Bab 19 Tidak Secerah Penampakan Langit

1115 Kata
Tidak ada kata libur dalam perusahaan travel membuat Liza bisa ditemui saat malam hari. Namun, udara dingin membuat Pak Cipta tidak mampu berlama-lama bermain dengan angin malam. Janjian menjadi jalan utama Pak Cipta untuk bertemu keponakannya. Pesan singkat bukan andalan Pak Cipta dalam berkomunikasi. Usia yang sudah menduduki tengah umur membuat laki-laki itu nyaman menyambung komunikasi dengan telepon. Melakukan panggilan untuk keponakannya dilakukan Pak Cipta. Liza: Hallo! Ada apa, Pakde? Pak Cipta: Kamu belum tidur? Liza: Ehh. Belum, Pakde. Liza sengaja menyembunyikan kalau dirinya baru pulang. Ia tidak mungkin bercerita kalau baru saja menghabiskan waktu bersama otang kepercayaan pakdenya. Pak Cipta: Besok ada kuliah pagi gak? Liza: Kebetulan gak ada. Pak Cipta: Kamu gak usah ke kantor dulu ya? Pakde dan budemu mau ke tempatmu. Liza: Liza dengan senang hati didatangi Pakde dan Bude. Pak Cipta: Ini sudah jam sebelas lebih. Selamat tidur, Nduk! Liza: Selamat tidur juga Pakde. Kantuk tidak begitu dirasakan Liza. Walaupun tengah malam hampir datang. Mata seolah sulit untuk dipejamkan. Perasaan senang mendatangi dirinya, terbayang kebersamaan dengan Indra. Liza tidak mau begadang terus mendatangi dirinya. Ia berusaha memejamkan mata, meskipun sulit untuk pergi ke alam mimpi. *** Jago telah memberanikan mengeluarkan suara andalan saat dini hari. Suara yang terlalu bising membuat Indra terbangun dari kematian sementaranya. Membuka mata perlahan-lahan dilakukan Indra, walaupun terasa berat. Tidak mau terperangkap dalam kemalasan membuat dirinya membuang selimut dan membawa tubuh menuju kamar mandi. Cuci muka menjadi jalan utama untuk menghilangkan rasa kantuk. Basahan air belum kering, suara adzan subuh terdengar sampai telinga Indra. Masih berada dalam kamar mandi membuatnya sekalian mengambil air wudhu. Ibadah subuh dilaksanakan Indra secara munfarid. Usai subuh terlaksana, tiba-tiba dirinya teringat dengan petuah almarhum bapaknya kala itu berkata, "Kelak kamu akan dewasa. Kamu pasti merasakan tertarik dengan lawan jenis, boleh saja kamu memberikan perhatian yang kebih kepada wanita itu. Tapi ingat, ada batasannya!" Entah kenapa pikiran Indra langsung tertuju pada Liza setelah petuah bapaknya tiba-tiba muncul. Ia menelaah kalimat itu diperbolehkan memberikan perhatian, tapi ada batasannya. Ia sendiri tidak tahu sedang dalam posisi seperti apa merasa tertarik atau biasa-biasa saja. 'Ahh. Masa bodoh, aku gak mau memikirkan lebih dalam kata-kata Bapak,' batin Indra. Pakaian ibadah belum terlepas dari tubuh Indra. Hanya sajadah yang dilipat dengan rapi. Menduduki pinggir ranjang dilakukannya. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil handphone yang tengah istirahat di meja. Dengan lihai tangan Indra memainkan keyboard handphone. Ia mengikuti kemauannya pikirannya untuk mengirim pesan ke Liza. Anda Kalau berangkat pagi. Boleh ya aku jemput! Liza Ehh. Tumben banget kamu mau jemput segala. Anda Daripada kamu naik ojek online. Kan kalau sama aku gratis. Liza Terima kasih atas tawarannya, Mas. Hari ini ada acara, jadi gak bisa berangkat pagi. Sedikit kekecewaan yang diterima Indra. Tetapi, baginya tidak masalah walaupun tawarannya ditolak. Penolakan halus disertai alasan logis membuatnya mudah untuk menghilangkan rasa kecewa. *** Langit tidak menampakkan kesedihannya. Pertanda hari sangat bersahabat. Teras rumah dijadikan Liza untuk menunggu kedatangan pakdenya. Rasa jenuh dialaminya saat pukul delapan orang yang ditunggu belum kunjung datang. Liza memutar otaknya untuk menghilangkan kejenuhan yang ada. Bunga mawar yang menarik perhatiannya, seolah kembang itu melambaikan tangan. Respon baik dilakukan Liza dengan mendekati tumbuhan itu. Pekerjaan dadakan datang saat Liza memperhatikan daun mawar yang telah mengering. Melepaskan daun berwarna kecoklatan dari tangkai dilakukan Liza. Daun warna coklat terkumpul rapi membuat Liza ingin menggali tanah, tetapi terhalang alat yang dimiliki. Kakinya berlari memasuki rumah untuk menemukan peralatan kebun. Alhasil gudang hanya menampakkan barang-barang rongsok. Kembali menuju halaman depan rumah dilakukan Liza. Pikiran dan aksi tidak bersatu membuat ia kebingungan. Otaknya mengajak mengubur dedaunan, aksi mendukung untuk memasukkan ke tong sampah. Tidak ada alat membuat Liza memutuskan tong sampah menjadi jalan pintasnya. Saat tangan mulai memungut sampah mendadak Pak Listyo melintas dengan membawa cangkul. Ide cerdas mulai ditampilkan Liza. Gadis menghentikan aksinya, kaki berjalan dengan kilat sambil berteriak, "Pak Listyo! Berhenti, Pak!" Laki-laki paruh baya dengan baju berlumuran lumpur menghentikan langkah. "Ada apa, Nduk!" "Liza mau minta tolong boleh, Pak!" pinta Liza. "Minta tolong apa? Saya baru dari sawah. Saya pulang dulu ya? Baju saya masih kotor." "Tidak perlu, Pak. Saya hanya membutuhkan cangkul penjenengan kok," jelas Liza. "Oalah. Silakan!" Pak Listyo memberikan cangkul yang dibawa kepada Liza. "Orang cantik-cantik kok mau nyangkul," lanjutnya. Sudah menjadi ciri khas Liza yang selalu menampilkan senyum saat mendengar kalimat yang tidak menyinggung dirinya. Sedangkan kalimat itu tidak perlu dijawab. Dengan cekatan Liza mencangkul tanah dipekarangan yang ditempati, walaupun bukan miliknya. Daun kering dengan jumlah minim membuat gadis itu mencangkul secukupnya, tanpa harus sedalam seperti menggali kuburan. Setelah usai, Liza langsung mengembalikan alat itu kepada sang pemilik yang tengah menunggui di pagar. "Terima kasih, Pak." "Sudah, Nduk!" Liza mengangguk sambil memberikan kertas berwarna merah sebagai alat tukar. "Gak usah. Cuman pinjam sebentar aja kok," tolak Pak Listyo. "Liza ingin bersedekah, Pak. Ini bukan soal pinjam cangkul yang dianggap sebagai sewa," jelas Liza. Kalimat yang diucapkan Liza membuat laki-laki berambut putih itu menggeleng. "Sek tah. Kamu kan baru saja kena musibah dan ini gak layak. Seharusnya kamu yang menerima bantuan." "Tidak pantas hanya pandangan Bapak saja. Tapi dimata Tuhan, Bapak pantas menerimanya." Liza berusaha meyakinkan. Dengan terpaksa Pak Listyo menerima pemberian Liza meskipun dari hati terdalamnya merasa kasihan. Tetapi, kalimat yang diucapkan Liza membuatnya tidak bisa melakukan penolakan. "Terima kasih, Nduk. Semoga rezekinya dimudahkan. Saya pulang dulu ya!" pamit Pak Listyo. "Iya, Pak. Hati-hati," kata Liza sambil melambaikan tangan. Baru saja membalikkan badan suara mobil berhenti tepat di pekarangan rumah. Ya, tamu yang ditunggu-tunggu telah datang. Pak Cipta dan istrinya menuruni kendaraan roda empat. Dibalik kesedihan yang dialami membuat Liza memberikan sambutan hangat. Gadis itu langsung memeluk pakde dan budenya. Liza membawa dua tamu istimewa dan seorang sopir ke dalam ruang tamu. "Mobil kamu di mana?" tanya Pak Cipta. Liza tidak menyangka pakdenya mengeluarkan pertanyaan yang sulit ia jawab. Ia hanya terdiam dalam kebingungan. "Ini yang tanya pakdemu bukan siapa-siapa? Jawablah, Nduk!" desak Pak Cipta. Dengan cerdas Liza memberikan jawaban, ia tidak peduli atas reaksi pakdenya nanti. "Harta bukan segalanya. Kesehatan lebih penting daripada harta." Kalimat yang diucapkan Liza seolah menginginkan Pak Cipta untuk tidak menanyakan soal harta. Tetapi, Pak Cipta sendiri ingin tahu kemana mobil pemberiannya. "Lebih siapa yang hidup di dunia ini? Gak usah menceramahi orang tua!" Kata Pak Cipta yang mulai menampakkan sikap aslinya. Dengan keberanian Liza membuka hal yang telah dirahasiakan dua hari. "Mobil itu terbakar." Liza menceritakan kronologi kejadian dengan mata berkaca-kaca, bukan masalah harta. Tetapi, takut kemarahan datang dari pakde ataupun budenya. Pak Cipta memberikan tanggapan atas cerita Liza dengan nada tinggi. "Pakde benar-benar kecewa sama kamu. Ponakanku sendiri ternyata tidak bisa dipercaya." Laki-laki paruh baya itu langsung mengajak sopir dan istrinya pergi meninggalkan keponakannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN