Bab 3 Kekhawatiran Vino

1522 Kata
Wajah Liza berbanding terbalik dengan indahnya langit. Sejenak Indra terdiam, ia mengingat perkataan gadis itu sebelum kedatangan Vino yang dadakan. "Kamu baik-baik saja kan, Liza! Kamu mau minta tolong apa?" tanya Indra dengan rasa penuh penasaran. "Ndra, aku juga butuh kamu!" kata Vino sebelum Liza menjawab. Indra melemparkan pandangan ke arah dua manusia secara bergantian. Bingung dirasakannya, bahkan ia tak bisa menentukan pilihan. "Indra, kamu dengarkan omonganku!" kata Vino sambil mendekatkan mukanya tepat di depan wajah Indra. "Iya, aku dengar. Tetapi mana yang akan kudahulukan, kamu atau Liza," kata Indra sambil melemparkan pandangan ke arah yang tidak bersangkutan dengan dua orang itu. Liza dari tadi memilih mengalah. Kini angkat bicara. "Jika kamu ingin bertindak adil, dahulukan yang meminta pertolongan pertama!" "Nggak bisa gitu dong! Siapa yang datang ke tempat ini bersama Indra? Itulah yang berhak," kata Vino dengan penuh kesombongan. Bukan semakin mendapat solusi, tetapi hal ini membuat Indra semakin bingung. "Indra, kamu pilih aku atau wanita yang baru datang ini!" tantang Vino. "Diam, Vin! Kalian semua penting bagi aku. Jangan nantang-nantang aku untuk memilih salah satu dong! Aku gak bisa milih," kata Indra dengan suara agak tinggi. Ia tidak mendapat penilaian miring dari orang-orang disekitarnya. "Oke. Pertemuan aku dan Vino ujung-ujungnya seperti ini. Andai saja aku bisa meminta, gak akan pernah berharap dipertemukan dengan laki-laki seperti kamu," tandas Liza. Liza sudah mulai berani menunjukkan keberaniannya. Bingung semakin bertambah. Indra memutarkan otaknya, agar semua baik-baik saja. Akhirnya solusi didapatkan Indra. "Oke. Sekarang kita bertiga saling menolong bareng-bareng." "Gak bisa." "Gak bisa." Liza dan Vino menjawab dengan kompak. Situasi aneh yang baru pertama kali didapatkan Indra. Dua orang yang menjawab dengan kompak saling memandang dengan menunjukkan sikap tak suka. "Kalian jawabnya kompak. Emang ada dendam apa sih di antara kalian?" tanya Indra dengan segudang penasaran. "Dendam?" kata Liza sambil melototkan matanya "Emang kita pernah ketemu? Jangan ngaco, Ndra!" imbuh Vino yang semakin sebal dengan temannya. "Jadi mereka belum saling mengenal. Kalau Liza ada hubungannya dengan Pak Cipta," batin Indra. Kesabaran Liza sudah habis, ia mengangkat kakinya dengan langkah panjang. Suatu ketidak tegaan muncul dalam hati Indra. Ia menyusul dengan berlari. "Liza, silakan katakan! Kamu mau minta tolong apa?" teriak Indra dengan ngos-ngosan. Liza menghentikan langkahnya. Tetapi Indra terus mendekat, hingga mereka saling berjejer. "Gak jadi, Mas. Urus saja temanmu itu!" "Kamu kenapa sih, Liz? Sudah kuputuskan bantu kamu duluan. Aku siap kalau Vino marah sama aku," ujar Indra. "Bagus, Ndra. Prioritas cewekmu dulu dan kamu anggap aku ini sampah." Vino tersenyum kecut di belakang tempat mereka berbicara. Saking jengkelnya membuat Indra ingin membongkar semuanya. "Vino, kamu tahu siapa Liza?" "Ayam kampus," jawab Vino tanpa rasa bersalah. "Dasar laki-laki edan." Dengan rasa marah Liza melepas sepatunya dan ingin melempar ke arah muka Vino, tetapi dicegah Indra. "Cukup! Kalian enggak malu apa dilihat orang?" Indra berusaha melerai pertikaian mereka. "Dia mah gak punya malu," ejek Vino. "Memang. Rasa maluku sudah hilang gara-gara kamu." Raut wajah merah semakin nampak dalam diri Liza. "Kalau tahu siapa Liza? Kamu pasti nyesel, Vin!" tukas Indra. Vino mulai menelaah omongan Indra. Ia tidak juga menemukan titik temu dari kalimat yang baru saja diucapkan temannya. Liza memandang ke arah Vino, lalu beralih ke Indra. Dalam hati ia berkata, "Apa hubungannya kejadian sama penyesalan?" Vino dan Liza membisu, emosi masih terpancar dari raut muka mereka. Indra mengajak otaknya bekerja untuk mencari cara memadamkan bara api yang sedang menyulut. "Oke. Sekarang kamu mau minta tolong apa, Vin, Liz? Aku pasti memolong kalian, tetapi gantian. Aku bukan orang yang bisa membelah diri," ujar Indra diiringi candaan. Vino merogoh saku celananya, lalu mengangkat benda kecil yang berharga. Sehingga Liza dan Indra menangkap benda itu. Tanpa basa-basi Liza langsung menangkap kunci itu. Lalu berjalan menjauh dari mereka. Dua laki-laki itu mengejar Liza. "Itu punyamu, Liz?" "Kalau gak punyaku kenapa tak ambil? Saya tadi minta bantuan untuk mencari kontak motor saya dan sudah ketemu. Ditemukan sama orang songong ini. Bye!" ujar Liza sambil menuju tempat parkir. Indra menatap Vino, lalu mengeluarkan napas sejenak. "Langsung intinya aja kenapa? Pakai main drama segala. Kamu tahu dia siapa? Liza ponakannya Pak Cipta. Ngerti!" "Pak Cipta bos kita? Serius!" "Gue itu sejak lulus SMK gak pernah pindah-pindah kerja sampai sekarang. Kalau gak percaya lihat saja besok." Penyesalan dialami Vino. Perkataan yang sudah keluar dari mulutnya tak akan pernah bisa ditarik. Bukan seperti pesan w******p yang bisa ditarik dalam kurun waktu tertentu. *** Satu hari memang waktu yang singkat bagi Indra, tetapi sangat bermakna. Ia selalu menghabiskan hari libur untuk menghibur diri dari penatnya pekerjaan. Suasana kerja mulai ia sapa, bercengkrama dengan rekan-rekan mulai dinikmati lagi. Kerukunan selalu menghiasi antara karyawan satu dan lainnya, walaupun kadang nyebelin. Jam istirahat mulai memanggil para karyawan. Indra tak kunjung menuju kantin, ia stay dalam kantor. Bekal dari ibunya menjadikan dirinya tak beranjak pergi. Indra tampak asyik dengan kesendiriannya ditemani rujak cingur. Setiap suapan terlihat nikmat. Sembari menikmati masakan sang Ibu, Indra memainkan handphone. Aplikasi pertama w******p menjadi tujuan pertama Indra. Puluhan pesan masuk, tetapi ia memprioritaskan pesan pribadi, bukan grup yang juragan spam. Vino [Ndra, kamu bisa ke kantin sekarang?] Anda [Ngapain? Gue udah makan, Bro.] Vino [Ya udah. Kalau mau sholat bilang aja ya! Kita ketemuan di mushola.] Anda [Penting apa?] Vino [Aku kan butuhin kamu saat penting aja emot tertawa tiga kali.] Pesan singkat dari Vino tidak read oleh Indra, tetapi ia bisa membaca pesan dari sahabatnya itu. Dalam hati ia berkata, "Memang dari dulu kamu gitu. Apa sih yang sebenarnya mau diomongin?" Indra tak mau memikirkan pesan dari Vino secara dalam. Ia melanjutkan kepentingan perutnya. Yah, pesan w******p dari Vino memang tak bisa membuat perut kenyang, yang ada malah bikin keroncongan. Lima menit kemudian .... Hanya kertas pembungkus rujak cingur yang tersisa, makanan telah dirampok oleh tangan Indra dengan penadah perut. Malas mengetik pesan, Indra menelpon Vino. Tak perlu menunggu lama, telepon itu langsung diangkat. Vino: Kamu sudah di mushola, Ndra? Indra: Otw. Ke sana. Tak mau banyak bicara, membuat Indra langsung menghentikan pembicaraan itu. *** Ibadah wajib telah dilakukan Indra dan Vino dengan berjamaah. Kaki Indra melangkah, seolah melupakan apa yang akan dibicarakan oleh Vino. Ia menghampiri sepatu miliknya, lalu memakainya. "Ndra .... " Vino mendekati Indra yang hendak mengangkat kakinya. Indra mengurungkan niatnya untuk melangkah dan kembali duduk. Ia hanya menoleh ke arah Vino yang membuat posisi duduk di sampingnya. "Sampai sekarang aku gak tenang, Ndra," sesal Vino. "Kenapa?" sahut Indra sambil menatap wajah Vino. "Kemarin." "Oh, pasti soal Liza ya!" ujar Indra sambil tersenyum. "Kok malah senyum! Kamu ngehina aku ya?" Vino menampakkan wajah cemas. "Enggak, Vin. Lain kali kalau ngomong jangan ngasal! Ini sebagai pembelajaran buat kamu. Paham!" Nasehat keluar dari mulut Indra secara spontan. "Iya. Aku akan belajar dari kejadian kemarin kok." Indra menepuk pundak Vino sembari tersenyum di hadapan muka yang mendung. Kakinya mulai melangkah meninggalkan Vino. "Tunggu, Ndra!" teriak Vino. Indra menghentikan langkahnya yang sudah mendapat tiga langkahan kaki. Ia memutarkan tubuhnya 180 derajat ke arah Vino. Sehingga mereka saling berhadap-hadapan. "Ndra, gimana kalau Liza ngadu ke Pak Cipta?" kata Vino tampak khawatir. "Jangan khawatir!" "Kok kamu ngomongnya santai kek gitu, Ndra! Gue khawatir banget." "Liza sudah dewasa, gak mungkin dikit-dikit lapor. Emang anak TK." "Kamu jangan candaan terus gini dong, Ndra!" "Emang kalimatku membuatmu tertawa?" Vino semakin sebel dengan jawaban Indra. Jawabannya santai, seolah tidak ada apa-apa. Padahal dirinya merasa sangat bersalah. Gadis berjilbab biru dari arah samping tersenyum saat menatap dua orang yang saling bercakap-cakap. Kakinya berjalan semakin mendekat ke arah Vino dan Indra. "Maaf, Mas! Nanti setelah jam istirahat sampeyan disuruh ke ruangan Pak Cipta!" Vino langsung gemetar, bukan karena jatuh cinta, tetapi takut menghadapi Pak Cipta. Namun, ia tak menunjukkan rasa takutnya dengan berlebihan. Mencoba biasa-biasa saja. "Jangan-jangan aku disuruh ketemu Pak Cipta mau disidang! Mati aku," batin Vino. Indra menangkap raut muka Vino yang tampak gelisah dan ketakutan. Sehingga tak mungkin untuk menanggapi Astri. "Oke, Mbak. Kalau boleh tahu disuruh ngapa ya!" "Saya tidak begitu paham. Tadi cuman minta Mas Indra ke ruangannya saja," terang Astri. Hati Vino mulai tenang. Tetapi untuk meyakinkan ia bertanya, "Saya tidakkan, Mbak." "Tadi yang diminta cuman Mas Indra doang," jawab Astri. "Alhamdulillah," ujar Vino dengan penuh kebahagiaan. "Kok seneng banget. Kenapa, Mas Vino?" tanya Astri sambil memicingkan mata. "Kan Pak Cipta kalau manggil pasti. Mbak tahu sendirilah," kata Vino dengan ngambang. Astri sangat paham dengan kalimat yang mau diucapkan Vino. Ya, kalau sudah mendengar disuruh menghadap ke Pak Cipta, bawaan para karyawan pasti kena omelan. "Ya, sudah. Saya cuman mau menyampaikan itu kok. Permisi!" pamit gadis bertubuh agak gemuk. *** "Permisi, Pak!" kata Indra saat memasuki ruangan Pak Cipta. "Silakan duduk!" ucap laki-laki dengan rambut beruban. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Indra langsung melaksanakan perintah Pak Cipta. Ada sedikit kecemasan, takut kena omelan manusia yang berpengaruh di perusahaan. Tetapi ada sedikit ketenangan karena dirinya merasa tidak melakukan kesalahan. "Kamu tahu! Kenapa saya mengundang saya ke sini?" tanya Pak Cipta sambil memainkan bolpoinnya. Indra menggeleng. "Pak Adi sudah tidak bekerja di sini lagi .... " Indra memotong pembicaraan Pak Cipta " ... Apa hubungannya dengan saya?" "Belajar sopan bisa gak? Arek sak iki gini ya?" sindir Pak Cipta. Indra hanya terdiam karena merasa bersalah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN