Cherry hanya membuka sedikit pintu kamarnya dan menyembulkan kepalanya keluar. Tatapannya tertuju pada pintu kamar Rion yang tertutup rapat, dalam hati bertanya-tanya apakah pria itu sudah keluar atau belum.
Karena meski semalam telah membuat keputusan yang begitu berani untuk melakukan perjanjian dengan Rion, pagi ini ketika bangun dari tidurnya dan melihat wajahnya yang dihiasi bekas luka dan lebam bekas pukulan Rion kemarin, nyali Cherry kembali ciut.
Semalam memang Rion tidak mengatakan apa-apa. Tidak menolak atau menerima tawarannya. Tidak membentak atau memukulnya juga. Pria itu hanya terus diam sampai akhirnya Cherry yang memutuskan untuk meninggalkannya. Membuat gadis itu sama sekali tidak memiliki petunjuk tentang bagaimana Rion akan memperlakukannya setelah ini.
“Oh!”
Seperti pencuri yang tertangkap basah, Cherry sangat kaget sampai kedua mata bulatnya membesar ketika tiba-tiba pintu kamar Rion terbuka dan pria itu berdiri di hadapannya dengan kemeja hitam yang terlihat kontras dengan kulit pucatnya saat ia menggulung lengan kemeja tersebut hingga sikunya.
“Oh!”
Dan sekarang giliran Rion yang berjengit kaget saat tiba-tiba Cherry membanting pintu kamarnya hingga tertutup. Membuat Rion mengernyitkan keningnya saat mendengar bunyi kunci yang diputar dengan buru-buru.
“Kupikir dia menawarkan perdamaian semalam,” gumam Rion. “Namun mengapa sekarang malah membanting pintu di depanku? Dia ingin perang?”
“Selamat pagi!”
Rion yang sedang asyik dengan pikirannya sendiri jadi kaget lagi saat mendengar seruan keras yang bernada ceria itu. Dan kerutan heran kembali muncul di keningnya saat ia melihat Eris berdiri tidak jauh darinya, sudah mandi dan pakai pakaian yang rapi padahal ini masih jam 8 pagi.
Demi tuhan, bahkan saat perayaan hari besar pun Eris tidak akan bangun sepagi ini.
“Kau mau ke mana?” tanya Rion.
“Mau menemui gadisku,” jawab Eris sebelum mengetuk pintu kamar Cherry dengan senyuman di wajahnya. “Cherry! Ini Kakak, Sayang!”
Kerutan di kening Rion jadi semakin dalam saat ia berkata, “Dia bukan gadismu!”
Eris menoleh pada Rion dan dengan nada menyebalkan menyahuti ucapan pria itu, “Gadisku, tuh. Tanya saja sendiri padanya. Cherry! Sayang! Buka pintunya!”
“Dia bahkan tidak mau membukakan pintunya untukmu,” ejek Rion.
“Itu karena dia tahu kau ada di sini.” Kemudian dengan keberanian yang berpadu dengan sikap tidak tahu dirinya, Eris berkata pada bos besar mafia pemilik rumah ini, “Pergi sana! Anak buahmu sudah menunggu di bawah!”
Rion mendecih dan melangkahkah kakinya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa langkah, bunyi pintu kamar Cherry yang terbuka membuat langkahnya terhenti dan ia menoleh menatap ke arah kamar yang baru saja dimasuki oleh Eris itu dengan kedua mata melotot. “Dia benar-benar tidak mau membuka pintunya karena aku? Bocah itu...”
“Bocah itu lagi? Dia membuatmu kesal?” Andrew yang menunggu Rion di dasar tangga menimpali ucapan Rion sambil mengulurkan pistolnya pada pria itu. “Kau benar-benar harus menyingkirkan pria sialan itu agar kedamaian bisa masuk ke rumah ini, Bos!”
“Mataharinya sudah tinggi, kenapa kau masih di sini?” Rion berkata sambil melewati pistol yang disodorkan Andrew begitu saja.
“Lalu aku harus ada di mana?” Andrew balik bertanya. “Kau ingin kutemani ke suatu tempat?”
“Kau masih belum menemukan Trevor,” kata Rion. “Kalau perlu jangan pulang ke rumah ini sebelum kau menemukannya! Aku bosan melihatmu hanya bertengkar dengan Eris setiap kali kalian bertemu.”
Ucapan Rion membuat Andrew jadi merengut. “Kau mengusirku tapi malah membiarkan serigala itu bersama sanderamu. Bagaimana kalau gadis itu diapa-apakan, uh? Mereka hanya berdua saja di kamar!”
“Memangnya Eris bisa melakukan apa? Dia itu hanya jatuh cinta padamu, jadi berhentilah berpikir yang tidak-tidak!”
Andrew menatap Rion yang telah duduk di salah satu kursi meja makan itu dengan raut tak percaya. “Bos, berhentilah bercanda seperti itu! Kau akan membuat orang lain jadi salah paham jika terus bicara sembarangan tentang aku dan si sialan itu!"
Andrew duduk di sebelah Rion dan mulai menikmati sarapannya bersama pria itu. Namun saat ingat sesuatu, pria itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya untuk diberikan pada Rion. “Aku menemukannya di mobil. Mungkin milik gadis itu?”
Rion menerima benda yang berkilauan itu dan meletakkannya di atas telapak tangannya. Sebuah kalung emas dengan hiasan bandul berbentuk dua buah cherry kecil. Ya, Cherry tidak perlu menuliskan nama pada benda miliknya karena yang seperti ini saja akan membuat orang lain tahu jika kalung tersebut adalah miliknya.
“Tidak apa-apa, dia tidak akan gigit!”
Perhatian Rion dan Andrew teralihkan saat mereka mendengar suara Eris. Rion buru-buru memasukkan kalung milik Cherry ke dalam saku celananya saat melihat gadis itu datang bersama Eris yang terus mendorongnya untuk memaksanya mendekat ke meja makan.
“Tidak dikembalikan?” tanya Andrew yang melihat Rion memasukkan kalung Cherry ke dalam celananya. Namun pria itu tidak menjawab dan untungnya Andrew bukanlah Eris yang jika berada dalam situasi ini akan terus bertanya dan mendesaknya sampai ia memberi jawaban yang memuaskan.
“Lihat, ada pistol di sini! Jika dia macam-macam denganmu lagi aku akan menembakkannya ke kepalanya sampai meledak!” Eris berusaha membujuk Cherry yang kelihatan enggan sekali untuk duduk satu meja dengan Rion dengan menunjuk pistol milik Andrew yang digeletakkan begitu saja di dekat piring sang kepala pengawal.
“Haruskah kucontohkan pada gadis ini seperti apa kepala yang meledak itu, hm?” Andrew bertanya sambil menodongkan pistolnya ke kepala Eris.
“Abaikan dia. Jangan bergaul dengan orang jahat sepertinya, uh,” bisik Eris pada Cherry—yang ngomong-ngomong suara bisikannya itu terlalu kencang sampai bisa didengar oleh semua orang yang ada di sana.
“Sini. Duduk di sini.” Eris menarik kursi untuk Cherry, namun kemudian saat menyadari jika kursi itu berhadapan dengan kursi Rion ia buru-buru menarik kursi yang lain. “Duduk di sini saja. Di sebelahku. Aku akan menjaga—“
“Siapkan mobil!” Ucapan Eris terpotong oleh perintah Rion. Pria itu jelas sedang memerintah Andrew yang langsung beranjak meninggalkan sarapannya untuk menyiapkan mobil—berbeda sekali dengan Eris yang jika disuruh melakukan sesuatu akan cerewet bertanya ‘kenapa?’ atau ‘untuk apa?’ dan mencari-cari alasan untuk tidak melakukannya—namun tatapan tajamnya tertuju pada Cherry yang terus saja menundukkan kepala untuk menghindari tatapannya.
“Pergi ke ruanganmu!” Kali ini Rion memerintah Eris. Dengan kedua matanya yang masih terus menatap Cherry.
“Apa? Kenapa?” Nah, lihat. Bukannya langsung menuruti perintah bos besarnya ini Eris malah bertanya dengan nada protes. “Aku mau sarapan, lho.”
Ucapan Eris yang menyiratkan keberatan itu membuat Rion mengalihkan tatapannya pada pria itu. Tidak mengatakan apapun selain hanya menatap Eris yang kemudian membuat pengacaranya itu mendecih pelan. Sadar jika Rion tidak sedang dalam mood untuk dibantah sekarang—yang ngomong-ngomong setiap saat pun Rion tidak ingin dibantah hanya saja kadang Eris jadi terlalu bernyali untuk menantangnya.
“Ayo ikut,” bisik Eris pada Cherry. Kali ini benar-benar berbisik karena tatapan tajam Rion membuatnya jadi tidak berani untuk banyak tingkah seperti sebelumnya.
“Dia tetap di sini,” kata Rion yang membuat Cherry menatap Eris dengan tampang memelas. Yang sayangnya Eris juga membalasnya dengan tampang yang bahkan lebih memelas lagi karena di saat seperti ini ia tidak berani membantah Rion.
“Dia masih belum sembuh,” kata Eris. “Jangan dipukuli lagi, uh?” pesannya sebelum meninggalkan Cherry berdua saja dengan Rion. Membuat gadis itu menggerutu dalam hati karena sudah menyeretnya secara paksa ke hadapan Rion dan sekarang malah meninggalkannya berdua saja dengan pria itu. Mungkin bertiga dengan malaikat pencabut nyawa yang datang untuk berjaga kalau-kalau Rion khilaf dan jadi ingin menembak Cherry.
Rion menancapkan garpunya pada sepotong daging lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah daging tersebut, pria itu menatap Cherry yang masih berdiri dengan kepala tertunduk sambil memainkan jari-jarinya. Kelihatan sekali jika gadis itu merasa sangat tidak nyaman dengan situasi yang dihadapinya saat ini.
“Keberanianmu membuatku sedikit tersentuh semalam,” kata Rion setelah menelan makanan di dalam mulutnya. Meski tidak bisa dibilang lembut, namun tatapannya tidak lagi tajam saat akhirnya Cherry mengangkat wajahnya dan membalas tatapannya.
“Kau bicara tentang menjadi berkah dan kebahagiaan untukku. Tapi mengapa sekarang untuk duduk di meja makan yang sama denganku saja kau tidak sudi?”
Kepala Cherry kembali tertunduk. Gadis itu menghela napas pelan sebelum kembali menatap Rion. Yang meski bos mafia di hadapannya ini adalah pria tampan dengan aura panas yang akan membuat wanita tergila-gila padanya—maksudnya wanita yang cukup gila untuk berani jatuh hati pada pria berbahaya ini—namun di mata Cherry Rion tetaplah pria yang menyeramkan yang membuatnya ingin berlari menjauh darinya.
“Cherry takut,” kata Cherry dengan jujur.
“Padaku?” tanya Rion yang dengan polosnya dijawab dengan anggukan oleh Cherry. “Lalu?”
“Tolong jangan jadi menakutkan.”
Permintaan Cherry membuat Rion mengangkat sebelah alisnya. “Bukankah aku sudah tidak memukul atau membentakmu lagi?”
“Iya.”
“Lalu bagian mana yang membuatmu takut?”
Cherry membersit hidung dengan punggung tangannya. Pertanyaan Rion membuatnya bingung karena sejujurnya ada begitu banyak hal yang membuatnya jadi takut pada pria itu. Mulai dari tatapan tajamnya, suaranya yang berat,tubuhnya yang tinggi, telapak tangannya yang besar. Bagi Cherry, Rion itu menakutkan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Apa kau tidak akan takut lagi padaku jika aku memberimu hadiah?” pancing Rion yang membuat Cherry membulatkan kedua matanya. Dengan jelas menunjukkan ketertarikannya pada tawaran Rion.
“Hadiah apa?” tanya Cherry.
Rion memiringkan kepalanya, membiarkan kedua matanya menikmati ekspresi penasaran Cherry sementara tangan kirinya masuk ke dalam saku celananya. Ia sudah menyentuh kalung milik Cherry yang tersimpan di sana saat tiba-tiba...
Dor!
Rion dan Cherry tersentak kaget. Bunyi tembakan pistol itu terdengar sangat keras di rumah megah yang tenang itu. Rion segera bangkit dari duduknya sementara Cherry menggunakan kedua tangannya untuk menekan dadanya yang langsung berdegup dengan kencangnya.
“Cherry!”
Cherry menolehkan kepalanya ke asal suara. Eris menghampirinya sambil berlari dengan raut wajah panik. Pria itu nyaris terpeleset, tapi terus berlari hingga kedua tangannya berhasil meraih tubuh Cherry. “Dia menembakmu? b******n itu—“
“Bos!”
Eris belum selesai memastikan keadaan Cherry saat seorang anak buah Rion berlari menghampiri mereka dengan ekspresi tegang di wajahnya. Dengan napas tersengal, pria itu menatap Rion yang menatapnya dengan tajam tidak sabar menunggu informasi apa yang akan disampaikan oleh anak buahnya ini.
“Bos, pria itu datang.”
**To Be Continue**