Bab 9 Emosi Dadakan

1031 Kata
Driver ojek online telah hilang tertelan waktu. Penglihatan Liza tertuju pada matahari yang bersinar dari arah barat. Tanpa ragu kakinya melangkah ke arah pintu gerbang perusahaan, sibuk tidak membuatnya pergi dari pertanggungjawaban. Amanah akan dikemban sebaik-baiknya. Sepatu sneaker mengantarkan Liza menuju ruang kerja Sang Asisten. "Permisi!" sapa Liza sambil membuka pintu kaca. Sapaan belum terjawab. Liza sudah lebih dahulu memasuki ruangan dengan tubuh lunglai. Indra menghentikan pandangannya dari komputer tertuju pada gadis berambut panjang. Liza mendekati Indra dengan ekspresi datar. "Gimana kerjaannya?" "Seperti biasa, beres." Liza memaksa bibirnya untuk tersenyum. Anggukan ditampilkannya. "Oke." Suara lirih terdengar sampai telinga Indra. Gadis itu masih mematung. Rasa iba timbul dalam diri Indra. "Kayaknya kamu butuh istirahat." "Aku masih punya tanggungjawab," elak Liza. "Beneran kamu gak papa?" Indra memastikan. Senyum Liza terlihat manis, walau wajahnya terlihat pucat. Bola matanya tertuju pada jam tangan yang dipakai. "Sudah hampir maghrib. Kamu gak pulang? Ini sudah waktunya kamu pulang." Kalimat yang dilontarkan Liza membuat Indra geragapan. Matanya memandang jam digital pada layar komputer. Dengan spontan Indra menupuk jidatnya sendiri dengan tangan kanan. Indra belum kunjung memberikan jawaban membuat Liza kembali berkata, "Aku keluar duluan ya! Kamu bisa beres-beres kerjaan." Dengan langkah kilat Liza pergi meninggalkan Indra dalam kesendirian. Astaghfirullah kenapa aku bisa gini?, batin Indra sambil bergegas untuk segera pergi dari persemedian. *** Matahari tidak lagi menampakkan diri. Bulan tampak indah menggantikan matahari. "Liza!" Suara seorang wanita membuat Liza menghentikan memandang keindahan alam dari lantai dua rumah pakde dan budenya. Ia segera menuruni tangga untuk mencari sumber suara. Sepasang suami istri sudah terduduk manis menghadap ke meja makan. Liza mengamati sajian dengan sekejap sebelum menjawab panggilan tadi. "Ada apa, Bude?" kata Liza sambil mendekat ke arah budenya duduk. "Duduk sini. Ayo makan!" ajak wanita berambut sebahu dengan warna putih. Posisi duduk di samping budenya diambil. Makan malam menghiasi rumah Pak Cipta dan istrinya. "Hari ini hidup kita seperti sempurna." Pak Cipta menatap langit-langit sambil tersenyum. Sebuah andai-andaian membuat istri pengusaha itu berkomentar, "Udah dihabiskan dulu makannya!" Bantahan tidak dilontarkan Pak Cipta, ia sadar akan kondisinya yang sudah tua. Makan sembari berbicara bisa membuat dirinya berkali-kali tersendat. Makanan telah dimasukkan ke dalam perut membuat Pak Cipta berkata, "Liza kamu tahu gak kalau orang tuamu menginginkan dirimu kuliah universitas swasta?" Pertanyaan dari pakdenya membuat Liza geram. Dengan nada kasar ia berkata, "Karena Liza gak diterima di universitas negeri. Pakde mau ngejek aku apa gimana sih?" Pak Cipta menggeleng-gelengkan kepalanya sambil membuat ekspresi tidak dengan kedua tangannya. "Terus apa? Liza memang bodoh, dari jalur SNMPTN, SBMPTN, dan Mandiri gak ada yang nyangkut di universitas negeri." Kalimat dilontarkan Liza dengan nada tinggi. Liza segera meninggalkan ruang makan dengan wajah yang tidak menampakkan sumringah. Pak Cipta dan istrinya membiarkan keponakannya dalam kemarahan. "Dia lagi capek," ujar Pak Cipta usai ponakannya tidak tampak dari pintu lagi. "Biarkan saya yang melunakkan." Istri Pak Cipta memandang suaminya dengan wajah teduh. Kekhawatiran mulai muncul dari diri permaisuri Pak Cipta. Dengan langkah cepat ia meninggalkan suaminya. Dugaannya benar. Liza menyuruh sopir pribadi keluarga Cipta untuk mengantar dirinya pulang. Ketika Liza ingin memasuki mobil tiba-tiba istri Pak Cipta datang dengan berlari sembari berkata, "Stop!!!" Liza mengurungkan niat untuk memasuki mobil. Pintu ditutupnya kembali. Matanya tertuju pada wanita yang tergopoh-gopoh. "Liza mau pulang, Bude." Napas istri Pak Cipta tersendat-sendat membuat Liza mendekati wanita itu. "Buat apa aku di rumah ini, kalau Pakde mau merendahkan saya." Dengan langkah pelan dari dalam Pak Cipta mengatur napas, lalu berbicara, "Kamu jangan emosi gitu, Nduk!" "Gimana gak emosi. Pakde yang duluan, jadi biangkeroknya siapa?" tandas Liza. Pak Cipta tidak mau ponakannya berada dalam kesalahpahaman. Kalimat sederhana keluar dari mulutnya. "Kamu memang kuliah di universitas swasta. Sekarang jawab pertanyaan pakdemu ini. Apa semua orang bisa masuk di universitas tempatmu belajar sekarang?" "Masuk mah semuanya bisa." Liza tidak mau kalah. Dengan penuh kesabaran Pak Cipta meladeni ponakannya. "Apa semua orang bisa keterima sebagai mahasiswa di sana?" Liza tertawa dengan berbahak-bahak. "Yang jelas aja." "Dengarkan kata-kata orang yang sebentar lagi bau tanah ini. Kamu pintar, kalau tidak, gak mungkin bakal keterima di universitas bergensi. Aku sadar sudah pantas diinjak-injak karena sebentar lagi juga jadi tanah." Kalimat Pak Cipta langsung ngena di hati Liza. Ia terdiam, menelaah satu persatu kalimat yang diucapkan pakdenya. Dalam kondisi mematung Liza mengeluarkan cairan bening dari matanya, tangannya mengusap cairan itu dengan halus. Kaki yang terasa berat membuat diri Liza memberanikan mendekati dua orang yang sudah tua. "Bude sama Pakde mau maafin Liza kan!" Gadis itu langsung merangkul sepasang suami istri yang setia. Senyum manis tiga manusia disaksikan jagat raya. "Kamu jangan pulang ya, Nduk! Kita pengin sekali menikmati hidup bersama anak. Kita gak pernah merasakan ini." Liza melepaskan rangkulan. Ia menatap orang yang mengapitnya satu-persatu. "Liza janji. Hari ini mau nginap di rumah ini." Senyum manis Liza membuat Pak Cipta dan istrinya terlihat bahagia. Liza menyadari kalau dirinya terbakar emosi karena rasa lelah yang belum terobati. Dekapan hangat dari pakde dan budenya membuat lelahnya seakan-akan hilang. Malam ini Liza merasakan kedua orang tuanya hadir di sampingnya. Pak Cipta dan istrinya membuat nyaman bak orang tua sendiri. Malam masih disapa tiga manusia dalam taman membuat istri Pak Cipta mengungkapkan keinginannya. "Bude berharap, kamu tiap hari selalu ada di sini." Liza hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah katapun. Bukan tidak ingin menjawab, tetapi ia mencari kata-kata penolakan yang tepat. Pesan orang tuanya dijadikan sebagai alasan untuk menolak. "Mama ingin didik anaknya mandiri. Salah satu alasan mamaku menguliahkan aku di luar kota dan melarang satu rumah dengan keluarga." "Bude akan bicarakan masalah ini kepada mamamu." Tanpa banyak berpikir, Liza langsung berkata dengan logis. "Bagaimana Liza bisa mengelola keuangan, kalau harus hidup di sini? Semua sudah serba ada. Mama juga ingin anak perempuannya pandai dalam mengatur keuangan." "Liza .... " "Maafin Liza, Bude! Kalau harus tinggal di sini setiap hari gak bisa. Tapi, panjenengan tenang aja, Liza akan sering-sering datang ke sini kok." Tolakan halus Liza diterima Pak Cipta dan istrinya. "Kami hanya tidak ingin kesepian." Pak Cipta melontarkan kekhawatirannya. "Liza yang akan menjadi penghibur kalian." Liza menepuk pundak mereka dengan halus. "Sudah malam, yuk kita masuk!" ajak istri Pak Cipta. Mereka bertiga memasuki rumah yang sempat ditinggalkan karena hawa panas yang dibuat manusia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN