama dan Papa bilang mereka juga sangat menderita dan ketakutan.”
Ucapan Cherry membuat River tidak bisa menjaga ekspresi di wajahnya untuk tetap terlihat tenang. Saat Kaia dan Trevor disinggung dalam pembicaraan mereka, kedua pupil matanya tanpa bisa dicegah membesar begitu saja.
“Lalu Cherry lahir dan membuat mereka sangat bahagia. Meski ada hal yang begitu sulit atau menakutkan, karena sudah ada Cherry bersama Mama dan Papa mereka tidak lagi merasa sedih atau menderita.”
Rion menggertakkan giginya. Ucapan Cherry terasa seperti api yang membakar hatinya saat ia berpikir jika gadis itu berbahagia bersama Kaia dan Trevor saat dirinya terus dan terus terpuruk dalam penderitaan yang tidak berkesudahan setelah semua orang yang biasa melindungi dan menyayanginya meninggalkannya.
“Berani sekali kalian menjalani hidup yang bahagia seperti itu?” Rion berujar dengan tangan kirinya yang mencengkeram bahu kanan Cherry. Mencengkeramnya dengan kuat hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.
“Aku begitu menderita di sini seorang diri, beraninya kalian yang telah meninggalkanku memiliki kehidupan yang bahagia—“
“Cherry sudah di sini sekarang!” Cherry memotong ucapan Rion sebelum pria itu meratap lebih banyak. “Karena Cherry sudah ada di sini bersama Tuan, bukankah seharusnya Tuan jadi bahagia sekarang?”
Tangan Rion masih ada di bahu Cherry, namun cengkeramannya telah mengendur. Pria itu menatap Cherry dengan ekspresi tak percaya, tidak memahami apa yang sedang dipikirkan gadis itu hingga memiliki kepercayaan diri untuk mengatakan hal seperti itu padanya.
“Ayo buat perjanjian.” Cherry mengucapkan hal itu sambil kedua tangannya meraih tangan Rion yang ada di bahunya sementara Rion tidak melakukan apapun untuk melepaskan genggaman gadis itu pada tangannya.
“Tolong jangan memukul atau membentak Cherry lagi karena itu rasanya sangat menakutkan. Cherry tidak akan merengek minta pulang jika Tuan tidak bersikap galak. Cherry ini berkah dari Tuhan yang membuat hidup Mama dan Papa bahagia. Karena sekarang Cherry ada di sini, Cherry akan jadi berkah untuk hidup Tuhan. Karena itu...”
Cherry menarik ujung-ujung bibirnya. Memberi Rion senyuman manis yang tampak sangat tulus seolah pria itu tidak pernah membuatnya menangis sebelumnya.
“Cherry akan berusaha untuk membuat Tuan bahagia juga. Karena itu, tolong jangan benci Cherry lagi sebab itu rasanya juga sangat menyakitkan.”
Bagi Rion, ucapan Cherry itu hanya sekadar omong kosong yang gadis itu lontarkan untuk melindungi dirinya sendiri. Namun sebagian hatinya menganggap ucapan gadis itu sebagai sebuah harapan untuk bisa membantunya keluar dari jalan penuh penderitaan yang papanya bangun untuknya. Ia tidak tahu mana yang tepat di antara dua pemikiran itu.
Namun saat merasa jika tangan kecil Cherry yang hangat tidak hanya menggenggam tangannya melainkan juga berhasil menyentuh hatinya yang membeku, Rion jadi berpikir untuk membiarkan dirinya sedikit berharap pada gadis itu.
**To Be Continue**