“Kami sudah menembaknya, Bos. Dia sedang terluka parah sekarang jadi—“
“Lalu bagaimana kalian bisa kehilangan pria itu, sialan?!”
Dengan emosinya yang memuncak, Rion tidak menunggu sampai anak buahnya menyelesaikan laporannya untuk melampiaskan amarahnya dengan mendaratkan satu tinjuan keras yang langsung membuat bibir anak buahnya itu sobek dan mengalirkan banyak darah.
Kemudian dengan napas tersengal, Rion berjalan menghampiri Andrew yang memegang pistol di tangan kanannya. Pistol yang beberapa saat lalu ia gunakan untuk menembak d**a Trevor.
“Mengapa kau menembaknya?” desis Rion terdengar marah.
“Bos—“
“Aku memintamu untuk membawanya hidup-hidup padaku, b******k!” Lagi, Rion kembali menggunakan kepalan tangan kanannya untuk mendaratkan tinjuan di wajah Andrew. Ia lalu mencengkeram kerah kemeja pria itu dengan kedua tangannya, menarik tubuh pria itu mendekat padanya agar Andrew bisa mendengar dengan jelas setiap kata yang ia ucapkan dengan penuh penekanan.
“Dia tidak boleh mati hanya karena tembakanmu. Kau harus segera menemukannya dan membawanya ke hadapanku dalam keadaan hidup. Hanya aku yang boleh membunuhnya. Hanya aku!”
Rion menyentakkan tangannya untuk melepaskan Andrew dari cengkeramannya. Membiarkan pria itu pergi bersama para anak buahnya. Rasa marah yang menguasai dirinya membuat tubuh Rion menggigil. Tangan kirinya yang gemetar terangkat, menyangga kepalanya yang tiba-tiba terasa pening.
“Bos, apa kau baik-baik saja?”
Seorang anak buahnya yang masih bersamanya menghampiri Rion, merasa khawatir saat melihat tubuh bosnya itu bergetar dengan hebat. Rion mengangkat wajahnya, menatap anak buahnya itu dengan kedua matanya yang menggelap.
“Bawa gadis itu ke paviliun belakang sekarang!”
***
Trevor tidak tahu di mana dirinya berada sekarang. Dengan dadanya yang baru tertembak, ia berlari sejauh yang kakinya bisa hingga akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur di atas tanah. Tangan kirinya menekan dengan kuat bekas tembakan yang mengalirkan banyak darah di d**a sebelah kanannya. Yang andai Andrew meleset sedikit saja maka peluru yang ditembakkan pria itu akan bersarang di dalam jantungnya.
“Cherry...”
Dalam keputusasaannya, di antara rasa takut dan sakit yang tidak tertahankan Trevor memanggil nama putrinya itu dengan lirih. Gadis manisnya yang akan selalu menyahuti panggilannya dengan riang, yang kini membuatnya menangis saat ia tidak dapat mendengar sahutan gadis itu.
Setelah Andrew dan anak buahnya memporakporandakan rumahnya kemarin, Trevor diam-diam mengikuti mereka kembali ke rumah Rion. Pria itu berusaha keras mencari cara untuk bisa masuk dan menyelamatkan Cherry, namun penjagaan di rumah itu terlalu ketat. Hingga akhirnya matahari terbit dan anak buah Rion mengetahui keberadaannya. Berusaha menangkapnya dan menembaknya untuk menghentikannya.
“Maafkan Papa, Sayang...” Trevor terisak saat kenangan akan hari-hari bahagianya bersama Kaia dan Cherry terlintas di kepalanya seperti potongan film yang kini terasa sangat menyakitkan.
“Kaia, Cherry... Maafkan aku...”
***
Saat kekuasaan tertinggi dalam organisasi ini masih dipegang oleh Hector, rumah megah ini tidak hanya dipenuhi oleh para mafia bertubuh kekar. Wanita-wanita simpanan pria itu juga bisa dengan bebasnya mondar-mandir di rumah ini. Tinggal di bawah atap yang sama dengan nyonya besar dan putranya yang masih kecil.
Di antara sekian banyaknya wanita simpanan Hector, ada satu wanita yang menjadi kesayangannya. Yang saking sayangnya Hector pada wanita itu, ia sampai membuatkan sebuah paviliun mewah di belakang rumahnya khusus untuk wanita kesayangannya itu.
Ya, wanita itu adalah Kaia. Wanita simpanan kesayangan Hector yang terlibat cinta terlarang dengan Trevor yang kala itu merupakan seorang kepala pengawal.
Paviliun mewah yang tidak pernah lagi dihuni sejak pemiliknya pergi ini menyimpan begitu banyak kenangan. Mulai dari malam-malam panas penuh siksaan yang Kaia habiskan untuk memuaskan sang bos besar hingga bagaimana kisah cinta terlarangnya bersama Trevor terjalin juga bermula di tempat ini. Bahkan, pembunuhan terhadap Hector pun juga terjadi di dalam paviliun ini. Di dalam kamar yang kini berisi Cherry yang menunggu kedatangan Rion dengan senyuman di wajah polosnya.
“Tuan!”
Dan lihatlah bagaimana senyuman Cherry jadi semakin lebar saat ia melihat Rion memasuki kamar mewah tersebut. Gadis itu terlalu senang memikirkan hadiah yang akan Rion berikan padanya hingga tidak menyadari bahaya yang pria itu bawa untuknya.
“Hadiah Cherry.” Cherry menadahkan kedua tangannya sambil tersenyum saat langkah Rion semakin dekat dengannya. “Cherry penasaran apa yang akan Tuan—“
Plak!
Tamparan yang menyela ucapan Cherry itu begitu keras hingga membuat tubuh gadis itu limbung. Kemudian dengan kasar Rion merenggut pergelangan tangannya dan menyeretnya ke arah tempat tidur. Membanting tubuh Cherry yang masih belum sepenuhnya pulih setelah kemarin dihajar habis-habisan olehnya ke atas tempat tidur hingga membuat gadis itu merintih kesakitan.
“Tu—“
Bagi Cherry yang bahkan belum menyadari situasi berbahaya macam apa yang kini tengah dihadapinya, ia tidak bisa mengantisipasi gerakan cepat Rion saat pria itu merangkak naik ke atas tempat tidur hingga tubuhnya berada di atas tubuh Cherry. Mengurung tubuh gadis itu hingga ia tidak bisa pergi ke mana pun.
“Tuan...” Cherry mencicit penuh rasa takut. Rion berada tepat di atas tubuhnya dengan kedua tangan pria itu yang berada di masing-masing sisi tubuhnya. Pria itu tidak mengatakan apapun, hanya menatapnya dengan wajah yang dengan jelas menggambarkan amarahnya serta kedua mata berkilat tajam seperti seekor binatang buas yang siap menerkam mangsanya.
“Aku harus segera menyelesaikan semua ini dengan cepat.” Rion terlihat sangat marah dan menyeramkan, namun suaranya yang bergetar itu terlalu jujur untuk menyiratkan rasa sakit yang kini mendera hatinya.
“Agar aku bisa pergi dari dunia yang menjijikkan ini, aku harus segera menghabisinya tapi mengapa dia terus melarikan diri dariku dan membuatku kesulitan seperti ini?!”
Cherry memejamkan kedua matanya saat Rion menjerit di hadapannya sambil tangan kanan pria itu mencengkeram dagunya dengan kuat.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” Rion bertanya dengan suara lirihnya yang gemetar sementara di bawahnya Cherry yang memejamkan kedua matanya erat-erat itu juga tidak dapat menahan rasa takut yang membuat sekujur tubuhnya gemetar.
“Haruskah kumulai dengan memotong satu per satu jari kecilmu dan memajangnya di depan gerbang agar pria itu melihat apa yang bisa kulakukan pada putri kesayangannya jika dia tidak kunjung datang padaku?”
Cherry membuka matanya dan itu membuatnya terkejut. Ia pikir hanya dirinya yang merasa begitu ketakutan hingga hampir menangis. Namun di atas wajahnya, ia bisa melihat dengan jelas air mata yang menggenang di kedua pelupuk mata Rion.
“Tuan...” Tangan Cherry masih gemetar karena ketakutan, namun kekhawatirannya pada Rion memberinya cukup keberanian untuk menyentuhkan tangan itu di wajah pria tersebut. Yang mana hal itu justru memancing air mata Rion untuk keluar dengan derasnya.
“Aku lelah...” Rion menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Cherry dan menangis dengan kuat di sana. Membuat Cherry bisa merasakan air mata panasnya yang dengan cepat membasahi rambut dan pakaian gadis itu.
“Aku ingin berhenti. Aku hanya ingin semua ini segera berakhir...”
Saat Cherry menggunakan kedua tangannya untuk melingkari punggung Rion, gadis itu telah sepenuhnya lupa tentang betapa menyeramkannya Rion beberapa saat yang lalu hingga membuatnya jadi sangat ketakutan. Gadis itu memiringkan kepalanya, menempelkannya dengan kepala Rion sementara kedua tangannya membelai punggung pria itu dengan lembut. Persis dengan yang biasa dilakukan oleh mama atau papanya saat dirinya menangis ketakutan karena bunyi petir atau mimpi buruk. Tidak sadar jika alasan Rion menangis tidak sesederhana seperti ketakutannya pada petir atau mimpi buruk.
Rion menangis karena ia benar-benar telah merasa lelah dan muak. Selama 22 tahun sejak kematian papanya, ia tumbuh dengan mengetahui banyak kebenaran yang membuat jalannya jadi semakin gelap dan sulit. Delapan tahun hidupnya bersama papanya yang penuh kebohongan dan kemudian menghancurkannya saat satu per satu kebenaran terungkap.
Seperti bagaimana ternyata mamanya yang selalu membuatnya sedih saat ia kecil ternyata bukanlah orang jahat melainkan papanya yang selalu tersenyum dan memeluknya dengan hangat itu lah orang jahat yang sebenarnya.
***
Saat anak buah Rion membawa Cherry ke paviliun belakang, Eris berpikir jika sesuatu yang buruk benar-benar akan terjadi pada gadis malang itu. Karena itu ia diam-diam mengikuti Cherry, bersembunyi di tempat yang bisa membuatnya langsung berlari untuk melindungi gadis itu jika Rion sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya.
Eris sudah hampir melompat keluar dari persembunyiannya saat mendengar bunyi tamparan dan suara bentakan Rion. Namun saat kemudian ia mendengar suara tangisan Rion, ia menahan dirinya untuk masuk ke dalam kamar itu.
Dua puluh dua tahun berada di sisi Rion, berada sangat dekat untuk bisa melihat semua hal yang pria itu lalui untuk meneruskan bisnis gelap papanya, Eris tahu pasti betapa menderitanya Rion selama ini. Pria itu masih terlalu muda untuk menerima tanggung jawab yang begitu besar dan hatinya yang hancur karena kematian papa yang sangat disayanginya itu juga terlalu lemah untuk bertahan di jalan yang sangat keras ini.
Namun dibandingkan semua itu, hal yang paling menghancurkan hati Rion adalah fakta-fakta tersembunyi tentang papanya yang selama ini tidak pria itu ketahui. Terutama bagian tentang kematian mamanya. Yang ternyata bukan bunuh diri melainkan karena tangan papanya sendiri yang merenggut nyawa wanita itu.
Kemudian fakta-fakta lainnya yang membuat Rion sadar jika papanya bukan pria hebat apalagi pahlawan seperti yang selama ini dipikirkannya. Pria itu benci dengan fakta jika kenangan manisnya bersama Hector itu hanya menjadi luka bagi banyak orang terutama mendiang mamanya yang tidak pernah sekali pun merasakan kebahagiaan sejak hari pertama Hector masuk ke dalam hidupnya.
Rion ingin pergi, namun permintaan terakhir Hector padanya terasa seperti kutukan yang mengikatnya. Ia tidak bisa melarikan diri dari semua rasa sakit dan penderitaan ini sampai kewajibannya untuk membunuh Kaia dan Trevor terpenuhi.
“Sssst!”
Eris tersenyum pada Cherry yang memberinya isyarat untuk tidak berisik saat dirinya memasuki kamar tersebut. Di atas kasur mewah yang menjadi saksi bisu tentang kebejatan Hector pada Kaia, Cherry masih berbaring bersama Rion yang tertidur dalam dekapannya. Tertidur dengan lelapnya seolah pria yang sudah sangat lelah fisik dan hatinya itu akhirnya bisa menemukan tempat beristirahat yang nyaman.
“Ayo pergi,” bisik Eris.
“Dia akan terbangun,” balas Cherry yang seperti penolakan tersirat untuk ajakan Eris.
“Tidak. Dian tidak akan bangun jika kau pelan-pelan.”
Cherry terlihat mempertimbangkannya. Ia tidak ingin mengganggu tidur Rion, namun tubuh besar pria itu juga sangat berat untuknya. Jadi menuruti saran Eris, dengan hati-hati Cherry melepaskan pelukannya pada Rion dan beranjak turun dari tempat tidur.
“Lihat bagaimana anak nakal itu memukulmu. Pasti sakit sekali, kan?” tanya Eris yang membawa Cherry keluar dari kamar itu sambil menggandeng tangannya.
“Sudah tidak sakit lagi, kok.”
“Tapi tadi pasti sakit sekali, kan?”
“Iya. Tapi sekarang sudah tidak sakit. Jadi jangan marahi Tuan itu lagi, uh? Cherry susah sekali membuatnya berhenti menangis tadi.”
Suara Cherry dan Eris terdengar semakin menjauh dan saat akhirnya tidak dapat mendengar suara itu lagi, Rion dengan perlahan membuka kedua matanya. Di tempat yang sebelumnya tubuh Cherry berbaring di sana, Rion masih bisa mencium aroma tubuhnya yang manis.
Melihat bagaimana khawatirnya Cherry saat melihat dirinya menangis padahal gadis itu juga sedang sangat ketakutan, Rion jadi sadar satu hal. Bahwa sejak awal, Cherry yang ia bawa dengan penuh kebencian ke rumah ini bukanlah orang yang jahat. Begitu juga dengan Trevor dan Kaia yang selama ini ia cari untuk balas dendam. Dalam kenangan yang bisa diingatnya tentang kedua orang itu adalah hari-hari bahagianya yang penuh tawa saat sepasang kekasih itu menyayangi dirinya seperti anak mereka sendiri.
Mamanya yang dalam semua kenangannya selalu menghindarinya dan menatapnya dengan dingin itu juga bukan orang jahat. Wanita itu hanya terlalu sedih dengan fakta bahwa ia melahirkan seorang anak laki-laki yang akan dijadikan b******n yang sama buruknya dengan suaminya. Yang kemudian membuatnya harus meregang nyawa saat berusaha melarikan diri dengan membawa putra kesayangan suaminya itu.
Satu-satunya orang jahat dalam kisah ini adalah Hector. Papanya sendiri. Orang yang dengan kekejamannya memulai semua kisah sedih untuk dirinya hingga detik ini.
Dengan air mata yang telah mengering, Rion berjalan keluar dari paviliun mewah itu. Saat ia bertemu dengan para anak buah yang telah menunggunya, ia menyampaikan perintahnya dengan suara yang terdengar serak.
“Bawa gadis itu kembali ke sini. Mulai sekarang, dia akan tinggal di paviliun ini.”
**To Be Continue**