“Kaia...”
Tanpa mempedulikan rasa sakit di kakinya yang membuat langkahnya jadi sedikit pincang, Trevor mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai ke rumahnya saat melihat pintu rumah tersebut terbuka lebar. Firasat buruknya membuatnya tidak bisa berhenti untuk tidak merasa cemas sebelum ia bisa melihat Kaia dan Cherry.
“Kaia! Cherr—“
Langkah Trevor terhenti, begitu juga dengan seruannya. Tubuhnya langsung ambruk di atas lantai di detik ia melihat tubuh Kaia yang tergeletak dengan posisi tengkurap di lantai ruang tengah dengan bercak darah di sekitarnya.
“Ka...” Pria yang di masa lalu begitu dihormati karena kekuatannya itu seperti kehilangan suaranya, tidak sanggup untuk sekadar memanggil istrinya saat kesedihan yang terasa mencekik lehernya membuatnya tidak dapat bernapas dengan benar. “Kaia... Ka—Kaia...”
Pria itu merangkak menghampiri tubuh Kaia, persis dengan yang 22 tahun lalu Rion lakukan setelah menemukan tubuh papanya di atas kubangan darahnya.
“Kaia...” Trevor mengangkat tubuh Kaia dan membaliknya, namun wanita yang kedua matanya telah terpejam dengan bibir membiru itu sama sekali tidak meresponnya.
“Sayang... Istriku...” Namun tidak ingin menyerah, pria itu terus berusaha memanggil Kaia dengan semua nama panggilan yang disukai istrinya itu. Memanggilnya berkali-kali dengan diiringi tangisan kerasnya yang membuat air matanya menetes-netes di atas wajah Kaia yang telah tak bernyawa.
“Maafkan aku... Sayang, kumohon... Kaia...” Trevor masih terus meratapi perpisahan yang tidak ia perhitungkan akan terjadi secepat dan semendadak ini. “Kaia, bagaimana ini? Bagaimana aku dan Cherry akan hidup setelah ini?”
Seakan baru tersadar, Trevor akhirnya ingat jika ia masih belum melihat putrinya. Air matanya berhenti begitu saja, namun rasa takut yang menguasai dirinya jadi jauh lebih besar dari sebelumnya saat ia memikirkan nasib Cherry.
“Cherry!” Trevor meninggalkan tubuh Kaia dan mulai mencari keberadaan Cherry. Membuka setiap pintu, mencari di setiap ruangan, namun gadis kecilnya itu tidak ada di mana pun.
“Cherry! Tidak, Cherry!”
Trevor tidak bisa lagi menahan dirinya saat ia tidak kunjung menemukan Cherry. Di ruang tengah rumah kecilnya yang biasanya selalu dipenuhi oleh kehangatan dan suara tawa dari anak dan istrinya, Trevor menangis meraung-raung sambil mendekap erat tubuh Kaia di dadanya. Tidak tahu harus bagaimana saat kehidupan indah yang ia miliki selama ini hancur begitu saja dengan kematian Kaia dan kehilangan Cherry.
“Aku akan membunuhnya,” lirih Trevor sambil menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kaia meski hal itu sama sekali tidak dapat meredam suara tangisannya. “Kau tidak akan bisa menghalangiku lagi kali ini, Sayang. Aku bersumpah akan membunuh anak itu dengan tanganku sendiri!”
***
Rion berdiri di bawah guyuran shower tanpa melepas pakaiannya. Kedua tangannya menggosok wajahnya sendiri dengan kasar, terus menggosoknya meski bekas darah Kaia yang ingin ia bersihkan sudah hilang sejak tadi.
Di antara guyuran air dari shower, air mata yang tidak bisa dibendungnya bercampur bersama air tersebut. Rion pikir ia akhirnya bisa merasa lega saat sudah memenuhi keinginan terakhir papanya, namun sekarang ia justru merasa sama hancurnya dengan saat dirinya harus melihat kematian papanya setelah ia membunuh Kaia dengan tangannya sendiri.
“Mama...”
Rion berkata dengan suara lirih dan itu justru lebih menyakiti hatinya saat ia mengucapkan kata itu sambil memikirkan tentang Kaia yang telah dihabisinya.
Rion ingat, saat kecil dulu ia lebih sering mengucapkan kata ‘mama’ itu untuk Kaia dibandingkan mama kandung yang selalu mengabaikannya. Meski papanya begitu mencintainya, namun sejauh yang bisa diingatnya Rion sama sekali tidak pernah menerima kasih sayang dari mamanya. Wanita yang telah melahirkannya itu membencinya sebanyak wanita itu membenci papanya.
Rion yang merindukan kasih sayang seorang ibu dan Kaia dengan duka abadi karena kehilangan anaknya. Dan kemudian dua orang itu bertemu untuk kemudian saling menutup lubang di hati masing-masing dengan kasih sayang yang tulus.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Rion bertanya dengan nada tak suka saat keluar dari kamar mandi dan mendapati Eris telah duduk bersandar di atas tempat tidurnya. Pria itu hanya terus menatapnya, sama sekali tidak mengalihkan pandangannya meski kini Rion mulai melucuti pakaiannya yang basah di depan lemari besar yang ada di salah satu sisi dinding kamar itu.
“Kau membunuhnya?” tanya Eris yang dijawab dengan gumaman oleh Rion. “Keduanya?”
Dan lagi-lagi Rion hanya bergumam. Kelihatannya terlalu malas untuk menanggapi pertanyaan pengacaranya itu.
“Lalu kenapa tidak bunuh anaknya juga?”
“Aku ingin bersenang-senang dengannya dulu.”
“Dia masih kecil!” Eris berseru bersamaan dengan Rion yang selesai memakai pakaiannya hingga kini pria itu bisa membalikkan tubuhnya dan menunjukkan ekspresi tidak pedulinya. “Aku akan menuntutmu jika kau berani macam-macam dengan anak di bawah umur!”
“Kau ingin menuntutku karena macam-macam dengan anak di bawah umur tapi membiarkanku membunuh orang?” tanya Rion. Terselip nada mengejek pada suaranya.
“Aku tidak akan berkomentar apa-apa tentang orang tuanya yang sudah membunuh papamu, tapi aku tidak bisa membiarkanmu menjahati anak kecil yang tidak bersalah apa-apa! Masalahmu itu dengan orang tuanya dan itu sudah selesai saat kau sudah membunuh mereka!”
“Masalah mereka juga hanya dengan papaku tapi itu tidak selesai saat mereka membunuhnya. Mereka hanya menciptakan neraka untukku saat membunuh Papa.”
Rion naik ke atas tempat tidur lalu menendang tubuh Eris hingga pria itu terjatuh dari tempat tidurnya dengan diiringi erangan kerasnya. “Bawa gadis itu kemari!”
“Cih!” Eris mendengus seraya bangkit dari posisinya, menepuk-nepuk bokongnya yang baru membentur lantai sebelum berkata, “Hapus dulu air matamu! Bagaimana bisa menemui wanita dengan mata bengkak begitu, uh?”
“Tutup mulutmu dan bawa saja gadis itu padaku!” Rion memerintah dengan nada mutlak yang membuat Eris mencibir padanya. Ia baru akan pergi saat suara Rion menahan langkahnya. “Bawa itu denganmu!”
Eris mengikuti arah yang ditunjuk Rion dan tatapannya jatuh pada boneka penguin yang ada di atas meja kerja. “Gyui?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Rion. “Kau bisa mimpi buruk nanti jika tidak tidur dengan memeluknya.”
“Aku sudah menyingkirkan mimpi burukku,” sahut Rion. “Jadi singkirkan saja boneka sialan itu! Aku tidak membutuhkannya lagi!”
Eris menurut dan mengambil boneka penguin itu. Namun kemudian, ia masih sempat menggoda Rion yang suasana hatinya sedang sangat buruk itu saat berkata, “Kakakmu jahat sekali, uh. Dia ingin menyingkirkanmu setelah punya gadis cantik untuk dipeluk. Benar-benar pria hidung be— Ah!”
Eris memekik saat Rion menghentikan ucapannya dengan lemparan keras bantal di wajahnya. Pria itu memungut bantal yang tergeletak di lantai lalu mengembalikannya dengan cara melemparkannya pada Rion. “Dasar temperamen!” gerutunya sebelum pergi meninggalkan kamar tersebut.
Setelah turun dari kamar Rion yang ada di lantai dua, Eris melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dan ia langsung menghela napas panjang saat melihat Cherry yang tampak seperti malaikat dengan baju terusan warna putih serta mahkota bunga terpasang di puncak kepalanya yang ditutupi rambut panjang duduk di antara para pengawal yang mengitarinya. Rasanya sedih sekali saat melihat malaikat sesuci ini harus jadi santapan serigala b******k yang jadi bosnya itu.
“Ikut aku,” ajak Eris sambil meraih pergelangan tangan Cherry. “Bos Besar ingin bersenang-senang katanya. Jadi jaga jarak sampai radius lima meter, uh,” tambahnya sambil mengerlingkan sebelah matanya saat para pengawal itu menatapnya yang hendak membawa Cherry.
Namun bukannya membawa Cherry ke kamar Rion seperti yang telah diperintahkan, pria itu justru membawa gadis malang itu ke kamarnya sendiri.
“Ini malam pertamamu di sini,” kata Eris. “Kau akan trauma jika menghabiskannya bersama si b******k itu. Jadi malam ini bersenang-senang denganku saja, uh.”
**To Be Continue**