Bab 10 Adu Mulut Pimpinan dan Asisten

1052 Kata
Sinar mentari yang hangat dirasakan oleh Liza. Ia menyusuri jalan bersama Pak Cipta. Kejadian semalam tak lagi membekas di hatinya. Ia sadar universitas swasta ternama di Surabaya tidak akan menerima dirinya, jika tanpa ada kepandaian dalam sosoknya. Hanya penyesalan yang dapat ia rasakan, kalimat tidak sopan sempat terlontar di malam itu. Tetapi, kini ganjalan salah tidak membekas dalam hati Liza karena permintaan maaf telah dikabulkan. Dalam perjalanan kalimat-kalimat ringan terucap dari mulut mereka. "Kamu kuliah jam berapa nanti?" "Gak ada kuliah, Pakde." Liza menoleh ke arah pakdenya yang tengah menyetir. Hati kecilnya sebenarnya tidak tega menyaksikan laki-laki setengah umur lebih membawa mobil sendiri. Tetapi, mulutnya tidak bisa terucap kala kalimat 'Aku masih kuat'. Kalimat sederhana yang dilontarkan dengan tegas. Hanya sebuah anggukan yang ditampilkan Pak Cipta membuat Liza membuka mulut kembali. "Hari ini Liza akan ada di perusahaan seharian." "Saya membebaskan kamu. Yang penting setiap hari harus ke kantor perusahaan, walaupun cuman satu jam." Percakapan yang diciptakan ponakan dan paman mengantarkan mereka hingga sampai perusahaan. *** Ruang kerja dimasuki Indra dengan mata berbinar. Ruangan yang dihiasi senyuman Liza menambah semangatnya. "Liza .... " sapa Indra. Senyum kecut ditampilkan Liza, tanggapan tak seperti biasanya. Senyum manis atau omelan tidak muncul di pagi ini. Liza tak kunjung membuka mulut membuat Indra mendekat ke arah gadis yang mengambil posisi duduknya. "Kamu ngapain di sini?" "Ini hak dan kekuasaan saya," jawab Liza sambil memainkan bolpoin. "Seharusnya saya yang tanya kamu ngapain di sini?" lanjutnya. Indra terkejut dengan kalimat yang dilontarkan Liza. Kalimat sederhana, tetapi seolah menyudutkan dirinya. 'Apa karena aku tadi memanggil Liza? Ini kan di perusahaan bukan di tempat lain. Oke, aku akui itu salah.' batin Indra. Dengan keberanian Indra meminta maaf atas tafsirannya sendiri. "Oke, aku salah. Aku minta maaf!" "Baguslah kalau mengakui kesalahan." "Maaf tadi aku memanggil Liza, aku sadar seharusnya itu tidak saya lakukan," kata Indra. "Terus apa hubungannya?" Liza melototkan mata ke arah Indra yang berdiri di sampingnya. "Seharus saya panggil kamu Bu," jelas Indra dengan percaya dirinya. Bekas kemarahan di waktu malam masih tersisa membuat Liza mengangkat tubuhnya dari duduk menjadi berdiri. Kedua tangannya di letakkan di atas meja. Mata memandang Indra dengan melotot. Kemarahan Liza semakin tidak jelas membuat Indra menggelengkan kepala. Hatinya tetap berada dalam ketenangan, walaupun singa betina sedang berada di hadapannya. "Sungguh manusia tak sadar diri," kata Liza sambil menunjukkan jari manis ke arah d**a Indra. Indra semakin tidak paham. Ia menggaruk-garukkan kepala sambil memicingkan mata. Kalimat dengan nada tinggi keluar dari mulut Liza sebagai ungkapan kekesalan karena Indra tidak kunjung paham. "Jam kamu mana?" Semakin dimarahi tanpa kejelasan membuat Indra geram. Ia menunjukkan tangan yang biasa dihiasi jam. "Kamu tahukan! Saya gak bawa jam. Sok peduli amat." "Aku memang peduli. Punya hp?" tanya Liza sambil menganggukkan kepala berkali-kali. "Kamu mau ngapain? Nyita hpku?" Indra tampak seperti orang menuduh. "Yes. Mana?" desak Liza sambil menengadahkan tangan. Indra mengambil handphone dari kantong celananya dengan kasar. Handphone langsung diserahkan kepada Liza tanpa basa-basi. 'Andai saja kamu bukan atasanku, sudah kubantah habis-habisan kau Liza,' batin Indra sedikit tidak rela. Liza langsung meletakkan handphone di atas meja seolah tidak peduli dengan barang sitaan. Bersedekap sambil mengamati Indra bak orang ketangkap basah melakukan kesalahan dilakukan Liza. Tidak hanya itu, ia mengelilingi tubuh asistennya. Perlakuan Liza membuat Indra tidak nyaman dan membuat pengakuan dengan harapan gadis itu puas. "Sepertinya aku layak menjadi penjahat." Senyum kecut menghiasi bibir Liza. "What are you doing?" "Matamu kamu buat apa?" "Dasar kurang ajar! Aku yang seharusnya tanya sama kamu seperti itu." 'Take a deep breath, Liza,' kata Liza dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri. (Tarik napas dalam-dalam, Liza) Dengan kasar Indra mengajak kakinya untuk meninggalkan ruang kerjanya. Ia membiarkan wanita tidak jelas dalam kesendirian. Dari hati paling dalam, Liza tidak mau membuat kemarahan terjadi. Tetapi, ia berharap semua karyawan bisa memahami kesalahannya. Liza membiarkan laki-laki itu pergi. Ia kembali duduk di kursi asistennya. Memanggil Vino dengan telepon kantor dilakukannya. Vino: Hallo! Ini dengan siapa? Ada yang bisa saya bantu? Liza: Ini aku, Mas Vino. Tolong printkan absen hari ini! Walau suara wanita itu tidak mengenalkan diri, Vino hapal betul dengan suara atasannya. Vino: Baik, Bu. Liza: Dikirim ke ruangannya Mas Indra ya, Mas? Please!" Vino: Siap laksanakan, Bu Bos. Liza bergegas mematikan tombol off pada telepon kantor yang sengaja dipasang pada setiap ruang para karyawan bagian atas. Sepuluh menit kemudian .... "Permisi, Bu!" "Masuk!" Liza segera menghentikan aktivitas kerjanya. Suara kaki Vino mendekat ke arah Liza yang terduduk manis. Liza menyambut kedatangan Vino dengan eskpresi dingin. "Silakan duduk!" Hanya anggukan yang ditampilkan Vino. Kemauan atasannya dituruti dengn baik. Posisi duduk dibenarkannya sebelum menuaikan kata-kata dihadapan bosnya. "Ini, Bu." Vino menyerahkan kertas putih dengan noda hitam yang terangkai coretan bermakna. Tangan Liza menerima barang yang diberikan Vino. Matanya bergerak memperhatikan absen karyawan hari ini. Gadis itu menunjukkan eskpresi tersenyum kecut dengan iringan gelengan kepala. "Bu Liza ... " Liza langsung memotong perkataan Vino, " ... Not mad." Vino paham dengan kata yang dilontarkan Liza, walau dalam bahasa inggris. Rasa penasaran mendatangi Vino membuat dirinya melontarkan kalimat tanya. "Terus?" "Kamu sudah ketemu Indra?" "Tadi dia di kantin, Bu," terang Vino. "Enak sekali hidupnya." Liza mengangguk sambil membuat gaya agar bibirnya terlihat miring bak orang-orang jahat dalam perfilman. Berbagai pertanyaan keluar dari otak Vino. Ia merasa Liza dan Indra seperti diterpa masalah besar. Hingga pekerjaan tidak normal seperti biasanya, semua terasa aneh. Liza menyerahkan print absen kepada Vino. "Coba kamu cermati? Ada yang ganjil gak?" Bola mata Vino mengamati kertas absen karyawan. Hingga ia menatap ke arah bosnya dengan kaget. "Sudah tahu mana yang ganjil? Sekarang temui Indra. Dan tunjukkan itu!" pinta Liza dengan tegas. Bantahan tidak mungkin dilontarkan Vino, walaupun gadis itu pernah bertikai dengannya. "Oke. Jadi ini alasannya sampeyan memasuki ruang kerja Indra." "Kamu gak perlu tahu! Cukup berikan kertas itu kepada Indra dan suruh dia baca. Understand!" Vino semakin tahu kalau masalah atasanya dengan Indra berada dalam ranah pribadi. Ia tidak mau mencampuri urusan orang lain. "Baik, Bu. Permisi!" Vino berpamitan untuk melaksanakan tugasnya. Kakinya sudah berada di luar ruangan. Mulutnya mengeluarkan tawa sambil terpingkal-pingkal. "Mampus loe!" Perkataan Vino terdengar sampai di telinga cleaning service yang tengah mengelap pintu kaca. "Apanya yang mampus, Mas?" Dengan sigap Vino memainkan bibir dengan kata-kata yang jauh dari pikirannya. "Ini semut masuk ke dalam celana." Bapak Cleaning Service itu tertawa. Ia tidak sadar dibohongi oleh Vino. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN