Bab 11 Bukan dari Unsur Sengaja

1031 Kata
Dengan gagah Vino melangkah menuju kantin tempat Indra bersantai. Indra sadar kedatangan temannya membawa tujuan, tetapi ia tidak mengerti entah positif atau negatif. Dua tubuh belum berdekatan, hanya saling memandang membuat Indra sensi. "Ngapain ke sini?" "Kerja yang bener sana!" balas Vino. "Kamu juga kenapa keluyuran?" tuduh Indra. Vino menempatkan dirinya pada kursi yang bersebrangan dengan Indra. "Seharusnya yang tanya aku, bukan kamu!" "Ini arek sekarang jadi ikutan Liza." "Masak harus ikutan kamu yang sesat." Vino membantah Indra dengan tegas. Indra mengubah posisi duduk menjadi berdiri dengan sorot mata tajam ke arah Vino. "Kowe ngajak ribut aku aja ya!" "Jangan marah gitu dong! Aku ketemu kamu karena ada urusan," jelas Vino. Indra kembali ke posisi semula, walau setengah dipaksa. Ya, ia meletakkan tubuhnya dengan kasar. Andai tidak dalam bingkai kemarahan seperti terpental. Vino sengaja terdiam. Ia tidak akan memulai pembicaraan sebelum kemarahan temannya reda. Rasa tidak mengerti tentang alasan kemarahan membuat Vino seolah menjadi imbasnya. 'Ini orang sebenarnya marah sama Liza. Kenapa aku juga ikut dimarahin. Ahh, bodo amat,' gerutu Vino dalam hati. Indra menatap Vino dengan tajam. Jengkel dirasakannya karena Vino tidak kunjung menyampaikan tujuan mendatangi dirinya. Padahal ia berharap tidak ada penganggu dalam kesendirian yang baru dinikmati. "Kamu ke sini mau ngapa? Mancing amarah?" tuduh Indra dengan nada tinggi. Tidak mau dianggap pemancing marah membuat Vino mengeluarkan isi hatinya. "Aku menjadi imbas kemarahanmu, Ndra. Kamu ada masalah? Tumben kamu memperlakukan aku seperti ini?" "Udah. Gak usah banyak ngomong. Kamu mau apa di sini?" desak Indra. Andai saja Indra tidak terbawa emosi. Vino langsung menyampaikan tujuannya, tanpa harus berbelit-belit. Dengan mengelus d**a Vino berkata, "Saya ke sini disuruh Bu Liza." Mendengar namanya menjadikan Indra terasa muak. Ia seperti tidak mau berurusan lagi dengan gadis itu karena ketidakjelasan pada hari ini, walaupun dirinya masih terikat dalam aturan Liza. "Dari mana Liza tahu kalau aku di sini?" Kejujuran tidak mungkin dikatakan Vino kalau dirinya yang memberitahu. Kantin memang tidak terpasang CCTV. Dengan kepandaian Vino bersilat lidah. "Jam kerja kamu ngapain di sini?" Pertanyaan hampir sama dilontarkan Vino membuat Indra ingin mengusir laki-laki itu. Tetapi ia tidak mau permasalahannya dengan Liza yang tanpa kejelasan tercium. Dengan menahan emosi Indra bertanya secara ketus. "Liza nyuruh aku kerja?" "Namanya jam kerja, ya kerja. Kenapa Anda di sini? Sedangkan Liza berada di ruang kerja kamu. Sungguh keterlaluan." Vino menyulutkan sedikit emosi dalam perkataannya. "Bukankah itu kemauan dia." Pembelaan terhadap diri sendiri dilakukan Indra. "Memang kemauan dia sendiri," ujar Vino sambil melemparkan kertas di atas meja dengan kasar. "Baca!" imbuhnya. Permintaan Vino dituruti Indra, walau dalam ekspresi tidak karuan. Belum dibaca dengan tuntas Indra langsung berkomentar. "Untuk apa ini?" "Dibaca dengan teliti, Pak Bos." Vino terlihat sangat kesal. Indra melirik ke arah Vino. Bola matanya kembali mengamati setiap coretan yang terdiri dari kombinasi angka dan huruf. Tiga menit kemudian .... Indra memandang Vino secara dalam. "Jadi .... " Vino melanjutkan perkataan Indra yang terputus " ... jadi Anda sudah tahu. Apa yang terjadi pada hari ini?" Indra menggeleng. Ia merasa bersalah sekaligus kesal. "Kenapa Liza gak ngasih tahu dari awal tentang ini?" "Tugas saya hanya menyampaikan, Pak. Permisi! Sekarang selesaikan masalahmu dengan Bu Liza!" pinta Vino sambil menepuk pundak Indra. Langkah kaki Vino begitu cepat. Kini Indra tinggal seorang diri bersama arsitektur kantin. Ia tidak lagi terduduk, tapi berdiri membawa kertas seperti patung membawa naskah. *** Indra mematung di depan meja yang diduduki Liza. Gadis itu tampak sibuk, entah apa yang sedang dikerjakan. Ia bertahan dengan kebisuan dalam ruangan berpenghuni dua manusia, tapi seolah kedua tidak saling menganggap ada. Dengan keberanian Indra membuka mulut yang terasa kaku. "Maaf! Apakah saya menganggu waktu Anda?" Liza yang tengah sibuk memandang layar komputer, kini beralih ke arah Indra. "Sejak kapan Anda berada di sini!" Pembicaraan formal terjadi. Seolah mereka baru saling mengenal satu sama lain. Pertanyaan Liza memang tidak terlalu penting, Indra memgalihkan dengan perkataan lain. "Saya minta maaf atas keterlambatan saya!" "Baguslah kalau sadar!" jawab Liza dengan ketus. "Tapi kenapa Anda tidak mengatakannya sejak dari awal?" tanya Indra dengan kesal. Indra memang tidak sadar atas keterlambatan yang diperbuat. Andai diberitahu dari awal ia akan menerima semua hukuman yang terjadi. "Saya hanya ingin semua karyawan di sini sadar atas yang kesalahannya. Introspeksi diri dong!" "Oke. Saya hanya karyawan. Saya akui salah, tapi semua ini bukan dari unsur kesengajaan," kata Indra dengan penuh kejujuran. "Saya gak mau tahu apa alasannya." Liza terlihat tidak mau diajak negoisasi. "Anda mau menghukum saya? Silakan!" Indra menyerahkan diri walau hatinya tidak ikhlas. "Silakan keluar dari ruangan ini! Sampai ketemu besok, jangan sampai telat!" Liza tersenyum sembari mempersilakan asistennya meninggalkan dirinya. "Maksud Anda hari ini saya tidak diperbolehkan kerja dan tidak digaji?" tanya Indra memperjelas. Liza mengangguk. Dari hati terdalamnya ia ingin menghabiskan waktu bersama Indra, walau hanya sebatas teman kerja. Tetapi, disisi lain ia harus bijak dalam mengatur semuanya. "Oke." Indra langsung menerobos pintu dan meninggalkan Liza. *** Motor Indra sudah terparkir di halaman rumah. Tanpa ragu ia memasuki rumah, pandangan pertama saat berada sungguh mengejutkan saat matanya melihat Liza dan ibunya berada di ruang tamu. Ia tidak menyangka gadis itu mendahului dirinya. "Kenapa? Kaget Nak Liza sudah berada di sini?" tanya Wasni saat Indra membuat tatapan berbeda yang tertuju pada keduanya. "Ehh ... Kan tadi masih di kantor." Indra menanggapi perkataan ibunya sembari duduk di samping wanita tercinta. "Tadi pas Ibu membenahi benahi jam dinding. Nak Liza datang." Wasni bercerita singkat. "Emang jamnya kenapa?" Indra mulai penasaran. Dalam hatinya berpikir, jangan-jangan jam dinding yang jadi biangkerok ketelatannya. Dengan lihai Wasni bercerita. Benar jam dinding itu yang menjadikan Indra telat berangkat kerja. Lambatnya jarum yang berputar membuat semua aktivitas fatal. "Sebelumnya Bu Wasni sudah bercerita sebelum kamu datang," ungkap Liza. Indra mengangguk. Keganjilan dirasakannya, ia merogoh saku celana, mengobrak-abrikkan tas kerjanya, tetapi sesuatu yang dicari tidak ditemukan. Kegelisahan dalam raut muka Indra membuat Wasni curiga. "Kamu cari apa?" tanya Wasni sambil memandang putranya. "Handphone, Bu." Liza tersenyum. Ia membuka tas selempang merah maron sebuah barang dikeluarkannya. "Inikah!" Indra mengamati secermat mungkin barang yang disodorkan Liza kepada dirinya. Ingatannya kembali datang saat gadis itu menyita barang berharga miliknya. "Terima kasih sudah dibawain," ucap Indra sambil menerima barang itu dari Liza. Wasni mengamati dua anak muda itu dengan senyuman. Penyebab masalah terjadi telah terungkap, keganjalan antara dua manusia tidak ada lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN