Bab 7 Kekompakan

1231 Kata
Deringan alarm memaksa Indra harus terbangun karena ingat dengan tanggungan beratnya. Rasa kantuk masih menyergap membuat Indra berjalan dengan sempoyongan. Tak seperti orang kaya yang memiliki kamar mandi dalam kamar membuat Indra keluar. Brukkk .... Meja ruang tengah ditabraknya. Mata yang tadinya merem mendadak melek karena kejadian tak diharapkan. Posisi duduk di atas lantai sambil memegang dengkul dilakukan Indra. Peristiwa ini ditangkap oleh Wasni dari dapur yang tengah memasak. "Dengkul dijadikan mata ya jadinya gitu," ujar Wasni seolah menyalahkan anaknya. Indra tak menanggapi kalimat yang diucapkan sang Ibu, tetapi batinnya berkata, "Ibu gak ngerasain apa yang kurasakan, jadi bisa aja ngomong seperti itu." Kecurigaan mulai muncul dari Wasni setelah Indra tak menanggapi kalimat yang diucapkan. Dari arah dapur wanita hampir setengah abad itu menatap wajah anaknya dan merasa tak tega, membuat hatinya tergerak untuk mendatangi Indra. Kaki Wasni melangkah dan mendekati Indra. Ia membungkukkan tubuh sembari berkata, "Lain kali kalau jalan sambil melek." "Kamu gak papa kan?" lanjut Wasni. "Gak papa, Bu. Kaget aja," balas Indra. Hati telah tenang membuat Indra terbangun dari jatuhnya. Ia bergegas menuju kamar mandi karena waktu telah menunjukkan pukul setengah enam, tetapi belum menjalankan ibadah dua rakaat. *** Tepat berusia satu minggu Liza menggantikan posisi Pak Cipta. Hari-hari dilaluinya bersama Indra dan karyawan lainnya, tentu tak lepas dari konflik dan perselisilah pendapat. Selalu ada pemecah masalah setiap perselisihan berdatangan. Warung makan luar area perusahaan menjadi tongkrongan para karyawan saat jenuh dengan menu makanan kantin, termasuk Vino dan Indra. Dua manusia itu menikmati sate klopo. Kebosanan dengan menu makan biasa-biasa saja membuat mereka berlari ke makanan khas. Disela-sela menikmati hidangan Vino membuka mulut untuk mengeluarkan suara. "Itukan si Liza suka gak fulltime di kantor. Emang kamu bisa memposisikan!" "Dia masih kuliah, Vin." Vino meneguk minuman lalu berkata, "Gue juga ngerti, Ndra." "Terus maksudmu apa?" tanya Indra sambil menatap wajah Vino. "Ya. Maksudku bisa seproduktif Pak Cipta kah?" Indra tersenyum mendengar pertanyaan Vino. "Keren dia." "Indra muji Liza! Apa benar dia lebih produktif? Atau jangan-jangan Indra tertarik dengan Liza. Sehingga memuji bukan karena pekerjaan," batin Vino. Indra kembali mengisi perut dan menganggap pertanyaan Vino tidak penting. Saat ia memasukkan makanan ke dalam mulut, matanya mendadak berlari dan menangkap Liza. Gadis itu berjalan menuju tempatnya duduk bersama Vino. "Bapak-bapak ada di sini ternyata," sapa Liza. "Kok Bapak .... " Vino mendadak kaget dengan sapaan Liza. "Bagaimana Pak Indra?" Liza melemparkan pertanyaan ke Indra yang belum menjawab sapaannya. Indra tersenyum. "Biarin aja! Vino gak mau jadi Bapak, dia gak mau nikah kali." Liza mengeluarkan tawanya. Vino semakin gak paham. Ingatan Vino kembali tergugah dengan kejadian waktu itu, perseteruan di Monumen Bambu Runcing. Takut dibahas membuat sahabat Indra itu ingin mengangkat kakinya jauh-jauh. "Boleh gabung bareng kalian?" pinta Liza. "Silakan!" Indra mempersilakan gadis itu duduk. "Terima kasih," kata Liza sambil mengubah panggilan posisinya dari berdiri menjadi duduk. Vino terlihat gelisah dengan mempercepat memasukkan makanan ke dalam mulut. Ia tak ingin berlama-lama duduk di antar dua manusia yang memiliki jabatan diatasnya. Indra melihat tingkah Vino jadi bengong. Liza tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah ada yang lucu. Vino bagaikan tontonan bagi mereka berdua. Makanan telah tertelan habis oleh Vino, tak ada sisa sedikit pun. Waktu Vino murka dengan kenikmatan perut, tiga manusia satu meja tak ada yang menorehkan kata-kata. "Aku duluan ya?" pamit Vino. Indra dan Liza saling melemparkan pandangan. Sehingga empat bola mata saling menatap, Indra pun mengangkat bahunya. Vino berdiri, tangan Liza memengang lengan pemuda itu pertanda mencegah. "Kenapa keburu-buru sih, Mas?" "Pekerjaan numpuk belum selesai." Vino memberikan alasan. "Kamu lupa aku siapa?" "Aduh, gimana ini? Ketahuan dech," batin Vino. "Sekarang loe duduk lagi. Aku pengin ngobrol bertiga," pinta Liza. "Aku gak mau jadi obat nyamuk," kata Vino dengan spontan. "Maksudmu apa, Vin? Aku benar-benar gak paham dengan omonganmu!" tanya Indra dengan serius. "Masak orang pacaran diganggu!" kata Vino sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Liza. "Pacaran!" "Pacaran!" "Tuhkan buktinya kompak." kata Vino dengan gelegak tawanya. "Lepasin aku dong!" lanjutnya. "Ya, gak bisa dong! Gue mau ngobrol bertiga. Kalau loe gak mau ya tetep gue borgol," paksa Liza. Vino tetep kekeh mau pergi, tetapi kekuatan tangan Liza tak bisa dikalahkan. Mainan baru bagi Liza, bisa ngerjain bawahannya. Indra tak tega melihat sahabatnya tersiksa. "Dia itu takut kalau ketemu kamu, Liz." "Lho! Emang aku hantu? Penjahat? Begal? Atau apa?" Liza menanggapi perkataan Indra dengan sigap. "Siapa yang takut? Kalau takut gue lihat wajah Liza langsung pergi dong," kata Vino dengan nada tinggi. "Iya takut. Masih ingat Monumen Bambu Runcing?" jelas Indra. Liza memutarkan otaknya tuk menemukan peristiwa yang pernah terjadi waktu itu. Ingatannya masih tajam, ia menemukan kejadian yang dimaksud Indra. Tentunya pertemuan pertama dengan Vino. Vino semakin cemas kala Indra membongkar isi hatinya. Liza tersenyum kecut, Indra pasrah dan siap menerima konsekuensi atas perilakunya terhadap gadis berblazzer hitam. "Duduklah, Pak Vino!" pinta Liza dengan lembut. Vino memenuhi permintaan Liza. "Makananku udah habis." "Pintar sekali kau bersilat lidah," balas Indra. "Cukup," tegas Liza sambil mengangkat kedua tangannya. Satu-persatu laki-laki itu ditatap Liza. "Saya gak mau punya karyawan pembohong seperti kamu, Vino!" teriak Liza. "Siapa yang bohong?" bantah Vino. "Sekarang katakan sebenarnya? Apa benar kamu memakai alasan blablabla karena takut sama aku! Atas peristiwa yang dikatakan Indra tadi." "Ini apa-apaan sih? Liza kamu cekoki apa, Ndra?" "Kamu bisa mikir gak sih? Aku dari tadi di sini sama kamu! Kalaupun aku mencekoki seseorang, pasti dirimu, Vin." Indra tak mau kalah. "Milih jujur atau saya pecat?" tanda Liza sambil menunjukkan tangan ke arah Vino. Vino menghela napas sejenak. Matanya melirik Indra yang dianggap biangkerok semua peristiwa ini. "Jika aku memikirkan keegoisan, pasti dipecat. Tetapi, kalau jujur, sungguh diriku sangat malu sekali," batin Vino. Dengan singkat otaknya diajak bekerja keras untuk menemukan solusi bagi dirinya sendiri. Keegoisan dikorbankan dan memilih jujur menjadi jalan utama Vino. "Aku sangat malu dengan diriku. Kenapa peristiwa waktu itu harus terjadi?" kata Vino mengakui kesalahannya. "Pikirkan baik-baik sebelum berkata. Camkan itu dalam kehidupanmu!" pinta Liza. "Tetapi, Bu Liza mau memaafkan aku kan? Atau malah mau menghukumnya?" "Jawab pertanyaanku iya atau tidak bisakan? Jawab gitu aja ribet. Gak usah banyak ngomong!" kata Liza dengan ngegas. Kalimat yang diucapkan Liza membuat Vino tertampar dengan keberanian dan siap menerima konsekuensi ia berkata, "I ... iya. Saya siap mengecamkan nasehat dari sampeyan." "Oke. Lain kali jangan diulangi lagi! Jadinya malukan! Lupakan yang sudah berlalu! Aku gak mau mengungkit masalah itu," tandas Liza. "Benerkan kataku kemarin, Vin." Indra yang dari tadi memilih membungkam angkat suara juga. Konflik antara Vino dan Liza telah dingin. Vino merasa lega, apa yang menghantui pikirannya tidak terjadi. "Kalian boleh kok ngobrol bebas sama aku," ujar Liza sambil menguraikan senyumnya. "Kalau tanya masalah pacar boleh gak, Bu?" canda Indra. "Apaan sih? Kalau di luar area atau hal yang terkait pekerjaan panggil saja Liza. Gak usah pakai Bu segala. Aku masih seadik kalian kali." "Jadi boleh dong panggil, sayang," kata Indra penuh candaan. Liza tertawa dengan terpingkal-pingkal. "Gue ini jadi atasan kalian karena Pakde gak punya anak. Jadi dilimpahin sama ponakannya," terang Liza. "Senang sekali bisa kenal sama sampeyan. Semoga sifat pakdemu yang kurang baik gak nular!" Indra mengeluarkan isi hatinya. "Bisa aja." Liza tersenyum sambil mengibaskan rambut lurusnya. Gadis itu terlihat semakin cantik bersama senyumnya yang mengembang. Indra merasakan hari pertama bersama Liza penuh dengan keceriaan, yang hari-hari sebelumnya tak pernah didapatkan dalam diri ponakan Pak Cipta. Waktu telah dihabiskan mereka bertiga untuk saling berinteraksi, meskipun ada konflik ringan yang terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN