Bab 15 Ketidakhadiran Liza

1046 Kata
Sebuah pertemuan yang tidak pernah dihindari oleh Indra, selalu bertemu Liza setiap hari. Perusahaan membuat mereka bersatu, begitulah skenario dari Tuhan. Gadis yang suka wira-wiri belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Kefokusan Indra tidak beralih, ia tetap terfokus pada pekerjaannya. Jam pada layar komputer terkadang menyita perhatian Indra. Liza belum kunjung mendatangi dirinya, walau sekedar bertanya masalah pekerjaan. 'Apa apa ya? Jam segini belum datang juga. Padahal sebentar lagi jam istirahat. Semoga tidak ada apa-apa. Astaga kenapa aku malah mikirin dia. Eh, apa salahnya? Wajarkan aku memikirkan pimpinanku,' batin Indra berusaha membuat pikirannya positif. Waktu begitu cepat, tidak terasa jam istirahat telah datang. Kaki Indra bergegas menuju tempat parkir, ia seolah menomor sekian kan urusan perut. Tempat parkir tidak menampakkan mobil yang biasa dipakai Indra. Ia tidak mau langsung menghubungi Liza, tetapi menelesik lewat karyawan lainnya terlebih dahulu. Indra mematung di antara puluhan mobil milik perusahaan. Ketidaksengajaan terjadi, mata Indra menangkap sosok office boy yang biasa keluar masuk ruang kerja Liza. Berlari untuk mengejar laki-laki itu dilakukan Indra. "Mas Topik!" Panggil Indra dengan suara lantang. Laki-laki yang disebut Topik itupun menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah sumber suara. "Ada apa, Mas Indra?" "Liza ada di kantor gak hari ini?" tanya Indra. "Saya tadi sudah masuk ke kantor Bu Bos. Tapi orangnya gak ada dan sampai sekarang juga belum ketemu beliau," tutur Topik. "Oke. Makasih, Mas." Topik kembali meneruskan jalannya. Indra mencari ide lain untuk mengetahui apa yang terjadi pada Liza. Pikirannya langsung maju, ruang satpam menjadi jalan pintasnya. Kandang satpam pun didekati Indra, terlihat satu orang yang tengah bertugas. Satpam itulah yang akan dijadikan sumber pertanyaan bagi Indra. "Permisi, Pak!" Satpam yang tengah terduduk sambil menikmati seduhan kopi itu beralih pada sosok Indra. "Ada apa, Mas?" "Bapak lihat mobil Bu Liza tidak ya?" Indra bertanya to the point. "Saya dari tadi belum lihat Mbak Liza." Satpam berusia paruh baya itu memberikan akuan. Indra mengangguk. Dua orang ditanyai tidak ada yang tahu membuat Indra akan menelpon sebagai jalan pintas. "Ya sudah, Pak. Nanti biar saya yang menghubungi." ujar Indra sambil melangkahkan kaki untuk menjauh dari kandang satpam. Dengan keberanian Indra mengambil handphone dari kantong celana. Ia menghubungi kontak Liza. Ia berharap mendapat jawaban. Kontak terhubung dan diangkat, tetapi tidak ada suara membuat Indra langsung ngegas. Indra: Hallo! Liza: Hallo, Mas. Suara terdengar sampai telinga Indra, tetapi seperti orang dalam kondisi susah. Indra: Kamu nangis? Apa yang terjadi? Liza: Aku baik-baik aja kok. Mobilku terbakar. Indra: Kamu sekarang di mana? Liza: Di rumah. Indra langsung mematikan sambungan telepon. Kakinya berjalan menuju kantin. Matanya langsung tertuju pada Vino dan Astri yang tengah asyik makan. Ia melangkahkan kaki hingga berada di meja dua orang itu. Astri menyambut hangat kedatangan Indra. "Alhamdulillah. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang." Indra tidak merespon kalimat yang diucapkan Astri. Pikirannya hanya ingin mengetahui keadaan Liza. "Duduk sini, Ndra!" pinta Vino. "Cepet habisin makannya. Kalau perlu gak usah dihabiskan, Vin!" desak Indra. "Loh emang kenapa?" Vino yang hendak minum diurungkannya. "Darurat. Ini masalah kerjaan. Menyangkut nyawa," ujar Indra dengan tegas dan lantang. Vino kaget dengan perkataan Indra. Indra yang berkata serius seolah membuat Vino tidak percaya. Tetapi, sebagai teman terbaik Indra ia berusaha mempercayai perkataan itu. "Oke. Gak aku habisin." Indra langsung mengeret Vino dengan satu tangan. Astri protes karena tidak diajak. "Aku gak diajak!" "Urusan laki. Kalau kamu mau mati ya terserah!" ucap Indra dengan menakut-nakuti. Astri berdiri dengan muka cemberut diiringi hentakan kaki. Gadis itu sudah berpikir Indra akan ikut makan siang bersamanya, tetapi semua tidak sesuai ekspektasi. *** Mobil perusahaan yang tidak terpakai digunakan Indra untuk pergi bersama Vino. Indra tidak peduli, jika Liza marah karena menggunakan aset perusahaan tanpa sepengetahuannya. Vino membonceng Indra tanpa mengetahui maksud dan tujuannya. "Sek tah?" "Kamu manut aku aja!" Indra terlihat tidak mau diganggu. "Bukan masalah itu, Ndra. Kamu ini mau ngajak aku kemana? Kamu tadi ini masalah nyawa. Lah kalau sampeyan ngajak aku bunuh diri, aku yo gak mau." Vino memberikan penalaran yang logis. "Kita ke rumah Liza," jawab Indra dengan dingin. Vino tahu kalau Indra hanya menuruti keegoisan dirinya sendiri membuatnya menuangkan pertanyaan. "Sampeyan tahu rumah Bu Bos?" Indra meminggirkan mobil dan mengerem dengan dadakan. Ia menepuk jidatnya, dalam dirinya mengakui keputusan yang diambil berdasarkan kegoisan. "Sampeyan niat nyopir gak sih? Kalau gak jangan gitu dong. Kamu bawa nyawa orang. Bener-bener mau ngajak bunuh diri," ucap Vino dengan nada tinggi dan penekanan. "Oke. Aku salah. Aku butuh waktu untuk mengembalikan pikirannya agar kembali jernih. Tolong pahami itu!" pinta Indra. Vino terdiam. Ia duduk dengan santai di samping Indra. Sambil menikmati pemandangan alam. Sekali-sekali, cuci mata melihat hiruk-pikuk kendaraan. Indra memainkan handphone untuk mengetahui posisi Liza. Pesan singkat menjadi andalan bagi Indra. Anda Bisa kirim g-map rumah kamu, Liz? Liza Mengirim lokasi g-map Anda Oke. Aku ke sana. Indra kembali mengemudikan mobil dengan ketulusan. Ia mengikuti jalan yang ditunjukkan gmap. Cara mengemudi Indra terlihat anteng membuat Vino bertanya, "Udah tahu rumah Liza." Indra tersenyum sambil melirik ke arah Vino. "Barusan aku tanya. Dan dia mengirim g-map." Walau Vino sudah mengetahui tujuannya, tetapi Indra masih merahasiakan maksud dari perlakuan ini. Vino menggaruk-garukkan kepalanya. Tingkah Vino ditangkap Indra. "Kamu punya kutu?" tanya Indra meledek. "Iya kutunya sampai mumet karena gak mengetahui maksudnya diajak pergi, walaupun tahu tujuannya." Vino menganggapi ledekan Indra. Indra sadar dengan sindiran yang diciptakan Vino. Hal ini membuat Indra berkata jujur. "Mobil Liza kebakar." "Innalillahi ... " Ekspresi kaget ditunjukkan Vino. "Sampeyan gak ngomong dari tadi, kalau ngomong dari awal aku gak mungkin berpikir aneh-aneh," imbuhnya. "Aku gak ngomong pas di kantin tadi? Bisa-bisa heboh. Kamu tahu sendirikan! Seperti apa Liza?" tandas Indra. Vino mengangguk. "Bener juga ya." Kekepoan Vino belum habis. Indra tidak bercerita secara tuntas, jika kalimat tanya tidak disodorkan. "Terus Bu Bos gimana?" tanya Vino sebagai ungkapan kepedulian. "Katanya baik-baik saja. Tapi aku dengar suaranya, dia kayak habis nangis. Makanya aku ngajak sampeyan ke sana untuk memastikan kondisinya," terang Indra sesuai akuan Liza. "Kadang orang bilang baik-baik saja. Padahal hanya ingin menyembunyikan kesedihannya di hadapan orang lain." Vino menanggapi kalimat yang diucapkan Indra. Jalan ke arah rumah Liza ditunjukkan g-map sekitar dua menit lagi. Lega dirasakan Indra, andai saja dirinya tidak mengajak Vino ia tidak tahu akan lari ke mana. Pikiran yang sempat buntu telah dibantu Vino untuk membukanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN