“Dia bukan makananmu!”
Di dalam ruang kerja, Rion yang duduk dengan santai di atas ayunannya hanya menunjukkan tatapan tidak pedulinya pada Eris saat pria itu berkata dengan gusar sambil mengarahkan jari telunjuk ke wajahnya—yang untungnya itu adalah Rion yang menjadi bosnya karena jika Eris berani menunjuk wajah bos terdahulu seperti ini maka bisa dipastikan ia tidak akan pernah bisa melihat jari telunjuknya lagi untuk selamanya.
“Mungkin Cherry memang sangat manis, tapi kau ini hanya suka ‘makanan’ yang panas dan seksi! Kenapa kau ingin makan anak malang itu, hah?!”
Eris masih mengomel dan itu adalah hal yang biasa. Tapi yang membuat Rion jadi agak heran adalah karena di sebelahnya Andrew mendengarkan omelan pria itu sambil mengangguk-angguk menyetujui apa yang musuh bebuyutannya itu katakan.
“Kau harus pergi ke rumah bordil, makan porsi besar yang panas dan seksi agar pikiranmu jadi jernih lagi, Bro!”
Dan lihat bagaimana Andrew mengangguk lebih semangat dari sebelumnya saat Eris mengusulkan tentang pergi ke rumah bordil. Ya, sepertinya bukan Rion melainkan Eris dan Andrew lah yang sedang kelaparan dan sangat ingin ‘makan’ porsi besar yang panas dan seksi itu.
“Aku sudah tidak ingin lagi,” tolak Rion. “Pikiranku sudah jadi jernih setelah aku melihat Cherry.”
“Dia anak kecil!” bentak Eris. “Bagaimana bisa pria dewasa sepertimu menjernihkan pikirannya dengan melihat anak kecil yang masih di bawah umur sepertinya, uh? Kau ingin kulaporkan polisi? Kau bisa dikebiri jika macam-macam dengan anak di bawah umur, tahu!”
Rion menghela napas panjang. Ini sudah malam dan ia tidak ingin energi dari makan malam yang baru dinikmatinya dibuang-buang begitu saja hanya untuk berdebat dengan Eris.
“Aku tidak akan memakannya,” kata Rion. “Melihatnya saja sudah cukup dan aku akan pergi tidur dengan tenang—“
“Kubilang dia masih di bawah umur, sialan! Beraninya kau bicara ingin tidur dengan anak kecil itu di hadapanku?!”
Rion menghela napas lagi. Ia lalu beralih pada Andrew yang tumben-tumbenan masih menganggukkan kepalanya untuk menyetujui semua yang Eris katakan. Tidak sadar jika itu membuat sang bos besar jadi agak kecewa karena punya 1 orang tidak peka seperti Eris saja sudah sangat menyusahkan tapi sekarang Andrew malah ikut-ikutan.
“Aku akan tidur. Pergi ke kamarku, berbaring di atas tempat tidur bersama Gyui, pakai selimut, mematikan lampu, dan tidur. Pikiranmu sampai mana, sih? Kau pikir apa yang akan kulakukan pada Cherry hingga kau marah-marah begitu?”
Eris mengerjapkan kedua matanya sebelum menoleh pada Andrew. “Tidur. Hanya tidur katanya. Kau percaya dia akan bisa pergi tidur begitu saja setelah dia bilang ingin ‘makan’?”
Andrew menatap Rion seperti anak anjing yang kebingungan dan Rion harus dengan sabar menjelaskan pada orang kepercayaannya ini agar pria itu tidak tersesat ke dalam pikiran kotornya seperti Eris.
“Aku akan tidur. Tidak melakukan yang aneh-aneh dan hanya pergi tidur. Itu artinya tugasmu hari ini sudah selesai dan kau bisa beristirahat juga sekarang,” kata Rion mencoba meyakinkan Andrew agar pria itu tidak salah paham lagi padanya. Rion tidak akan peduli jika Eris yang salah paham padanya karena itu sudah biasa, tapi ia akan jadi agak sedih jika Andrew begitu. “Atau pergi cari ‘makan’ jika mau. Nikmati malammu,” kata Rion sebelum beranjak dari duduknya dan melangkah pergi.
“Kau mau melepaskannya begitu saja?” Eris bertanya tidak percaya pada Andrew yang membiarkan Rion pergi begitu saja. “Bagaimana jika dia pergi untuk ‘makan’ Cherry?”
Andrew mengerjapkan kedua matanya dan seperti baru tersadar, ia kembali menjadi orang kepercayaan Rion yang patuh saat berkata, “Sebenarnya itu bukan urusan kita, kan?”
“Apa?!” Eris melotot tak percaya, merasa Andrew yang sejak tadi sudah mengangguk-angguk di sebelahnya kini berbalik mengkhianatinya.
“Mau ‘dimakan’ atau diapakan juga itu kan sandera milik Bos. Kita tidak berhak menghakimi apapun yang ingin dia lakukan dengan sanderanya.”
“Tapi—“
“Urus urusanmu sendiri! Kenapa sih kau dan mulut besarmu itu suka sekali ikut campur?” gerutu Andrew sebelum berbalik meninggalkan Eris yang masih memelototinya tak terima atas pengkhianatan yang telah pria itu lakukan padanya.
“Anu…” Andrew yang sudah keluar dari ruangan itu tiba-tiba menyembulkan kepalanya ke dalam ruangan tersebut. Ia menatap Eris dengan canggung saat berkata, “Mau pergi cari ‘makan’ denganku? Yang panas dan seksi.”
“Huh!” Eris mendengus tak percaya. “Kau membiarkan bosmu karena kau sama saja bejatnya dengan dirinya!” hina Eris sambil melangkahkan kakinya. “Kau yang traktir! Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun karena kau yang mengajakku pergi ‘makan’!”
Andrew mendecakkan lidahnya, namun tidak punya pilihan selain membawa Eris pergi bersamanya dan membayari ‘makanan’ pria itu. Karena jika Rion tidak ada bersamanya, ia butuh mulut besar Eris untuk menarik wanita penghibur paling cantik untuk melayani mereka.
Iya, mereka bertiga memang sama saja. Dasar laki-laki!
***
Ini sudah berlalu lebih dari 2 jam sejak Rion berkata akan pergi tidur namun ia sama sekali tidak bisa memejamkan kedua matanya untuk tidur. Mungkin karena Gyui tidak ada dalam dekapannya. Atau mungkin karena ia mulai menyesal tidak ikut Eris dan Andrew ‘makan’ di luar setelah melihat foto-foto kedua pria itu bersama para wanita cantik yang Eris kirimkan padanya untuk pamer.
“Mereka pasti bersenang-senang,” gumam Rion sambil melihat wanita-wanita yang berada dalam pelukan Andrew dan Eris yang sepertinya sudah mulai mabuk. “Beruntung sekali mereka bisa menikmati ‘makanan’ yang panas di malam sedingin ini.”
Selain karena dirinya yang tidak kunjung bisa terlelap, hal lain yang menambah penyesalan Rion karena tidak ikut Andrew dan Eris bersenang-senang ke rumah bordil adalah hujan yang turun dengan derasnya beberapa saat setelah pria dengan peringkat kedua dan ketiga sebagai orang tertampan di rumah ini—yang pertama jelas Rion sementara urutan kedua dan ketiga masih jadi perdebatan yang belum menemukan titik terangnya hingga saat ini—pergi.
Bayangkan betapa bahagianya Eris dan Andrew bisa minum-minum sampai mabuk di pelukan para wanita panas yang seksi. Dan semua pengeluaran mereka tentu saja tanpa perlu diragukan lagi akan masuk ke dalam tagihan Rion. Benar-benar hidup sialan yang penuh ketidakadilan!
“Oh!”
Rion yang terlalu asyik dengan lamunannya dibuat berjengit kaget saat tiba-tiba terdengar bunyi petir yang sangat keras. Membuatnya jadi semakin dan semakin kesal saat membayangkan Eris dan Andrew yang berlomba mendesah lebih keras dari bunyi hujan dan petir.
“Hujan deras ini... Mengapa tidak sekalian saja petirnya menyambar kamar tempat Eris bersenang-senang, uh?”
Rion menghela napas panjang, masih mengerutkan keningnya dengan kesal saat mencoba kembali memejamkan matanya. Namun sesaat kemudian, kerutan di keningnya langsung pudar saat wajah Cherry tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Wajah cantik Cherry dengan senyuman manisnya yang menenangkan.
Rion membuka matanya, namun bayangan Cherry tidak hilang dan malah muncul di langit-langit kamarnya.
“Gadis cengeng itu... Haruskah aku pergi untuk memeriksa apakah dia takut pada hujan deras dan petir?”
***
Itu hanya alasan. Saat Rion tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke paviliun belakang dengan memakai payung di tengah malam yang diguyur hujan deras ini untuk memeriksa apakah Cherry takut pada petir atau tidak, itu hanya alasannya saja untuk melihat wajah Cherry secara langsung daripada hanya terus melihat bayangannya di langit-langit kamarnya saja.
Namun siapa yang mengira jika Rion justru menemukan gadis itu bersembunyi di dalam selimutnya, menangis terisak sambil memeluk Gyui erat-erat karena hujan yang turun bersama petir yang keras membuatnya benar-benar ketakutan.
“Itu hanya petir.” Rion mencoba menenangkan Cherry setelah berhasil menyingkap selimut yang menutupi wajah gadis itu.
“Papa...” Cherry berkata lirih sambil menatap Rion dengan kedua mata berkaca-kaca. “Cherry mau Papa.”
Rion menggertakkan giginya. Bukan cemburu, ia merasa marah saat Cherry justru menangis mencari papanya saat dirinya sudah ada di hadapan gadis itu. Merasa sakit hati karena Cherry yang masih ingin berlindung pada papanya yang ia anggap sama jahatnya dengan mendiang papanya yang hanya bisa memberi kebahagiaan semu pada anaknya.
“Aku di sini.” Rion biasanya bukan orang yang sabar, tapi di hadapan Cherry yang sedang menangis ketakutan karena petir ini ia berusaha keras untuk menekan emosinya dan berbicara dengan nada paling lembut yang ia bisa. Yang untungnya berhasil membuat Cherry menghentikan isakannya untuk bisa memusatkan perhatiannya pada Rion.
“Hanya aku yang ada di sini dan satu-satunya yang bisa melindungimu. Jadi berhentilah memikirkan tentang seseorang yang tidak ada bersamamu dan bergantunglah hanya padaku.”
Dengan kedua matanya yang masih dibayangi oleh genangan air matanya, Cherry menatap kedua mata Rion dengan dalam. Saat berpikir betapa pria di hadapannya ini telah banyak berubah dibandingkan saat mereka pertama kali bertemu, Cherry merasa desiran aneh itu kembali terasa di seluruh tubuhnya. Dan saat berpikir tentang betapa nyamannya berada di sekitar Rion yang bisa menatap dan berbicara dengannya selembut ini, desiran itu berkumpul di jantungnya dan mengubahnya menjadi debaran yang sangat kuat yang anehnya membuat Cherry merasa jika ia ingin terus merasakan debaran yang seperti itu.
“Apa petirnya benar-benar membuatmu takut?” tanya Rion yang pasti akan mengejutkan seluruh anak buahnya jika mereka sampai melihat bagaimana cara Rion bicara pada Cherry.
“Iya.” Cherry menyahut sambil menganggukkan kepalanya. “Petirnya keras sekali.”
Rion jarang tersenyum, namun ketika ia menyunggingkan seringaian kecil di sudut bibirnya saat menyodorkan tangan kanannya pada gadis itu, maka sebenarnya ia sedang bermaksud untuk tersenyum pada Cherry. “Ini. Kau boleh menggenggam tanganku agar tidak takut lagi.”
Cherry menunduk menatap tangan kanan Rion yang terulur padanya. Telapak tangan pria itu lebar dengan jari-jarinya yang panjang dan tampak kokoh. Meski itu membuat debaran jantungnya semakin menggila, namun Cherry sangat menikmati menatap telapak tangan Rion sambil membayangkan akan sehangat apa rasanya berada dalam genggaman tangan pria itu.
“Ini hangat.”
Dan itu benar-benar sangat hangat. Saat ia meletakkan telapak tangan kanannya yang kecil di atas telapak tangan lebar Rion dan pria itu menggenggamnya, Cherry bisa merasakan kehangatannya. Bukan hanya pada tangannya, namun rasanya seolah tangan pria itu juga menggenggam hatinya dan membuatnya terasa menghangat di saat yang bersamaan.
“Ya, ini hangat,” sahut Rion dengan suara pelan. Meski tangan Cherry kecil dan tampak lemah, namun dengan tangannya yang kecil itu Cherry juga berhasil membuat Rion merasakan hal yang sama. Tentang bagaimana sebuah genggaman tidak hanya dapat menghangatkan tangannya melainkan juga merengkuh dan menghangatkan seluruh hatinya.
“Jangan dilepas, ya?” pinta Cherry. “Tuan, Cherry boleh kan menggenggam tangan Tuan seperti ini terus sampai hujannya berhenti?”
“Bagaimana jika hujannya turun sepanjang malam?” tanya Rion yang membuat Cherry menatapnya dengan sedih.
“Tidak boleh, ya?” cicit Cherry kecewa.
“Jika hujannya turun sepanjang malam dan kau ingin terus menggenggam tanganku, bukankah itu artinya aku harus bermalam di sini?” tanya Rion. “Jadi... Apa aku boleh tidur di sini bersamamu dan Gyui sampai hujannya reda?”
Seseorang, tolong sadarkan Eris dari buaian para wanita sewaannya. Pria itu harus pulang sekarang juga untuk melihat bagaimana Rion yang katanya mau pergi tidur itu malah berakhir ‘tidur’ di paviliun belakang, di atas tempat tidur Cherry, di dalam selimut yang sama dengan gadis itu!
**To Be Continue**