Bab 5 Posisi yang Tergantikan

1826 Kata
Dua minggu kemudian .... Menyandang usia setengah umur lebih membuat Pak Cipta sering tak berangkat ke kantor. Penyakit darah tinggi membuatnya tak mampu beraktivitas normal. Dua sisi yang dirasakan Indra. Angin segar berhembus kala Pak Cipta tak hadir, walaupun segudang pekerjaan beralih pada dirinya. Setidaknya tak mendapat omelan pedas dari pimpinan, sekaligus pemilik perusahaan. Namun, disisi lain ada kecemasan mendatangi diri Indra. Ia memikirkan generasi selanjutnya. Orang pengidap penyakit tak mungkin akan kembali normal seperti sedia kala, berhubung Pak Cipta sudah termakan usia. Liza membuka pintu ruangan Indra sambil mengucapkan, "Permisi ... " Indra yang tengah sibuk di depan layar komputer mengangkat wajahnya. Matanya menangkap sosok Liza yang berdiri diambang pintu dengan wajar ceria. "Masuk!" Indra kembali melanjutkan pekerjaannya. Liza duduk tepat di hadapan laki-laki itu. "Nggak usah sok baik. Kalau mau marah, marah aja!" cerocos Indra. "Ngapain sih, Mas? Kamu sensi kek gini!" "Balas aja, perlakuanku dua minggu yang lalu! Lakukan apa yang menjadi kepuasanmu?" kata Indra dingin, tanpa menatap wajah lawan bicaranya. "Ini orang lagi PMS apa ya?" gerutu Liza sambil menajamkan matanya ke arah Indra. "Diam bisa gak sih! Gue lagi sibuk, jangan ganggu kenapa?" kata Indra dengan nada agak tinggi. Liza menarik napas dalam-dalam. Ia menarik kesimpulan, kalau Indra sensi karena pekerjaan yang numpuk. Ia sangat memahami posisi itu. Pantas saja kedatangan Liza dikira mau balas dendam dengan mode baik, atas kelakuan Indra kepada Liza saat disuruh mengantarkan ke Gereja. "Oke. Aku luruskan atas tuduhanmu. Saya bukan type orang yang biasa larut dalam kemarahan," tandas Liza. Liza menganggkatkan kakinya untuk menjauhi orang yang sedang serius dalam dunianya. Ia menarik pintu untuk segera keluar dari cengkraman tuduhan. "Niat kamu ke sini sebenarnya apa sih?" tanya Indra agak songong. Liza mengurungkan niatnya untuk pergi, ia berjalan dan berhenti di belakang kursi bekas tempat duduknya tadi. "Kita dua minggu sudah gak ketemu. Kangen aja." Bukan type Indra kalau langsung terbawa perasaan. Dengan tegas ia berkata, "Sebegitu pentingnya ya! Boros waktu tahu, meluangkan waktu yang gak penting. Ya, gak penting bagi saya." Indra kembali terfokus pada pekerjaannya. Ia memang tak menyukai hal yang tidak penting saat bergelut dengan pekerjaan. Bercanda dan bekerja adalah suatu kesatuan berbeda menurut pandangannya, tak mungkin disatukan. Liza tak beranjak pergi, ia mematung sambil bersedekap. Matanya terus mengamati Indra yang sedang bekerja. Gadis itu masih berada dalam ruangan membuat Indra semakin geram. "Keluar sono! Apa perlu aku dorong biar kamu keluar?" "Aku di sini juga gak nganggu kamu, apa salahnya?" Liza membela dirinya sendiri. Indra mengangkat kakinya, tetapi bisikan dalam hati menjadikan ia kembali duduk. "Gak jadi dorong aku keluar, kenapa?" tantang Liza. Indra tak menjawab apa pun, ia melakukan semua itu karena ingat Liza adalah ponakan Pak Cipta. Ia tak ingin bermasalah dengan mereka. "Kok diam! Terpesona denganku ya!" goda Liza. Indra menggeleng-gelengkan kepalanya. Otaknya berpikir agar gadis itu tidak semakin jadi-menjadi. "Kamu kangen sama aku? Mau nemenin aku!" tanya Indra dengan ekspresi senang. Liza yang tadinya ceplas-ceplos tanpa punya rasa malu saat mengeluarkan kalimat apa pun, kini menutup mulutnya. Matanya mendelik, seolah tak percaya dengan ucapan dari Indra. "Kok malah diam! Aku udah memberi kesempatan sama kamu lho!" ujar Indra. "Asal kamu tahu ya, Mas! Aku ke sini atas utusan Pakde untuk membantumu. Kangen, nemenin kamu! Ogahlah," sungut Liza. "Ya sudah. Kalau mau bantu silakan! Tapi sama aja kamu nemenin aku kan!" "Eh. Jangan kepedean! Ingat ya! Loe itu cuman asisten Pakde, kamu gak bakal jadi apa-apa kalau bukan karena beliau," sembur Liza. Kalimat pedas dari Liza membuat Indra terdiam. Indra tak mengambil hati dari ucapan gadis itu karena ia sadar terhadap sikapnya terhadap sambutan kedatangan Liza. "Liza memang pandai membalas perlakuanku," gerutu Indra dalam hati. Laptop diberikan kepada Liza untuk mengerjakan tugas yang tertumpuk. "Bagus dong! Ada yang bantu, walapun pakai drama segala," batin Indra. Drama tak dibayar, tetapi menguras emosi dan tenaga. *** Indra memilih menghabiskan waktu di kantin saat istirahat. Ia membiarkan Liza berada di dalam ruangan seorang diri. "Enak ya sekarang ada temannya," sindir Vino. Indra tak peduli omongan Vino. Ia tetap meneruskan santapan siangnya. Merasa dicuekin Membuat Vino mencari kata lain untuk berkomunikasi dengan temannya. "Liza gak bahas tentang omonganku beberapa hari yang lalu kan!" Nasi dan lauk yang hampir sampai di mulut ditunda Indra. Pikirannya langsung tertuju pada kalimat yang diucapkan Liza saat berseteru. Ia mengulangi dengan bahasanya sendiri. "Dia bukan type orang yang biasa larut dalam kemarahan. Lupakan saja!" "Tapi dia masih ingat gak ya?" "Mungkin ingat. Cuman gak mempermasalahkan aja." Lega, tetapi belum benar-benar plong dirasakan Vino karena belum berjumpat empat mata denga Liza. *** Jam istirahat telah habis, Indra kembali memasuki ruangan. Gadis berambut sebahu itu tampak pulas dalam tidurnya. Suatu ketidak tegaan dirasakan Indra. Ia tahu betul, dari tadi Liza tidak keluar dari ruang kerjanya. Ia membiarkan gadis itu terlelap dalam tidurnya, sengaja tak membangunkan. Dirinya tetap melanjutkan pekerjaan yanh telah ditinggalkan karena istirahat. Setengah jam kemudian .... Pesanan jus jambu biji sudah datang. Mau tak mau Indra memberanikan diri untuk membangunkan Liza dengan membunyikan alarm. Alarm sampai sampai di telinga Liza terbangun dengan kesadaran dengan mulut menguap. Rambut sedikit berantakan. "Sono cuci muka!" Liza tanpa menjawab permintaan Indra, tetapi beraksi. Dengan sedikit geloyoran ia berjalan untuk membeningkan pandangan. Terlihat lebih fresh saat Liza kembali. Indra menyodorkan jus jambu kepada gadis itu. "Ini untuk aku!" "Kamu belum makan apa-apa kan saat istirahat?" Indra mengalihkan pembicaraan. "Mimpi kali! Mana ada orang tidur makan. Gue tanya apa? Jawabnya apa?" Liza tampak sewot. "Spesial buat kamu, Liza!" kata Indra dengan penuh keyakinan. "Gue gak kamu racun kan!" "Mau apa gak? Kalau gak gue minum aja! Emang aku pembunuh." Indra ingin mengambil cup berisi jus, tetapi dicegah Liza. "Dasar cewek. Banyak ngomong gak mutu," batin Indra. Kembali menatap layar tanpa peduli Liza menikmati jus jambu. Selang lima menit. Indra menatap cup jus jambu telah ludes. Membuatnya berkomentar. "Ternyata lapar juga ya!" "Kalau ngasih yang ikhlas dong!" "Gak matikan!" "Loe pengin gue mati! Kenapa tadi gak diracun sekalian?" "Gue kan udah bilang. Bukan pembunuh. Paham!" Indra mempertegas kalimat yang sudah diucapkan. "Jadi cowok jangan galak-galak napa? Ntar gak laku," tandas Liza. Indra dan Liza saling melempar kalimat untuk beradu mendapatkan kemenangan. Indra memilih mengalah agar tak semakin runyam. *** Perjalanan waktu memang tak bisa dipungkiri, tiga hari telah berlalu, Liza tak lagi mendatangi ruangan yang penuh dengan dokumen-dokumen penting. Satu keluhan yang dirasakan Indra, kewalahan. Untuk menetralkan otak yang penuh dengan tekanan pekerjaan membuat Indra istirahat sejenak. Beban berat dipikulnya saat Pak Indra mendapat ujian sakit, ditambah tak ada yang membantu, walaupun orang diluar sana memandangnya berada dalam kedudukan terhormat. Indra menyeruput kopi yang tak hangat lagi. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. "Bantuan Liza saat itu memang berarti buat gue. Ya, meringankan beban pekerjaan gue," batin Indra. Seketika Indra mengingat tingkah Liza saat bersamanya. Gadis itu terkadang nyebelin, tetapi membawa manfaat juga. Tersenyumlah Indra seorang diri. Entah apa yang sedang merasuki Indra. Ia tak melanjutkan pekerjaannya, tetapi meraih handphone. Story w******p Liza menarik perhatian Indra dan membuatnya mengetik sesuatu. Anda Sudah bosen bantuin aku ya? Emot ketawa. Liza Bantuin mah gak ada bosennya. Males aja bantuin kamu emot melet Anda Terus kalau gue pengin minta bantuan gak boleh dong! Liza Emot mikir Anda Terus kamu ke perusahaan kapan lagi? Liza Besok aku ke sana sama Pakde. Siap-siap ya! Kalau kena semprot. Anda Emot sedih "Bener-bener si Liza bawa-bawa nama Pak Cipta," gerutu Indra dalam hati. Tak mau mengambil pusing dengan kalimat yang diucapkan Liza membuat Indra kembali terfokus pada pekerjaannya. Ia tak menginginkan kalimat yang terucap dari Liza benar-benar terjadi. *** Telah datang hari berikutnya. Indra menyapa ruang kerjanya kembali. Saat ingin meletakkan tas, ia teringat kalau hari ini Pak Cipta dan Liza akan datang. Agak sedikit menolak, kalau pimpinannya akan datang, tentunya tak ingin mendapat omelan. Andai saja tak ada omelan, Indra pasti akan bahagia menyambut kedatangan atasannya itu. Tentunya membuat ringan dalam bekerja. Atas dasar alasan tak ingin mendapat omelan, Indra memutarkan otaknya untuk berusaha menolak kedatangan Pak Cipta. Dihubunginya atasannya dengan telepon. Indra berniat bicara secara basa-basi dan tidak menyinggung soal kedatangan Pak Cipta. Tetapi sindiran yang tertuju pada hal itu. Pak Cipta: Pagi, Indra! Ada apa ya? Indra: Pagi. Gak ada apa-apa, Pak. Cuman mau tahu kabar Bapak saja. Pak Cipta: Kesehatan saya sudah mulai membaik. Nanti saya ke kantor. Indra: Kalau belum benar-benar sehat, istirahat dulu aja, Pak. Insyaallah saya bisa menggantikan posisi njenengan. Pak Cipta: Tenang aja. Saya sudah sehat kok. Tak mungkin Indra menolak kehadiran Pak Cipta. Ia terdiam untuk berdamai dengan hatinya agar bisa menerima kejadian yang akan hadir di depan mata. Pak Cipta: Indra??? Indra: Suara saya gak dengar ya, Pak! Pak Cipta: Mungkin sinyal. Indra: Saya dengan senang hati menerima kehadiran Bapak. Sampai ketemu nanti ya, Pak! Indra langsung mematikan jaringan telepon. Harapannya memang tak berhasil, tetapi ia masih punya harapan lain agar Pak Cipta tak mengeluarkan emosinya saat mendatangi perusahaan. *** Liza Ehm. Sok-sokan menolak halus, biar Pakde gak datang kan! Anda Ngomong pakai otak, jangan pakai dengkul! Liza Biarin sudah terbiasa kesandung kok. Aku dengar kok. Kan tadi speaker-nya dihidupin Anda Apa alasan saya menolak kehadiran Pak Cipta? Liza Tauk. Gak usah basa-basi dach. Gue bukan anak yang suka ngadu. Anda Dewasa sekali kau emot jempol. Pesan w******p dari Indra langsung terbaca oleh Liza, tetapi gadis itu membiarkan saja. Tak ada balasan sama sekali. "Bagus dong! Udah puas dia ngajak ributnya," batin Indra. Indra tak mau waktunya tersita untuk hal yang tidak mengandung manfaat. Ia memilih untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat ditinggalkan selama semalam. *** Waktu yang digadang-gadang Pak Cipta dan Liza telah datang, walaupun tak menjadi rencana Indra sama sekali. Bahkan tak diketahui oleh karyawan lain. Liza dan Pak Cipta keluar dari mobil putih. Mereka mendapat sambutan sederhana karena tak terencana. Indra tak mau kalah dalam menyambut kedatangan Pak Cipta. Ia memberikan penghormatan sampai membawanya ke ruangan yang sudah beberapa hari tak terhuni. Itulah ruangan Pak Cipta, yang seorang pun tidak punya hak untuk memasukinya, kecuali cleaning service. Indra memasuki jika dalam hal penting dan mendesak saja. Obrolan ringan terjadi, walau hanya disaksikan beberapa orang saja. Setelah puas Pak Cipta mengajak ke ruang rapat. Suasana ruang rapat tak seperti di ruangan pribadi Pak Cipta. Ruangan itu di huni manusia sesuai kapasitasnya, tentunya lebih banyak dari ruangan sebelumnya. Tak ada seorang pun yang tahu mengapa mereka diajak berkumpul dalam ruangan yang biasa digunakan untuk berdebat. Semua menjadi misteri, cukup Pak Cipta yang tahu segalanya. Puncak pembicaraan telah datang. Pak Cipta menyecarkan berbagai rangkaian kata. Hingga pada kalimat yang paling mengena. "Saya sudah tua dan sering sakit-sakitan. Maka dari itu saya menyerahkan Elizabeth Natalia Susilo sebagai pimpinan perusahaan. Dan saya sebagai pemilik, hanya memantau dari jauh," ucap Pak Cipta dengan lantang. Spontan semua karyawan mengarahkan matanya kepada gadis cantik yang duduk di samping Pak Cipta. Liza memamerkan senyumnya dengan menyeluruh ke semua manusia yang memadati ruang rapat. Indra menyambut pergantian posisi dari Pak Cipta menuju Liza dengan eskpresi biasa-biasa saja. Baginya ponakan dan pakde sama saja karena masih satu garis keturunan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN