Bab 6 Panggilan Bu

1106 Kata
Ruang rapat mulai sepi. Kini hanya terhuni tiga orang, Liza, Indra, dan Pak Cipta. "Kalian berdua yang akan menjadikan perusahaan ini tetap berjalan dengan baik. Jangan sampai omset kita merosot! Syukur-syukur menjadi lebih baik," pinta Pak Cipta sambil melemparkan pandangan merata kedua anak muda. Indra mengangguk. "Akan saya jaga permintaan Bapak. Tetapi, semua itu kembali kepada Bu Liza." Liza mengerutkan dahinya. Ia tak menyangka Indra akan memanggilnya dengan sebutan Bu. "Bagaimana Bu Liza?" ucap Indra karena kalimatnya belum dijawab. "Pakde gak perlu khawatir. Doakan Liza supaya bisa menjadikan perusahaan tour ini berkembang dengan pesat." Pak Cipta menepuk pundak ponakannya sembari tersenyum, lalu melangkahkan kaki keluar. Indra ingin menyusul laki-laki tua itu tetapi dicegah Liza dengan menarik lengannya. Kini sosok Pak Cipta tak lagi ditangkap oleh mata. Tangan Liza masih memegang lengan Indra. Indra menoleh ke arah Liza. "Ehm .... " Bahasa isyarat yang keluar dari Indra membuat Liza melepaskannya. "Kenapa sih pakai manggil bu segala?" kata Liza sambil menunjukkan muka masam. "Mana mungkin saya memanggil kamu dengan sebutan Liza, sedangkan kamu atasanku di sini." Indra memberikan alasan. "Tapi .... " Indra memotong perkataan Liza " ... Sssttt." Ketika Liza ingin berbicara, tiba-tiba Indra memberikan isyarat mengacungkan tangannya di depan mulut gadis itu. "Biarkan aku memanggil bu, ketika dalam hal pekerjaan. Diluar itu terserah saya mau manggil dirimu Liza, Dik, atau lainnya." Kalimat yang diucapkan Indra membuat Liza pasrah. Ia tak bisa mengelak apa pun, kecuali manut atas panggilan itu. *** Sejarah terukir pada hari ini, tentunya akan dikenang sepanjang masa. Gadis dengan rambut bergerai memulai aktivitas barunya. Tanggungjawab berat mulai diemban. Ditambah sibuknya dunia perkuliahan yanv ditempuhnya. Pertama duduk di kursi jabatan tertinggi dalam perusahaan tidak membuat Liza minder karena dalam pantauan Pak Cipta. Tak mau terjadi banyak kesalahpahaman, ia mengadakan rapat terbuka untuk para jabatan yang berpengaruh. Ditengah-tengah pembicaraan, Liza mengeluarkan kata-katanya yang bijak. "Tolong ingatkan saya jika salah! Dan hal ini berlaku untuk semuanya. Jadi tegurlah siapa yang salah." Indra tak menyangka gadis yang suka berselisih dengannya dapat mengeluarkan kata-katanya sebijak itu. Semua anggota rapat diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya, tanpa kecuali. Entah berupa kritik ataupun saran dengan harapan bisa menjadikan perusahaan menjadi lebih baik kedepannya. Sebagai seorang Asisten Liza, Indra berhak mengeluarkan pendapat, meskipun diberi kesempatan terakhir. "Simpel saja kalau saya. Saya berharap Bu Liza yang masih berusia 20 tahun bisa menjadikan perusahaan lebih baik." Liza tersenyum saat Indra menyampaikan pendapatnya. Dalam hati ia berkata, "Itu mah tujuan utama. Gak usah disampaikan kali." *** Memasuki ruangan Indra tanpa permisi dilakukan Liza. Pemuda itu tak memperhatikan kondisi sekitar karena pekerjaan yang menyibukkan dirinya. Kedatangan Liza pun tak diketahui, apalagi disambut. Dengan penuh kesabaran Liza menunggu Indra dengan berdiri di depan meja pemuda itu. Ia tak ingin membuyarkan konsentrasi seseorang, apalagi otaknya sedang bekerja keras. Perlahan-lahan Indra mengangkat kepalanya. Saat matanya menemukan sosok Liza bukannya malah menyapa, tetapi merasakan kaget. Dalam hati Indra bertanya-tanya, "Ini manusia apa dedemit? Tiba-tiba datang." Mata dikedipkan Indra dan sosok itu benar-benar nyata. Melihat tingkah aneh partner kerjanya Membuat Liza tertawa. "Haaa ... Hahhhhaaa ... Hhhhaaaahhhaaa .... " Tawa gadis itu sangat puas, membuat Indra semakin penasaran. Kaki diangkatnya, posisi duduk kini digantikan dengan berdiri. Matanya menatap ke arah kaki Liza. Jawaban telah ditemukan. "Kamu kesurupan ya?" tanya Indra sambil menempelkan tangan di atas dahi Liza. Dengan sigap Liza menangkap tangan Indra yang mengetes suhu tubuhnya. "Gue waras, Bro." "Syukurlah." "Bisa gak sih sehari gak buat masalah!" "Kan yang mulai kamu." "Emang aku mulai ngapa?" "Siapa suruh datang kayak setan?" "Emang loe pernah lihat setan!" Liza tak mau kalah dari asistennya. "Terus kenapa pakai ketawa-ketawa segala? Emang ada yang lucu!" balas Indra. "Justru karena lucu, jadi aku ketawa." Liza memang lebih muda dari Indra, wajar saja gadis itu tak mau ngalah. Ia memang ingin berada dalam posisi menang. Indra tidak mau perdebatan tak masuk akal terus-terusan mendatanginya. Bukan menjadikan pekerjaan kelar, tetapi makin lama selesai. Memilih mengalah dilakukannya daripada celotehan tak jelas terjadi. "Kamu datang ke sini mau ngapa?" tanya Indra pada intinya. "Bukan saya yang nyuruh, gak usah ngelak! Aku hanya orang yang distir Pakde," jelas Liza sambil memberikan map yang berisi kertas. Indra membuka map dengan beberapa lembar kertas. Dibacanya sekilas lalu berkata, "Oke." Semua sudah beres membuat Liza pergi tanpa permisi. Sesuai dengan awal kedatangannya. *** "Gimana, Ndra? Lebih enakan sama Pak Cipta atau Liza!" tanya Vino sambil menikmati jajanan di pinggir jalan usai kerja. "Liza dong," timpa Dipta. "Gorengannya enak." Indra mengalihkan pembicaraan. Fakta mengatakan kalau Indra mendengar perkataan dua temannya, tetapi ia sengaja dialihkan karena dirasa tak penting. Dipta dan Vino saling berpandangan. Dipta mengangkat kedua alis diangkat, Vino langsung melemparkan pandangan ke arah Indra. "Baru sehari bekerja sama Liza belum kelihatan ya wataknya?" Vino mencari cara lain untuk mengajak Indra berbicara tentang Liza. Indra menghentikan kunyahan gorengan yang dimakan. "Gue mah udah tahu watak beliau." "Oh, iya. Kamu kan kenal Liza dulu sebelum diangkat jadi penggantinya Pak Cipta," kata Vino sambil menepukkan jidatnya. "Gimana udah pernah ketemu empat mata sama Liza?" "Ya Allah, Ndra. Belum," jawab Vino dengan lirih. "Emang kenapa harus ketemu empat mata?" Kekepoan Dipta mulai terlihat. "Gak papa. Yuk lanjut makan gorengan!" ujar Vino yang masalahnya tak mau diketahui oleh orang lain, kecuali pihak terkait. Dipta tak mau ikut campur urusan Vino dan Liza. Ia memilih diam karena Vino tak bercerita. *** Kasur tak membuat Indra terlelap dalam tidurnya, tetapi mata semakin bening untuk mengedarkan pandangannya. Walaupun tengah malam sudah menyapa. Mata terpejam, tetapi otak berlari kesana-kemari membuat pikiran Indra sampai pada obrolan usai kerja bersama dua temannya. "Kenapa mereka tanya tentang Liza?" batin Indra. Penasaran Indra semakin besar membuat dirinya mengangkat tubuhnya dari pembaringan. Tangan bergerak meraih handphone yang terletak di meja samping ranjang. Tangan bergerak dengan cepat untuk mengirim pesan w******p sebagai obat atas rasa yang dialaminya. Anda Ternyata kamu masih online Vino Gue udah tidur dari jam 22.00 ditambah emot menutup mulut Anda Terus kenapa kamu bangun Vino Gue belum isya'. Kenapa loe masih online juga? Tahajud? Anda Mana bisa? Wong belum tidur kok tahajud Vino ??? Anda Liza Indra tak sengaja mengetik Liza dengan spontan. Kesadarannya langsung tergugah saat pesan sudah terkirim dan dibaca Vino. Ia menarik pesan itu. Vino Percuma. Kamu tarik aku sudah baca. Pesan ditarik artinya. Gue paham sekarang. Anda Paham apaan? Wong belum selesai menyampaikan kok paham. Aku tuh mau bertanya. Vino Gue mau tidur. Bye Indra geram dengan sikap Vino. Kemarahan ingin dilampiaskan lewat telepon, tetapi percuma handphone dimatikan. Ia terpaksa menunda pertanyaan yang menggerogoti otaknya. Tentunya besok di perusahaan. Mata tajam yang masih ingin bermain dengan pemandangan kamar terlempar ke arah jam dinding. Pukul 01.12 WIB membuat Indra harus memaksa mata dan tubuhnya untuk istirahat. Pekerjaan yang telah menanti, mendorong dirinya memejamkan mata. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN