Bab 8 Kebersamaan Liza dan Indra

1099 Kata
Waktu begitu cepat berlalu, tiga bulan sudah Indra dan Liza terlibat dalam satu lingkup yang sama. Perselisihan kadang terjadi, tetapi semua dapat terpecahkan dengan baik. Ketepatan waktu menjadikan Indra memberanikan diri untuk bertanya masalah pribadi, meskipun masih dalam lingkup pekerjaan. "Boleh bicara sebentar, Bu!" pinta Indra saat Liza hendak keluar dari ruangan asistennya. "Bukannya tadi sudah saya jelaskan! Kamu harus mengerjakan blablabla dan jawabanmu, ya. Apanya yang masih kurang jelas?" kata Liza tampak sebal. "Bukan masalah itu." Liza memutarkan tubuhnya 180 derajat. "Terus?" "Ya. Masih ada kaitannya dengan pekerjaan. Cuman beda topik aja." "Oke." Liza berjalan dan berhenti tepat di depan meja Indra dengan berdiri. Tiba-tiba saja Liza tertawa dengan geli. Aneh dirasakan Indra dan membuatnya mencuatkan pertanyaan, "Kenapa? Ada yang aneh." Liza hanya menggelengkan kepala. Ia berusaha menahan tawanya, tetapi tak bisa. Sehingga membuat Indra semakin penasaran, padahal menurut dirinya tak ada yang lucu sama sekali. "Apa yang lucu?" Berusaha menahan tawa dilakukan Liza dan berhasil juga. "Kamu gak ngatain aku kesurupan?" Indra tersenyum kecut. "Rupanya kau mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu." "Aku akan selalu mengingat setiap moment yang pernah kita lewati." "Maksudmu?" Indra mengerutkan dahinya. "Iya. Aku akan mengingat semua peristiwa yang gak biasa-biasa saja," jelas Liza. Indra menganggukkan kepala. "Sekarang kamu mau ngomong apa?" tanya Liza. Indra menghela napas agak panjang. "Kalau kamu berkenan, bolehkah saya tanya hal pribadi terkait perusahaan?" "Tentu saja boleh. Kalau tentang perusahaan karena kitakan satu keluarga," tegas Liza. "Lebih indah lagi satu keluarga dalam rumah tangga," kata Indra spontan. Liza tak menyangka kalau asistennya berkata seperti itu. Ia tampak kaget dengan membuka mulutnya. Melihat reaksi gadis itu, Indra tak mau perkataannya berkepanjangan. "Canda aja, Bu. Biar gak spaneng." Indra berkata sambil menguraikan senyumnya. "Oh ... " "Ini saya ngikutin sampeyan atau gimana?" "Ngikut apa?" kata Liza sambil membelalakan matanya. "Saya berdiri atau duduk!" "Maaf, aku duduk saja. Gak usah berdiri, Pak." Liza merubah posisinya yang tadi berdiri menjadi duduk. Mereka saling berhadap-hadapan. "Maaf kalau saya terkesan mengadili! Itu sama sekali bukan niatan saya!" "Sudahlah. Ngomong aja gak usah basa-basi dech! Mau tanya apa?" Liza sudah tak sabar mendengar dan tentunya akan menjawab pertanyaan Indra. "Oke. Apakah Ibu tidak ada niatan posisi saya digantikan orang lain?" "Buat apa kamu bertanya seperti itu?" "Sayakan asistennya Pak Cipta dan sekarang beralih ke sampeyan. Saya ini kan pilihan Pak Cipta." "Kamu ini warisan." "Saya gak paham maksudmu!" Liza mulai memperjelas perkataannya yang singkat. "Warisan Pakde. Mau gak mau saya harus nerima." Indra menganggukkan kepalanya. "Berarti kamu kepaksa!" "Ini mau cari masalah atau gimana sih?" jawab Liza dengan kesal. "Bukan gitu maksudku. Aku ingin memastikan aja, jawablah pertanyaanku! Biar hatiku tenang." "Kalau aku gak sepahaman denganmu, ya saya bakal minta ganti orang lain," tegas Liza. "Terus kenapa kita kadang berselisih?" "Pikirlah secara logis, Pak Indra. Ibarat orang dalam rumah tangga aja gak selalu mulus lho! Konflik pasti ada." "Berarti kamu gak kepaksakan!" "Bisa tarik kesimpulan sendiri dech. Gak perlu dijelasin." "Terima kasih penjelasannya." Handphone Liza berdering, membuat dirinya meninggalkan Indra. *** Jam kepulangan karyawan sudah di datang. Indra bergegas beberes. Kakinya bergerak dengan cepat menuju pintu. Sungguh kaget dirinya saat keluar dari ruangan, Liza berdiri di depan pintu. "Kamu kenapa di sini?" tanya Indra sambil menengok ke kanan-kiri. "Nunggu kamu." "Kenapa saya ditunggu?" tanya Indra yang tampak dingin. "Aku sudah luangkan waktu untuk kamu tadi. Jadi sekarang gantian, luangkanlah waktumu untukku sebentar saja!" pinta Liza dengan manis. "Harus balas-balasan gitu ya!" "Saya ini siapa kamu?" Liza mengeluarkan senjatanya agar bawahannya tak menolak keinginannya. Indra tak bisa berkutik apa-apa kalau gadis itu mengeluarkan kata-kata yang seolah sebagai penguasa. Memang penguasa dalam ranah kecil. "Ya sudah. Kamu mau ngapa sih?" "Cuman ngobrol bentar kok." "Di depan pintu!" Liza menggeleng. "Kita makan di luar gimana?" Perut Indra memang sudah protes. Tawaran yang sangat menguntungkan. Tetapi, Indra tak langsung mengiyakan ataupun menidakkan. Ia hanya terdiam dan menampakkan ekspresi biasa-biasa saja. "Ini kontaknya." Liza menyerahkan kontak mobil kepada Indra. Indra menerima kontak yang diberikan Liza tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Liza berjalan untuk menghampiri mobil di parkiran, Indra mengekori gadis itu, bak pengawal. Indra sangat apal betul dengan mobil yang biasa dikendarai Liza. Sehingga tak membuatnya banyak bertanya. Ia langsung mendekati kendaraan roda empat warna putih, lalu disusul Liza yang sempat tertinggal karena menanggapi sapaan karyawan lainnya. "Kita mau ke mana?" tanya Indra saat Liza memasuki mobil. "Nasi pecel mau gak?" "Aku mah ngikut Bu Bos aja." Liza melirik ke arah Indra sembari tersenyum. "Terserah mau di rumah makan mana yang penting ada menu nasi pecel." Indra langsung melajukan kendaraan untuk menuju tempat tujuan. *** Mobil yang dikendarai Indra dan Liza berhenti di seberang jalan, tepatnya di rumah makan yang menjual menu nasi pecel. Mereka memasuki area rumah makan dan memesannya. Sembari menunggu pesanan Indra dan Liza ngobrol ringan. Ditengah-tengah obrolan yang terjadi, Indra menatap jam yang menghiasi tangannya yang menunjukkan pukul 17.00 WIB. "Aku sholat dulu ya!" "Lho kamu belum sholat! Kenapa gak ngomong dari tadi? Kan bisa tak suruh sholat dulu sebelum ke sini," ucap Liza penuh toleransi. Indra tersenyum sembari mengalihkan posisinya dari duduk menjadi berdiri. "Sono cepatan entar keburu maghrib. Aku tunggu di sini!" ujar Liza. Indra segera meninggalkan atasannya yang sudah seperti teman ketika di luar jam kerja. Selang lima menit, Indra mendatangi tempat yang tadi ditinggalkannya. Pesanannya sudah tersaji, tinggal menyantap saja. "Sudah selesai!" tanya Liza sambil menyeruput minuman dalam gelas. "Sudah. Kita makan kapan?" tanya Indra yang sudah ngiler lihat hidangan. "Besok," canda Liza sambil menyantap nasi pecel. Indra tak mau kalah dengan atasannya. Ia juga memasukkan makanan ke dalam mulut, agar perutnya tak protes lagi. Disela-sela makan mereka hanya ngobrol seperlunya saja. Memilih diam adalah pilihan ketika sedang menikmati hidangan. Usai makanan terhabiskan mereka kembali berkomunikasi lewat obrolan face to face. "Sebenarnya aku mengajak kamu ke sini untuk melanjutkan obrolan tadi pagi, Mas," jelas Liza. "Saya rasa sudah selesai." "Iya kamu selesai. Tapi bagiku belum," tandas Liza. "Emang apa yang akan kamu omongin, Liza?" "Aku ini masih dalam pengawasan Pakde. Jadi gak bisa seenaknya buat peraturan sendiri. Kalau beliau tidak mengizinkan aku gak bisa berkutik apa-apa," jelas Liza. "Terus kamu gak mencari asisten baru karena gak diizinkan Pak Cipta gitukah? Kalau gak nyaman silakan ganti! Aku gak keberatan," balas Indra. "Jangan salah sangka dulu dong! Asal kamu tahu! Aku sudah terlalu nyaman denganmu, jadi gak mungkin saya akan menggantikannya." "Syukurlah kalau begitu. Kalau suatu saat gak nyaman dengan saya, silakan ganti saja! Jangan dipaksa!" "Jangan kau ulangi kata itu lagi, Mas!" Indra sendiri lebih merasa nyaman dengan Liza daripada Pak Cipta. Entah pengaruh apa? Yang ada dalam pikirannya terbersit karena sama-sama anak muda. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN