Bab 16 Musibah Kebakaran

1029 Kata
Mobil dihentikan Indra sesuai instruksi g-map. Tetapi, seolah tidak ada sinyal untuk memastikan kebenaran tentang kabar kebakaran. Semua bagaikan pembohongan. Rumah Liza tampak sepi, gadis itu seperti main sandiwara dengan Indra. Mobil telah berhenti, tetapi Indra tidak kunjung keluar membuat Vino bertanya, "Kita sudah sampai kah?" "Kalau sesuai g-map di sini titiknya," ujar Indra sambil menatap Vino. "Serius!" Vino seolah tidak percaya. Indra tidak mau dianggap pembohong membuat dirinya menuruni mobil. Wanita paruh baya yang tengah momong anak dijadikan tempat bertanya oleh Indra. "Permisi, Bu!" "Ada apa, Cak?" jawab Ibu itu dengan ramah. Vino yang mendekam dalam mobil mendadak keluar, usia Indra bercakap-cakap dengan Ibu itu. "Ibu kenal dengan Mbak Liza, katanya daerah sini rumahnya," tanya Indra dengan sopan. "Oalah. Ini temannya ya? Mau jenguk Mbak Liza yang kena musibah tah?" Pernyataan dari Ibu itu meyakinkan dua pemuda, bahwa Liza tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. "Nggih, Bu. Rumahnya bagian mana, ya?" Vino ikut nimbrung dalam pembicaraan. "Itu. Yang cat warna putih depannya ada pohon mangga," kata sang Ibu sambil menunjukkan rumah yang dimaksud. "Terima kasih, Bu," kata Indra dan Vino kompak. Benar saja rumah dugaan Indra sepi. Rumah Liza sudah terlewati, walaupun hanya selisih satu rumah. Mereka membiarkan mobil terparkir di pinggir jalan. Jalan kaki menjadi alternatif mereka untuk mendatangi rumah atasannya. Kaki mereka tepat berada di depan rumah Liza. Ingatan Indra masih tajam. Ya, mobil yang terparkir milik Pak Cipta. Hati Indra terasa sedikit lega. "Permisi!" kata Indra saat berada di depan pintu. Jawaban tidak kunjung hadir membuat Indra ingin menebras masuk tanpa izin. Suara celotehan manusia berhasil membuat kuping mereka seolah tersumpal. Indra mulai menginjakkan kaki di ambang pintu ruang tamu, tetapi Vino mencegah dengan memegang tangan sahabatnya itu. Ulah Vino membuat Indra menatap tajamnya. "Mas Indra, Mas Vino!" sapa Liza saat mereka saling bergandengan. Mereka membungkukkan badan sebagai penghormatan terhadap Liza dalam keadaan masih bergandengan. Indra tidak mau gandengan tangan di antara mereka menjadi salah arti. Indra melepaskan tangan Vino sambil menampakkan rasa jijik. "Kalian gak usah di depan pintu. Yuk masuk!" pinta Liza. Permintaan Liza diikuti dua pemuda yang notabene sebagai bawahannya. Ruang tamu yang terbilang sederhana, tidak sesuai pemikiran Indra. Ia sama sekali tidak mendapatkan Pak Cipta, hanya segelintir orang tidak dikenal. Liza mengambil posisi duduk di kursi yang bermuatan satu orang sembari menunjukkan kursi untuk dua laki-laki itu. "Silakan duduk, Mas!" Berangkat bersama membuat Indra dan Vino ditakdirkan duduk dalam satu kursi kayu dengan hiasan ukiran jepara. "Urusan ini sudah selesai. Sekarang kami mohon undur diri!" kata bapak-bapak berbaju polisi. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Liza menyalami tiga orang laki-laki. Laki-laki yang berperawakan bapak-bapak itu ikut menyalami Indra dan Vino. Mereka menghilang usai menebras pintu. Liza mengantarkan mereka sampai ambang pintu. Kembali ke tempat duduk semula dilakukan Liza. "Makasih ya? Sebenarnya aku gak papa kok." "Tapi kami mengkhawatirkanmu, Liza," ucap Indra dengan spontan. "Serius, aku gak papa. Aku bersyukur banget bisa terhindar dari musibah ini. Nyawa lebih penting dari harta." Liza memotivasi dirinya sendiri. Ucapan Liza memang benar. Setiap kalimat yang diucapkan gadis itu sangat berkelas. Sudah sepantasnya Indra mengagumi pimpinannya, walau kadang bagaikan tom and jerry. Indra kembali teringat mobil yang terparkir di halaman. Ia menganggap ini waktu tertepat untuk bertanya karena sosok Pak Cipta tidak kunjung muncul di hadapannya. "Pak Cipta mana?" "Pakde gak ke sini," jawab Liza. "Bukannya tadi mobil Pak Cipta tadi ada di sini." Vino angkat bicara. Liza tidak kunjung menjawab, tetapi malah berjalan menuju kaca yang tertutup gorden. Ia membuka gorden. Pemandangan alam terlihat indah lewat kaca tembus pandang. "Kamu masih melihat mobilnya?" tanya Liza sambil berpose ala model. Indra dan Vino saling melemparkan pandangan. Lalu kembali memandang ke arah alam yang sejuk sembari menggeleng dengan kompak. Liza memberikan penjelasan. "Dulu memang mobil pakdeku. Tapi sudah dibeli sama bapak itu." "Jadi Pak Cipta gak ke sini?" Indra memperjelas. Kembali menempati tempat duduk semula dilakukan Liza. Gadis itu memancarkan senyum manis. "Jangan katakan peristiwa ini kepada Pakde! Aku gak mau berbagi kesedihan. Mereka sudah tua, cukup mendengar hal baik dariku saja." "Tapikan .... " Liza langsung memotong perkataan Vino. " ... aku tidak mengajari kalian tentang hal buruk, tolong penuhi permintaanku! Ini juga tidak merugikan orang lain." "Aku mengerti, Liz." Indra sangat memahami maksud Liza. Ia juga tahu kalau Pak Cipta gampang sakit-sakitan, itulah salah satu alasan Liza untuk menyembunyikan kejadian ini dari pakdenya berdasarkan pemikiran seorang asisten. "Satu lagi permintaanku. Jangan katakan kejadian ini pada karyawan di perusahaan kita! Cukup kalian berdua saja yang tahu. Kamu tahu alasannya, mulut mereka tidak bisa dijaga. Kalau tersebar ke karyawan bisa-bisa sampai ke Pakde. Aku hanya mau semua dalam keadaan baik-baik saja," ujar Liza panjang kali lebar. Otak Vino yang lola akhirnya paham dengan maksud Liza. "Otakku kayaknya butuh nutrisi. Kenapa sih gak ngomong langsung ke poin dua, pakai poin satu segala? Kan poin dua nyambung sama poin satu." "Biar otakmu mumet." Indra serius mendadak melempar candaan. "Yang mumet itu kepala bukan otakku. Jancuk." Liza menyaksikan Indra dan Vino saling lempar mulut. Baginya kedatangan dua manusia ini sebagai penghibur. "Maaf malah jadi bercanda! Btw, kok bisa mobilmu kebakar itu gimana?" Indra menanyakan masalah utama yang belum sempat ditanyakan. Dengan tegar Liza bercerita. Sebuah kejadian tidak terduga mendatangi mobilnya yang tengah terparkir di pinggir jalan. Bocah asyik bermain petasan, ledakan mendadak mendatangi mobilnya dengan keberuntungan ia tidak berada dalam kendaraan itu. "Dua bapak-bapak dengan berpakaian kaos tadi yang satu saksi kejadian, sedangkan satunya bapak si bocah." Liza memberikan tambahan penjelasan. Indra dan Vino paham dengan kronologi yang terjadi. Indra tidak lupa memberikan pujian. "Kamu itu luar biasa cerdas, mandiri, bijaksana, cantik, pokoknya the best lah." "Bisa aja." Liza tersipu malu dengan pujian yang diberikan Indra padanya. "Kamu itu bisa saja tinggal di rumah pakdemu. Mereka pasti menganggap kamu sebagai ratu. Semua serba ada rumah mewah, mobil mewah. Apa sih yang gak?" Vino berkata sesuai fakta. "Mereka sudah memintaku berkali-kali untuk tinggal di sana. Kalau aku tinggal di sana, apakah aku bisa mandiri? Tentu saja tidak karena semua serba tersedia." Liza memberikan alasan tepat. Liza selalu memikirkan tentang hidupnya yang akan datang. Andai saja orang berpikir masa kini, tanpa memikirkan masa depan. Semua kesempatan dan tawaran kenikmatan pasti diambil semurka-murkanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN