Bab 4 Keputusan Dadakan

1598 Kata
Ruang kerja Pak Cipta mendadak hening, terhuni oleh dua manusia, tetapi bagaikan kosong. Indra tak mungkin memulai percakapan selanjutnya. Kesabaran telah Indra telah habis, untuk menebus kesalahannya ia memberanikan diri angkat bicara. "Maafkan saya, Pak! Terima kasih sudah memberikan pelajaran tentang kesopanan pada saya." Pak Cipta yang semula asyik memainkan mouse di depan, mendadak menghentikan aksinya. Matanya menatap Indra dengan serius. "Besok jangan diulangi lagi ya!" "Saya janji, Pak." Pak Cipta tersenyum sambil menganggukkan kepala. Indra tak mengerti, ia sebenarnya apa tujuannya dipanggil ke ruangan pimpinannya. "Bapak memanggil saya ke sini untuk apa ya?" tanya Indra dengan penasaran. "Saya tidak akan mengurungkan niat baik yang sudah terencana sebelumnya, walaupun kamu tadi bersikap tidak sopan karena kamu sudah minta maaf. Andai tidak minta maaf, saya pikirkan terlebih dahulu," ujar Pak Cipta sambil menatap tajam wajah Indra. Indra belum paham apa yang dimaksud Pak Cipta karena laki-laki tua itu tidak berkata pada intinya. Ia hanya melongo menanti kalimat yang akan diucapkan berikutnya. "Ada kabar bahagia untukmu. Gantikan posisi Pak Adi," kata Pak Cipta setelah diam sejenak. Indra merasa bagaikan mimpi. Dalam hati ia berkata, "Pak Adi kan asisten Pak Cipta, ini tidak mungkin." "Indra ... " panggil Pak Cipta saat menatap wajah Indra yang seolah sedang melamun. "Iya, Pak," jawab Indra agak geragapan. "Kamu dengar apa yang saya katakan?" "I ... iya ... saya dengar." "Bagaimana dengan tawaran saya?" "Saya merasa tidak pantas untuk menjadi tangan kanan Bapak. Saya ini kan .... " Pak Cipta memotong pembicaraan Indra " .... saya gak peduli kamu itu siapa? Tinggal manut aja apa perintah saya. Gitu aja kok repot." Indra ingin balas dendam dengan Pak Cipta untuk mengatakan tidak sopan karena memotong pembicaraannya yang belum selesai, tetapi ia mengurungkan niatnya, takut dikatakan tidak sopan lagi. "Masih mau bekerja di sini kan! Kalau iya ikuti perintah saya. Kalau mau resign ya sudah, tidak perlu mematuhi perintah saya," ujar Pak Cipta dengan tegas. Lagi-lagi Pak Cipta mengeluarkan s*****a agar Indra menuruti perintahnya. Indra bukan type orang yang langsung mengiyakan atau menidakkan dalam mengambil keputusan, tetapi harus menimbang-nimbang terlebih dahulu. Alasan mulai dimunculkan Indra untuk memberikan tolakan halus. "Bagaimana, kalau ada orang yang iri, Pak?" "Dia akan berhadapan dengan saya. Asal kamu tahu, saya memilih kamu karena sudah mempertimbangkan semuanya. Paham!" Dengan agak ketakutan, Indra hanya bisa menganggukkan kepala. "Sekarang kamu pilih iya atau tidak. Detik ini juga. Dan konsekuensinya sudah saya jelaskan sebelumnya," desak Pak Cipta. Sebenarnya Indra tak bisa memutuskan segala sesuatu dengan model dadakan. Ia memilih untuk diam dan menunduk. "Jawab sekarang, Indra!" Suara tinggi keluar dari mulut Pak Cipta. Indra memaksa diri untuk menjawab. "Iya, Pak. Saya bersedia." "Bagus. Kamu boleh keluar. Besok pagi kamu mulai menduduki posisi barumu," ucap Pak Cipta sambil menyalami Indra. "Terima kasih, Pak," jawab Indra yang masih dalam keadaan berjabat tangan. *** Persahabatan dua orang antara Vino dan Indra seolah tak pernah terpisahkan. Sore ini mereka mampir di kafe untuk sekedar ngobrol. "Tumben gak langsung pulang, Ndra! Malah ngajak gue ngobrol di kafe," ujar Vino sambil menyeruput kopi hangat. "Biar otak adem." "Kamu habis kena marah Pak Cipta ya!" "Asal loe tahu. Gue mau ngademin otak. Kenapa bahas dia lagi, dia lagi, gak ada lainnya apa?" kata Indra dengan emosi. Vino mulai mengerti perasaan temannya. Ia tak akan membahas nama laki-laki itu lagi. "Sepertinya Indra lagi sensi kalau bahas Pak Cipta. Untung aja bukan gue yang dipanggil, selamet ... selamet ... selamet .... " batin Vino. Indra teringat handphone yang sejak pertemuan dengan Pak Cipta dianggurin. Ia merogoh tas untuk mengambil barang yang menjadi nyawa keduanya. Tangannya memencet tombol dan berlari ke aplikasi w******p. Matanya tertarik dengan pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Elizabeth [Selamat ya! Sekarang kamu sudah diberi kepercayaan sama Pakde] Indra mengira, pesan itu berasal dari Liza. Ia membuka informasi profil, tak ada foto, hanya nama profil bernama Elizabeth. Anda [Ini Elizabeth itu Liza, ponakannya Pak Cipta bukan ya!] Elizabeth [Betul] Anda [Anda tahu kontak saya darimana?] Elizabeth [Emot tertawa] Vino memperhatikan Indra yang tampak serius memainkan handphone membuatnya curiga. "Sama siapa?" "Vin, otakku tadi lari ke mana ya! Sampai mengiyakan perintah Pak Cipta." Indra langsung meletakkan handphonenya di atas meja. "Di rumah kali," canda Vino. "Gue gak kebayang kalau disuruh blablabla, apa gue bakal kuat?" Indra menepukkan jidat dengan tangan kanannya. "Kan yang mengiyakan mulutmu, kalau mulutku baru salah." "Gak kebayang lagi, kalau salah bisa kena omelan. Dan bisa disebar ke seluruh karyawan lainnya," ujar Indra dengan gelisah. "Untung bukan aku yang dipanggil. Salah loe sendiri, mau aja datang ke ruang kerja Pak Cipta." "Kok kamu malah nyalahin gue, Vin. Bantu atau gimana kek," kata Indra dengan nada agak tinggi. "Urusanmu, bukan urusanku." Vino mulai cuek dengan Indra. Vino tak menunjukkan mode balas dendam, tetapi dari tingkahnya seolah membalas perlakuan Indra tadi siang. Indra kesal dengan perkataan Vino. Ia memilih diam sambil menikmati kopi. "Mungkin Vino balas dendam dengan sikapku tadi siang," gerutu Indra dalam hati. *** Kehidupan baru mulai dijemput Indra. Aktivitas yang tak pernah dibayangkan, kini dihadapinya. Mengekori Pak Cipta, entah berupa lahir ataupun batin dilakukannya. Ruang kerjanya tak lagi berjauhan dengan Pak Cipta, tetapi hanya bersebelahan. Indra mengamati setiap sudut ruangan untuk menikmati suasana barunya. Kemoceng diayunkan Indra untuk membersihkan debu yang bertebaran. Pintu ruangan terbuka, bagaikan dedemit yang masuk. Suatu kekagetan membuat Indra menoleh ke arah belakang. Kemoceng tak sengaja mendekat di hidung Indra. Membuat hidungnya beraksi. Hacing ... Hacing ... Hacing .... "Kalau mau bersin jangan menghadap ke saya, dasar anak gak sopan," sembur Pak Cipta. "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja." Indra meminta maaf. "Itu sebagai balasan kalau orang gak sopan. Ya bakal dibalas juga, meskipun bukan berasal dari unsur kesengajaan. Rasain tuh!" batin Indra yang menunjukkan ekspresi berbalik dengan batinnya. Pak Cipta mengenggam tangannya seolah akan terbang ke arah Indra. "Pakde!" Liza tiba-tiba muncul di belakang Pak Cipta. Pak Cipta menoleh ke arah belakang, tepatnya Liza berdiri. "Kenapa kamu ke sini?" Ekspresi Pak Cipta sudah berubah saat kedatangan Liza. Ia tak menampakkan wajah sangarnya. Kelegaan dirasakan Indra. Emosi sudah tercairkan, hanya kedatangan Liza. Hingga Indra berkata dalam hati. "Bagus dong! Kalau pas emosi ada Liza, pasti akan adem." Liza tak langsung menjawab pertanyaan pakdenya, tetapi melihat dua orang itu bergantian. Ia merasakan hal aneh. "Liza," ujar Pak Cipta dengan nada kalem. "Oh, iya. Pakde ditunggu Pak Adi di depan. Mau bertemu njenengan." Liza mengatakan maksud dan tujuannya. Pak Cipta melewati Liza dan pergi tanpa permisi. Bagaikan tanah lapang, tak di huni seorang pun, bisa keluar masuk tanpa interaksi. Setelah laki-laki tua itu menghilang, Liza mendekat ke arah Indra. "Itu Pakde kenapa sih?" "Seperti apa yang kamu lihat?" ujar Indra sambil mengangkat kedua tangannya. Liza menguraikan senyumnya. "Sabar ya!" "Kalau gak sabar, aku sudah dari dulu resign dari sini." "Kalau gak sabar, gak mungkin ketemu aku dong," canda Liza. Usai kalimat itu terucap, Liza langsung berlari pergi meninggalkan Indra. Tinggallah Indra seorang diri dalam ruangan itu. Melihat tingkah Liza, Indra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu memang lucu. *** "Sebenarnya aku ini asisten pribadi atau kantor sih?" gerutu Indra. Tanpa banyak menolak Indra segera mengemudikan mobil untuk menjemput Liza. Yang ada dalam otaknya, penting dibayar. Indra pergi dengan arah gmap. Ia berhenti tepatnya di depan rumah mewah di pinggir jalan raya. Matanya berkeliaran, tetapi tak menemukan Liza. Ia memilih untuk berdiam dalam mobil sambil memainkan handphone. Indra pergi jauh ke alam mimpi. Hingga ia sadar ketika dobrakan berkali-kali pada kaca mobil. Mata Perlahan-lahan dibukanya, ia terpaksa membuka kaca di samping tempat duduknya. Marah akan dilampiaskan karena merasa terganggu dengan suara gedoran tak wajar. "Kamu di sini, Mas?" Keinginan yang akan dilampiaskan diurungkan Indra. Ia ingat diberi mandat untuk menjemput ponakan Pak Cipta. Sisa-sisa kantuk masih terasa, tetapi Indra berusaha fresh dengan menoleh ke arah Liza. "Kamu bisa lihatkan saya pakai mobil siapa?" Liza menggaruk-garukkan kepalanya. Menatap ke arah kanan kiri dengan menggigit jarinya seperti orang kebingungan. "Kamu kenapa sih, Liz?" tanya Indra dengan penasaran. "Aku itu pengin Pakde yang menjemput, bukan kamu, ngerti!" jelas Liza. "Gue datang ke sini karena disuruh Pak Cipta. Kalau gak ya ogahlah." "Ya sudah. Sono balik! Bilang aja gue gak maunya dijemput Pakde. Ngomong langsung, jangan pakai telepon!" pinta Liza. "Kalau gue dimarahin Pak Cipta gimana?" "Ngomong aja apa adanya." Liza memang keras kepala. Ia tetap kokoh dengan keinginan seperti yang diharapkan. Indra mengangguk, walaupun hatinya seperti dimainkan. Suruh ke sana ke mari, tetapi justru itu yang ia suka, bisa lari dari cengkraman Pak Cipta. *** Liza berdiri sambil mengamati jalan dengan lalu-lalang kendaraan. Ia membuka pesan w******p yang sempat terabaikan gara-gara ngerjain tugas kelompok. Natalie [Aku udah sampai Gereja, Liz. Kamu di mana?] Anda [Masih di rumah teman] Natalie [Ini teman-teman sudah menunggumu. Cepetan datang ya?] Anda [Maaf aku telat] Tangan Liza langsung berlari menuju kontak atasnama Mas Indra. Ia memberanikan diri untuk menelpon, meskipun tadi sudah memberi tolakan keras. Telepon diangkat oleh sang pemilik, tetapi tidak bersuara. Liza: Mas Indra. Cepetan jemput aku ke tempat tadi. Aku masih di sana. Indra: Oke. *** Mobil berwarna putih yang dikendarai Indra telah sampai. Liza segera memasuki kendaraan roda empat itu, ia memilih posisi di samping Indra. Indra terdiam dan tak segera membawa mobil itu berlari. Melihat tingkah cowok sampingnya membuat Liza geram. "Kamu kenapa sih, Mas? Ayo cepetan!" desak Liza. "Pintar sekali ya kamu mempermainkan saya! Kamu pikir saya mainan!" kata Indra dengan ekspresi dingin. "Emang siapa yang menganggap kamu mainan? Cari masalah aja ya!" cerocos Liza. "Tadi saya ditolak. Sekarang dicari." "Gimana sih? Mau nganterin atau gak? Kalau gak ya udah. Saya turun lagi," ujar Liza dengan sewot. "Silakan!" Dengan penuh emosi Liza langsung melarikan tangannya untuk membuka pintu mobil. Hal tak terduga dilakukan Indra, ia mulai menjalankan mobilnya. Sehingga Liza mengurungkan niatnya karena memikirkan keselamatan, bukan keegoisan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN