“Kakak~ Kau datang la— Oh?”
Cherry yang baru membuka pintu paviliunnya langsung terdiam saat ternyata orang yang mengetuk pintu bukanlah Eris. Gadis itu mundur beberapa langkah, kelihatan antara kaget dan bingung saat Rion yang datang dengan menenteng laporan di tangan kirinya dan tangan kanan yang tersimpan di dalam saku celananya melangkah masuk begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kelihatan sangat tenang meski sebenarnya ia telah lama memendam keinginannya untuk datang ke paviliun ini setiap kali melihat Eris yang dengan riangnya pergi ke tempat ini.
“Tuan!” Cherry mengekor di belakang Rion setelah menutup pintu. “Ada apa tiba-tiba kemari—“
“Kupikir kau baru saja memanggilku ‘kakak’ tadi,” kata Rion sambil menghentikan langkahnya, membuat Cherry nyaris menabrak punggung lebarnya.
“Cherry pikir itu Kak Eris yang datang,” kata Cherry. “Biasanya hanya dia yang datang ke sini. Dan Bibi Lily kadang-kadang.”
“Tidak ada yang lain lagi?”
“Dan Tuan Rion sekarang,” sahut Cherry yang membuat Rion mengangguk-anggukkan kepalanya.
Rion mengedarkan pandangannya dan baru sadar jika wallpaper dinding warna merah muda dan sofa putih di ruangan itu tidak pernah ia lihat sebelumnya. Membuat pria itu akhirnya paham mengapa Eris kelihatan panik sekali saat ia berkata akan memeriksa laporan keuangannya. Pria itu pasti mengeluarkan banyak uangnya—maksudnya uangnya sang bos besar, bukan uang pribadi Eris tentu saja—untuk mendekorasi paviliun mewah ini hingga jadi bernuansa khas gadis remaja begini.
Rion kembali melangkahkan kakinya dan menduduki sofa putih yang masih beraroma toko ini. Rion ingat melihat ada pengeluaran dengan angka berjumlah 7 digit di laporan keuangannya itu. Dilihat dari bagaimana bagus dan nyamannya sofa ini, sepertinya Eris menghabiskan uang sebanyak itu untuk membeli sofa ini.
“Kenapa kau duduk di sana?” tanya Rion saat melihat Cherry duduk bersimpuh di atas karpet bulu—yang ini juga kelihatannya masih baru—yang berada di bawah sofa.
“Cherry biasanya duduk di sini setiap hari dan Kak Eris yang duduk di sofa itu,” sahut Cherry yang meski gadis itu menjawabnya sambil tersenyum polos namun Rion yang sering melihat adegan seperti itu di film dewasa yang ditontonnya tidak bisa untuk tidak membelalakkan kedua matanya.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Rion yang membuat Cherry jadi agak takut karena pria itu memelototinya. “Apa yang kau lakukan saat bersimpuh di bawah Eris yang duduk di sofa?”
“Cherry... Cherry menggambar,” jawab Cherry yang membuat Rion mengerutkan keningnya bingung. “Kak Eris mengerjakan laporannya di sofa dan Cherry duduk di sini, menggambar di sini,” terang Cherry sambil mencontohkan bagaimana ia biasa menggambar di atas meja yang berada di depan sofa saat menunggu Eris menyelesaikan pekerjaannya.
“Kak Eris selalu membawakan kertas untuk Cherry gambari. Seperti itu.” Cherry menunjuk laporan yang dibawa Rion. “Katanya Kak Eris punya banyak kertas yang tidak dipakai jadi Cherry bisa menggambar sebanyak yang Cherry mau.”
Rion mendengus tak percaya. Selain laporan keuangan, Rion tidak bisa membayangkan apa lagi ‘kertas tidak dipakai’ yang pria itu berikan pada Cherry untuk dicoret-coret.
“Dia benar-benar hanya bekerja di sini, kan?” Rion memastikan kalau sofa mahal yang dibeli tanpa sepengetahuannya ini benar-benar dipakai untuk bekerja oleh Eris, bukan untuk pria itu membuka kakinya pada Cherry yang duduk bersimpuh di hadapannya dan menyuruh gadis polos itu untuk...
Nah, lihat! Dibandingkan Eris, Rion yang bisa membayangkan hal tidak senonoh itulah serigala berbahaya yang sesungguhnya!
“Hu-um!” Cherry menganggukkan kepalanya dengan cara yang terlalu menggemaskan untuk bisa dilakukan oleh gadis yang mulai beranjak dewasa sepertinya. “Kak Eris bilang dia harus bekerja sangat keras karena orang lain hanya bisa main-main. Katanya jika tidak ada Kak Eris yang bekerja maka semua orang di sini bahkan tidak akan bisa makan.”
Rion kembali mendengus. Merasa kasihan karena gadis di hadapannya ini mudah sekali ditipu oleh Eris. Dibandingkan semua orang yang bekerja padanya, Eris lah yang paling tidak berguna. Dia tidak benar-benar bekerja di sini, hanya menggunakan statusnya sebagai seorang pengacara untuk menumpang hidup tanpa melakukan apapun yang berarti karena tanpa dirinya pun Rion telah memiliki hubungan dengan orang-orang penting yang membuat seluruh bisnis ilegalnya bisa berjalan dengan aman sampai detik ini.
“Itu untuk Cherry?”
Pertanyaan Cherry membuat Rion kembali memusatkan perhatiannya pada gadis itu. Cherry menatap laporan keuangan yang dibawa Rion, membuat pria itu melemparkannya ke atas meja. “Gambarlah yang bagus! Jangan membuatku malu lagi!”
“Gambar Cherry bagus, kok.” Cherrry membuka laporan tersebut. Mencari halaman yang kosong untuk kembali dicorat-coret. “Tuan ingin Cherry gambarkan apa? Cherry bisa gambar apa saja.”
“Gambarkan aku gunung!” Rion yang tahu kemampuan gambar Cherry lebih payah dari bocah TK bermain mudah untuk gadis itu. Namun yang seperti itu saja membuat Cherry memiringkan kepalanya bingung.
“Cherry tidak bisa gambar gunung,” ujarnya. “Yang lain.”
“Bukankah gunung itu gampang?”
“Tidak bisa. Yang lain!”
“Pantai?”
“Yang lain, yang mudah!”
“Apanya yang sulit gambar pantai? Gambar saja laut warna biru dan pasirnya putih. Diberi awan dan burung, selesai. Itu kan mudah!”
“Tapi Cherry tidak pernah lihat gunung dan pantai sungguhan,” kata Cherry. “Yang gampang saja, uh. Hmm... Gelas. Cherry gambar gelas yang bagus ini, ya?” tawar Cherry sambil menunjuk gelas yang berisi air.
“Kau tidak pernah ke gunung dan pantai?” tanya Rion yang dijawab dengan gelengan oleh Cherry sementara gadis itu sudah mulai sibuk menggambar. “Kenapa?”
“Tidak boleh tanya kenapa,” sahut Cherry sambil terus menggambar. Terlihat serius dengan memiringkan kepalanya yang nyaris menempel dengan meja sambil sesekali melihat gelas untuk dicontek seperti apa bentuknya. “Kalau Mama dan Papa bilang tidak boleh, maka itu berarti tidak boleh. Cherry tidak boleh tanya kenapa, pokoknya tidak boleh saja dan Cherry harus menurut.”
“Mereka mengendalikanmu seperti itu selama ini?”
“Mereka akan sedih kalau Cherry tidak menurut.”
Rion terdiam. Ia pikir selama ini Cherry benar-benar bahagia bersama Trevor dan Kaia hingga membuat hatinya sakit saat memikirkan betapa sempurnanya hidup gadis itu bersama orang tua yang mencintainya. Namun sampai sini, ia sadar jika Cherry tidak lah sebahagia itu. Bahkan meski gadis itu pikir hidupnya sempurna dan bahagia, nyatanya itu hanya kebahagiaan semu yang dibangun di atas rasa takut yang terus menghantui hidup Kaia dan Trevor.
“Selesai!”
Rion mengerjapkan kedua matanya saat Cherry dengan bangga dan senyuman lebar di wajahnya menunjukkan gambarnya. Yang katanya gadis itu ingin gambar gelas, namun Rion sama sekali tidak bisa lihat apanya yang bisa disebut gelas dari bentuk tidak beraturan yang gadis itu buat.
“Bagus, tidak?” tanya Cherry yang selama ini seaneh apapun gambarnya akan ada kedua orang tuanya dan juga Eris yang selalu memujinya habis-habisan.
“Tidak. Jelek sekali!”
Dan lihatlah bagaimana gadis itu jadi syok saat untuk pertama kalinya mendengar hinaan seperti itu untuk gambar yang dengan susah payah dibuatnya.
“Itu bukan gelas!”
“Ini gelas!” Cherry bersikeras, tidak terima Rion menghina gambarnya.
“Kau hanya asal mencorat-coret saja!” Dan lihatlah bagaimana Rion yang jadi sama kekanakannya dengan Cherry.
“Tidak asal, kok! Cherry gambarnya serius sekali!”
“Tapi itu jelek sekali!”
“Ini...” Cherry menahan ucapannya. Ia membalikkan laporan tersebut untuk melihat gambarnya sendiri sebelum bergumam, “Ini bisa jadi bagus kalau diberi warna.”
Rion berusaha menahan senyum gelinya dan berakhir dengan terciptanya seringaian kecil yang menawan di wajah tampannya. Pria itu lalu merebut laporannya dari Cherry dan membaliknya ke halaman yang kosong. Merebahkan tubuhnya di atas sofa lalu mengulurkan tangan kanannya pada Cherry. “Beri aku warna biru!”
“Tapi gelasnya kan warna merah muda.”
Rion yang mendengar hal itu menolehkan kepalanya pada Cherry. Benar, itu Cherry yang baru saja bicara padanya. Tapi entah kenapa ia seperti mendengar suara Eris yang sedang membantahnya. Mungkin karena terlalu banyak bergaul dengan Eris gadis manis di hadapannya ini jadi terdengar seperti pria itu.
“Kau jadi anak nakal yang tidak menurut sekarang, uh?” tanya Rion yang membuat Cherry menggembungkan kedua pipinya sebelum mengambil sebuah krayon warna biru dan menyodorkannya pada pria itu.
“Mau gambar apa?” tanya Cherry seraya menggeser duduknya mendekat pada Rion yang mulai menggambar masih dengan posisi berbaring. “Oh? Kenapa dicorat-coret?”
“Bukankah seharusnya kau tidak bertanya kenapa?” tegur Rion yang membuat Cherry kembali menggembungkan kedua pipinya. Jadi menyesal karena mengatakan hal ini pada Rion dan sekarang pria itu membuatnya tidak bisa bertanya ‘kenapa’ lagi.
“Warna coklat muda,” kata Rion sambil mengulurkan krayon warna biru yang selesai ia pakai. Namun ia jadi mengerutkan keningnya saat Cherry menukar krayon birunya dengan krayon warna merah muda. “Apa kau tidak tahu warna coklat muda yang mana?”
“Yang merah muda lebih bagus,” kata Cherry dengan polosnya. “Cherry paling suka warna merah muda.”
“Memangnya kau pernah liat pasir warna merah muda, uh?”
“Pasir?”
“Beri aku coklat muda! Kau tahu tidak warna coklat muda yang mana?”
“Tentu saja tahu!” Cherry menukar krayon merah muda itu dengan yang coklat muda sesuai keinginan Rion. Namun masih sempat bergumam protes saat menyerahkannya. “Padahal yang merah muda lebih bagus.” Nah, gadis ini jelas sudah terkontaminasi oleh keburukan Eris.
“Warna putih,” kata Rion yang kelihatannya jadi keasyikan dengan kegiatannya ini. “Warna hijau.” Lihat bagaimana dia sangat menikmatinya. “Warna hitam. Hei, ini merah muda!”
“Kenapa tidak ada merah mudanya? Tolong beri warna merah muda sedikiiit saja,” pinta Cherry yang membuat Rion menatap gambarnya dengan bingung. Tidak tahu harus menggambar apa dengan krayon merah muda itu.
“Gambar gelas Cherry. Gelasnya warna merah muda,” saran Cherry seraya menunjukkan gelasnya pada Rion agar pria itu bisa menggambarnya.
“Tidak ada gelas di sini!” kata Rion yang membuat Cherry cemberut. Tapi kemudian gadis itu tersenyum lagi saat melihat Rion menggunakan krayon warna merah muda itu untuk menggambar bunga.
“Ini.” Rion menyerahkan gambarnya pada Cherry. “Itu namanya pantai.”
Cherry menatap gambar itu dengan penuh perhatian sebelum menggumamkan sesuatu yang membuat Rion melotot padanya. “Ternyata jelek, ya.”
“Apanya yang jelek? Itu bagus!” bentak Rion. “Bandingkan dengan gambar gelas dan cicakmu! Itu jauh lebih bagus!”
“Cicak apa? Cherry tidak pernah gambar cicak, tuh.”
Rion mendesis kesal. Heran kenapa ia tiba-tiba bisa jadi sekekanakan ini di hadapan Cherry. “Pokoknya gambarku jauh lebih bagus dari gambarmu!” ujarnya, masih saja terdengar kekanakan.
“Gambarnya Kak Eris lebih bagus.”
“Mana? Mana gambarnya dia yang bagus itu? Mana mungkin orang itu bisa gambar dengan bagus?”
“Sungguh, gambarnya bagus sekali. Sebentar, Cherry ambilkan.” Cherry berlari masuk ke kamarnya dan tidak lama kembali dengan membawa selembar kertas di tangannya. Yang gambarnya langsung membuat Rion menyeringai untuk mengejeknya saat melihat betapa jeleknya gambar Eris yang Cherry puji.
“Ini Mama, Papa, dan Cherry.” Ucapan Cherry menghapus seringaian di wajah Rion. “Kak Eris menggambarnya agar Cherry bisa melihatnya saat merindukan Mama dan Papa. Ini Cherry tempelkan di dinding dekat tempat tidur.”
“Memangnya kau merindukan mama dan papamu?”
“Kadang-kadang,” sahut Cherry. “Sering,” tambahnya. “Sekarang jadi kangen karena kita membicarakannya," akunya dengan jujur.
“Bagaimana jika ternyata mereka sama saja dengan papaku?”
“Apa?”
“Bagaimana jika ternyata mereka berbohong padamu selama ini dan ternyata bukan pahlawan hebat seperti yang kau pikirkan?”
Pertanyaan Rion sepertinya terlalu berat untuk Cherry yang terbiasa berpikir sederhana, namun pria itu tidak bisa berhenti saat berpikir jika gadis di hadapannya ini memiliki kemalangan yang sama dengan dirinya. Tentang bagaimana mereka hidup dalam kebahagiaan semu yang diciptakan oleh orang tuanya sementara orang lain merasa menderita karena kebahagiaan itu.
“Ini gambarnya jelek!”
Cherry memekik terkejut saat Rion tiba-tiba meremas gambar yang secara khusus Eris buatkan untuknya dan melemparnya sembarangan. Gadis itu sudah hendak berdiri untuk mengambil kertas tersebut saat Rion mencekal tangannya dan menyodorkan laporan yang berisi gambar pantai buatannya.
“Yang ini lebih bagus. Jadi pastikan kau memajang yang ini saja di dinding dekat tempat tidurmu.”
“Tapi—“
“Tidak ada tapi!” potong Rion dengan tegas. “Mulai sekarang, apapun yang kukatakan kau harus langsung mematuhinya tanpa ada ‘tapi’ atau ‘kenapa’. Ini aturanku dan kau harus jadi anak baik yang mematuhinya.”
“Tapi—“
“A-ah!” Rion memotong sambil menggelengkan kepalanya. “Kubilang tidak ada tapi.”
Cherry kelihatannya ingin protes, tapi juga bingung harus menyampaikannya bagaimana saat ia tidak boleh berkata ‘tapi’ atau ‘kenapa’. Dan entah mengapa, gadis itu terlihat menggemaskan di mata Rion saat kebingungan seperti ini.
“Sekarang menggambarlah lagi,” suruh Rion. “Gambar sesuatu yang paling bagus yang kau bisa.”
“Untuk apa? Cherry capek.”
Rion memicingkan sebelah matanya. Meski mustahil, ia jadi agak curiga kalau-kalau Eris menggunakan uangnya untuk beli kostum yang membuatnya jadi mirip Cherry dan sekarang yang ada di hapadannya ini bukan benar-benar gadis manis itu melainkan Eris yang selalu melawan ucapannya.
“Gambar saja,” kata Rion. “Aku akan memajangnya di dinding dekat tempat tidurku nanti.”
Rion masih berbaring miring menatap punggung kecil Cherry yang menggambar dengan serius di hadapannya. Alasannya memindahkan Cherry ke tempat ini adalah untuk menjauhkan gadis itu dari jangkauannya. Namun saat dirinya tidak bisa melihat gadis itu di sekitarnya, ia jadi tidak bisa berhenti memikirkannya. Dan sekarang saat gadis itu berada begitu dekat dengannya hingga hanya perlu satu uluran tangannya untuk menyentuh gadis itu...
“Oh!” Cherry berseru kaget sambil menolehkan kepalanya ke belakang. Ke arah Rion yang tangan kanannya masih menyentuh punggungnya. “Ada apa?”
“Aku akan jadi pangeranmu,” kata Rion yang membuat Cherry menatapnya bingung. “Aku akan melindungimu dari orang jahat yang telah membohongimu selama ini. Dengan begitu kau tidak akan menjadi sehancur aku saat tahu betapa kejamnya kenyataan pahit itu.”
“Siapa?” tanya Cherry.
“b******n itu,” lirih Rion. “Aku tidak akan pernah membiarkannya membawamu dan membohongimu dengan kebahagiaan yang palsu itu lagi.”
***
“Kau akhirnya sadar.”
Di tempat lain, di saat yang bersamaan dengan Rion yang baru saja memutuskan hal besar dalam hidupnya, seorang wanita paruh baya bergumam pada pria lain yang berbaring di kasur tipis di atas lantai. Pria itu tidak mengenakan atasan dan ada gambar tato yang mengintip dari celah-celah perban yang membalut tubuh kekarnya.
“Lama tidak berjumpa,” kata wanita paruh baya itu sambil tersenyum dengan hangat. “Apa kau masih ingat aku?”
“Bibi...” Pria itu berkata dengan suara seraknya yang lirih. “Bibi Lily...”
Senyuman Bibi Lily jadi semakin lebar dan wanita itu menganggukkan kepalanya berkali-kali. “Iya, ini aku. Lama tidak bertemu, Kepala Pengawal.”
**To Be Continue**