Bab 17 Kekesalan Vino

1070 Kata
Liza tidak ingin larut dalam kesedihan. Cukup sehari absen dari kantor. Banyak pertanyaan mendatangi dirinya. Semua dijawabnya dengan santai seolah semua baik-baik saja. Raut muka yang ditampakkan meyakinkan tanpa mengundang tanya. Selalu mengumbar senyum selalu ditampakkan Liza pada seluruh karyawan. Berpapasan dengan Astri membuat Liza tidak hanya sekedar senyum, tetapi sapaan dilontarkan. “Baru berangkat, Mbak Astri?” Astri yang tengah berburu-buru menuju mesin finger menjawab perkataan Liza dengan singkat sembari diiringi senyum. “Iya, Bu Bos.” Area perusahaan dikelilingi Liza disaat matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Liza menyaksikan wira-wira para karyawan yang baru datang. Gadis itu sadar aksinya menjadi sorotan bagi seorang satpam yang tengah bertugas. Ia tidak tanggung-tanggung mengarahkan kakinya ke kendang satpam. Sapaan belum sempat dilontarkan Liza, tetapi satpam itu terlebih dahulu menyapa, “Pagi, Mbak Liza!” “Pagi, Pak,” jawab Liza dengan sesingkat-singkatnya. “Tumben sampeyan datang lebih awal di kantor dan keliling.” Pak Satpam mengomentari kegiatan yang dilakukan Liza. “Sekalian olahraga. Bukankah olahraga di pagi hari sangat menyehatkan!” “Betul banget, Mbak. Sepertinya kemarin saya tidak melihat sampeyan!” “Saya kemarin memang tidak berangkat, Pak. Ada tugas yang harus diselesaikan. Tapi, saya sudah memberitahu Mas Indra kok,” jelas Liza tanpa menyebut kejadian yang tengah menimpanya kemarin. Satpam itu hanya menganggukkan kepala. Liza kembali meneruskan jalan kakinya sesuai misi yang ada diotaknya. Sebuah tempat parkir mempertemukan dirinya dengan Vino. Vino yang tengah bertatapan dengan Liza langsung memberikan tuduhan. “Bu Liza baru ngecek kemarin kerjanya pada bener apa gak ya?” Seorang Liza merasa diperlakukan tidak sopan oleh Vino, langsung menyodorkan pertanyaan bukan menyapa. “Dan kamu kerjanya gak bener.” “Maksudnya?” Vino tidak paham maksud perkataan Liza. “Iya. Saya sudah menyaksikan secara langsung,” kata Liza dengan tegas. Vino membuka memory kemarin, ia memutarkan otaknya untuk mencari kesalahan yang telah diperbuat. Tetapi otaknya buntu, seperti tidak menemukan kesalahan. “Coba jelaskan, Bu! Saya benar-benar tidak paham.” “Kamu bukan anak kecil lagi. Seharusnya kamu bisa berpikir lebih luas.” Pikiran Vino langsung terfokus pada peristiwa kemarin saat diajak Indra menuju rumah Liza. “Oh, itu. Saya hanya diajak Indra, Bu. Kalau disitu letak kesalahanku, Maaf!” “Kita bicara tentang hari ini bukan kemarin. Belajar sopan santun lagi ya!” pinta Liza dengan bijak. Liza melangkahkan kaki meninggalkan Vino. Ia tidak peduli laki-laki itu mau paham atau tidak. Yang terpenting bagi Liza sudah menyampaikan kebenaran. *** Dalam ruang kerja pikiran Vino masih berkelana memikirkan kesalahan yang dimaksud Liza. File absen telah terbuka, tetapi Vino mendiamkan saja pikirannya beralih pada kalimat yang diucapkan Liza. Mendadak telepon kantor berdering membuatnya geragapan. Vino: Hallo! Indra: Bisa kirim file absen ke saya sekarang. Dari awal sampai akhir bulan ini. Vino geragapan dengan permintaan Indra tetapi berusaha professional. Vino: Siap, Pak. Kalau boleh tahu untuk apa? Indra: Ini urusan Liza dan saya. Yang jelas demi kebaikan perusahaan ini. Vino: Baiklah. Sambungan telepon telah terputus. Vino berusaha konsentrasi melaksanakan perintah asisten Liza. Pikiran yang sempat mengusik hati dan pikiran dengan sekuat tenaga disingkirkan terlebih dahulu. Semua permintaan Indra telah usai tanpa kendala. Ruang kerja Indra didatangi Vino. Kedatangan itu membuat sahabatnya menggelengkan kepala. “Saya gak minta kamu datang ke sini, Bro!” “Kamu!” “Kalau ada orang ngomong didengerin baik-baik ya! Aku tadi minta apa?” tanya Indra untuk mengetes pendengaran dan pemahaman Vino. “Ngirim file absen.” “Terus kamu ke sini mau ngapa?” tanya Indra dengan geram. Vino langsung menyodorkan kertas absen kepada Indra. Indra menerima sembari menggeleng diiring tersenyum. “Besok lagi kalau orang ngomong diperhatikan baik-baik ya! Saya minta kirim bukan ngasih file.” Mengalami sedikit kesulitan dalam menelaah kalimat membuat Vino mengalami kesalahan. Berkata tanpa menguras otak untuk berpikir cara terbaik untuk berbicara dengan laki-laki itu. “Oke, gak papa. Kamu bisa keluar sekarang!” Indra menghargai kerja keras seseorang meskipun tidak sesuai dengan harapannya. *** Kemarahan dilontarkan Vino saat berada di kantin bersama Astri. Laki-laki itu tidak peduli orang sekitarnya mendengar kalimat yang diucapkan. “Hari yang sangat s**l,” kata Vino sambil meletakkan handphone di atas meja dengan kasar. “Kenapa?” tanya Astri dengan penasaran. “Liza dan Indra memang sejoli.” Astri yang tengah menyeruput air minum mendadak menghentikannya. Untung saja tidak keselek. “Maksud kamu?” “Gimana gak sejoli. Pemikiran mereka itu sama.” Laki-laki meja sebelah ikut nimbrung, “Kalau gak sejoli, si Indra sudah diganti orang lain. Toh sekarang baik-baik saja.” “Mereka itu cocok. Mbak Liza sama Mas Indra jodoh kali ya!” Ibu kantin yang tengah mengantarkan makanan tiba-tiba ikut nimbrung. Astri seolah terbakar dengan perkataan dua orang itu. Gadis itu ingin segera meninggalkan kantin, tetapi ia ingat perutnya yang dari pagi belum terisi makanan berat. Ditengah-tengah kekesalan Astri, Vino masih saja mengungkapkan isi hatinya. “Masa iya si Liza suruh aku belajar sopan santun lagi. Emang aku kurang sopan apa? Lagi-lagi Indra minta ngirim file, udah tak kasih print-printan, eh salah lagi. Tapi mending Indra sih, ngasih tahu letak kesalahanku. Liza mah sok sibuk.” Astri terdiam sambil menggigit jarinya. Ekspresi gadis itu membuat Vino menggeleng, Astri tidak seperti biasa menampakkan raut wajah seperti itu. Kantin yang terdengar ramai mendadak menjadi sepi. “Kalian kayak lihat dedemit aja mematung, diam dan jangan-jangan ngompol!” Vino berbahak-bahak untuk melepaskan isi hatinya yang tengah kesal dengan Indra dan Liza. “Bisa jadi.” Indra bergabung di meja yang diduduki Vino dan Astri. “Aku dengar semuanya kok,” lanjutnya. “Bodo amatlah, Ndra. Kamu memang bikin aku gedek dari dulu, tapi tetep terbaik.” Vino memberikan akuan. “Aku gak masalah kamu omongin diluar. Tapi gak tahu dengan Liza, memang benar kamu disuruh belajar sopan santun lagi,” kata Indra dengan serius. Kedatangan Indra seolah membuat Vino terpojokkan. Apalagi sahabatnya lebih membela Liza daripada dirinya. “Sudah sepantasnya kamu bela Liza karena dia yang sangat berarti dalam hidupmu. Sedangkan aku tidak ada artinya apa-apa buat kamu. Legalkan jadi pacarmu aja si Liza daripada saling mengagumi tanpa status.” Suara lantang dan penuh emosi keluar dari mulut Vino. “Daripada kamu ngomong gak jelas gini. Lebih baik kukatakan sebenar-benarnya. Liza sudah cerita kejadianmu dan dia. Ingat ya! kamu saat bertemu dengannya apa yang kamu ucapkan! Seharusnya kata sapaan, bukan kalimat tuduhan yang belum tentu kebenarannya.” Kalimat yang diucapkan Indra membuat Vino kembali mengingat kejadian tadi pagi saat berjumpa dengan Liza. Ya, ia baru sadar kalau ucapannya berujung berkepanjangan sampai detik ini. “Baiklah kalau memang kesalahanku disitu. Tolong sampaikan maafku padanya! Kalau dia bersedia, mungkin saya akan bertemu langsung dengannya. Tapi kenapa pakai kata berbelit-belit untuk menegurku?” Vino masih saja menyalahkan. “Karena Liza ingin mengajakmu berpikir. Mungkin pikiranmu belum bisa memecahkan, membuat diriku berada di posisi saat ini.” Vino tidak menyangka, Indra masih mempedulikan dirinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN