Bab 18 Kebersamaan yang Tidak Direncanakan

1104 Kata
Waktu telah dihabiskan Indra di perusahaan membuatnya ingin segera menyambut hangatnya pelukan rumah. Langkah kaki mulai meninggalkan ruang kerja. Sinar lampu menghiasi setiap sudut perusahaan, entah dalam atau luar ruangan. Andai saja aliran listrik tidak sampai, semua terlihat seperti pemandangan seorang yang tengah memejamkan mata. Parkiran membuat Indra menghentikan langkah kaki. Tubuhnya mematung, mulut membisu seolah melihat pemandangan tidak biasa. Apalagi sinar lampu temaram membuat suasana menjadi mistis. Pundak Indra merasa ditepuk, ia tidak berani menoleh ke belakang. Bulu kuduknya spontan berdiri sambil mengeluarkan suara, "Astaghfirullah." "Kamu kenapa, Mas?" Suara Liza membuat Indra merasa lebih tenang. Seolah sinyal mengatakan belakang dirinya bukanlah dedemit. Keberaniannya menoleh ke belakang dilakukan Indra. Indra berusaha agar terlihat tenang. "Kok kamu ada di sini?" "Kamu lihat apa? Kok kayak orang ketakutan." Liza balik bertanya. "Mungkin kamu salah lihat." "Kalau aku salah lihat gak mungkin nyamperin kamu," ujar Liza. Indra tidak mungkin membuat kebohongan lagi. Liza sudah jelas-jelas menangkap ekspresinya tadi. Liza paham dengan sikap Indra yang merahasiakan penglihatannya. Mulutnya langsung terbuka dan mengatakan, "Kalau kamu gak mau cerita gak papa kok. Sampeyan khawatir kalau aku takut?" "Bukan sosok Liza, jika penakut. Di rumah dengan seorang diri aja berani." Indra memberanikan opini. Mata Liza tertuju pada jam tangan yang dipakai. "Sudah hampir jam delapan malam. Sepertinya perutmu belum terisi." Memang perut Indra terisi terakhir saat makan siang, selain air putih. Ia hanya terdiam sembari menatap ke arah tanah yang ditumbuhi rumput hias. "Kamu mau makan juga?" tanya Indra. "Makan sih pasti," jawab Liza sambil melayangkan pandangan ke arah pintu gerbang perusahaan. "Oke. Aku traktir." Kalimat yang baru saja diucapkan Indra membuat Liza tersenyum. "Kalau gitu aku mau request." Pikiran Indra langsung tertuju pada makanan dengan harga mahal dengan tempat yang terkenal branded. Mendadak batinnya langsung berkata, 'Kalau semisal minta makanan mahal gak masalah, sekali-kali ajalah.' "Ya udah. Kamu minta makan di mana?" tanya Indra yang masih mengkhawatirkan kantong. "Lagi pengin sate madura pinggir jalan itu," kata Liza sambil menunjuk penjual sate dengan atap terpal. Dugaan Indra salah, ternyata sesederhana itu permintaan Liza. "Boleh. Kita ke sana yuk!" Indra yang hendak pulang mengurungkan niatnya. Semua terjadi gara-gara pemandangan yang mengerikan dari alam sebelah. Hingga kedatangan Liza yang membuat hatinya menjadi lebih tenang. Dua manusia itu berjalan dengan langkah bersamaan. Sate madura sesuai request Liza sudah terkabulkan. Hiruk-pikuk kendaraan menambah kenikmatan santapan sate. "O, ya. Aku sudah menjelaskan ke Vino," kata Indra pada intinya. Liza tidak perlu bertanya secara detail. Ia sudah tahu maksud dan arah pembicaraan Indra. "Terus Vino gimana?" "Dia paham. Tapi seperti itulah." "Kaya gak tahu Vino aja. Kamu kan sudah mengenal Vino lebih dulu daripada aku." Indra tertawa kecil. "Iya juga sih." Tidak terasa makanan mereka telah habis. Tetapi dua manusia itu masih enggan untuk meninggalkan tempat yang dirasa nyaman. "Makasih ya, Mas!" Liza menghargai Indra yang telah menraktir dirinya. Indra tersenyum. "Saya sudah berkali-kali mendapatkan traktiran dari Ibu dan .... " Liza memotong perkataan Indra. " ... sudah menjadi kewajiban saya untuk memberikan yang terbaik untuk semua karyawan." Kalimat yang diucapkan Liza seolah s*****a yang mengarah ke Indra. Membuat Indra tidak bisa melawan karena keterbatasan yang dimiliki. Ingin tahu lebih detail tentang kehidupan Liza menggerogoti pikiran Indra. Dengan keberanian ia bertanya, "Kamu tinggal di rumah sendirian gak takut?" "Buat apa takut, kan ada Tuhan yang selalu jaga. Lagian orang juga pada tahu kalau aku bukan orang yang berduwit kayak Pakde." "Mana ada orang gak berduwit bisa beli rumah." Indra seolah tidak percaya. "Aku di situ hanya ngontrak, Mas. Andai saja pengin gratis dan fasilitas apa pun tersedia aku bisa, tapi itu bukan Liza," ujar Liza sambil mengamati lalu-lalang kendaraan. Mendadak hati Indra bergejolak. Ia merasa tidak pantas duduk bersama gadis berkelas. "Balik yuk!" Liza mengangguk. Perusahaan yang tengah sepi kembali didatangi mereka. Langkah kecil mereka membuat percakapan ringan kembali terjadi. "Kamu gak takut kalau semisal ada maling atau kejahatan lainnya?" tanya Indra masih seputar kehidupan Liza. Liza semakin heran dengan sikap Indra yang lebih perhatian dengan dirinya. Terlebih pertanyaan dari Indra tidak hanya seputar pekerjaan, tetapi telah masuk dalam kehidupan pribadinya. "Liza!" Indra memanggil Liza yang tengah terdiam saat ditanya. Dengan geragapan Liza berkata, "Ehm, enggak. Kan itu rumah pilihan orang tuaku. Yang punya teman mamaku. Rumah itu sengaja dikontrakkan dan keluarga mereka tinggal disebelah kanan yang kutempati. Jadi mereka bisa mengawasiku." "Ohh. Tumben kamu jawabnya lama banget. Kamu kenapa?" Indra penasaran dengan tingkah Liza yang tidak seperti biasanya. Dengan pandai Liza memberikan alasan, walau tidak sesuai dengan fakta. "Bintang di langit terlalu indah untuk dipandang." Bagi Indra alasan yang diberikan Liza mulai tidak masuk akal. Ia tidak mau mengulas lebih dalam, andai saja diulas secara dalam akan ada seribu alasan yang muncul. "Kamu dari awal memang sudah di situ apa di rumah pakdemu dulu?" Kalimat tanya mulai dilontarkan Indra lagi. "Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Surabaya sampai sekarang," jelas Liza. Indra hanya menunjukkan anggukannya. Mereka masih berjalan dengan langkah kecil-kecil. Obrolan mereka terhenti membuat suasana menjadi sunyi. Penyesalan terjadi pada Indra. Dalam hati ia berkata, 'Indra, kamu kenapa tanya masalah pribadi Liza?' "Sejak kapan kamu menjadi lebih perhatian denganku?" tanya Liza yang merasa diperhatikan. "Sejak kamu jadi penggantinya Pak Cipta," jawab Indra dengan spontan. Liza mengingat-ingat saat awal-awal bekerja dengannya. "Bukankah kita sering bertengkar ya waktu itu!" "Bertengkar salah satu bentuk kepedulian." Memory Liza tiba-tiba mengingatkan saat Indra menyodorkan jus jambu padanya. "Bisa aja." 'Astaghfirullah . Kenapa aku jadi terperangkap dengan perkataan Liza? Kenapa mulutku begitu mudah mengucapkan kata-kata sok-sokan?' batin Indra. Mata Indra langsung terbelalak saat jam tangan digitalnya menunjukkan pukul sepuluh malam. Kebersamaannya dengan Liza membuat dirinya lupa waktu. "Ayo kita pulang!" ajak Indra sambil berjalan cepat menuju parkiran. Liza mengikuti Indra dengan berlari. Suara sepatu membuat Indra menoleh ke arah belakang. Ia menghentikan jalannya sambil menggeleng. "Kamu gak pulang," tanya Indra. "Lebih baik aku di sini daripada pulang. Ini sudah terlalu malam untukku pulang. Lagian ada Pak Satpam dan bagian CS yang bekerja. Aku cuman mau ngucapin hati-hati di jalan." "Tapi di sini cowok semua, Liza. Kamu harus pulang!" pinta Indra dengan tegas. "Aku mau pulang pakai apa? Mobil perusahaan. Enggak aku banget." "Kamu itu cewek. Begitu berharganya dirimu. Aku salah. Sekarang aku antar kamu pulang," kata Indra dengan serius. "Apa kata tetangga nantinya?" Liza balik bertanya. "Aku bisa saja memesankan kamu taxi atau mempersilakan kamu di sini, tapi kalau ada apa-apa jangan salahkan aku!" kata Indra diiringi ancaman. Liza tampak cuek dengan kalimat yang diucapkan Indra. Ia membiarkan asistennya mengambil motor. Usai berpikir panjang Liza berteriak, "Oke aku mau!" Gadis itu mendekat ke arah Indra. Kini dua insan manusia tidak lagi berdebat. Motor mengajak mereka melaju menuju tempat tujuan yang telah direncanakan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN