Bab 14 Hari Spesial

1024 Kata
Mata Liza menangkap sosok Astri keluar dari ruang kerja Indra membuatnya menghentikan langkah. Ia mematung dengan hati dipenuhi tanda tanya. Tidak lama kemudian Indra keluar. Tanpa kesadaran Indra melihat Liza yang tengah berdiri dalam diam. "Bu Liza!" sapa Indra dengan mematung di depan pintu. Liza tersenyum, ia melangkah mendekati Indra. "Bukannya ini sudah waktunya kamu pulang!" "Ini mau pulang." "Tunggu! Tapi, gak akan ada lemburan buat kamu, walaupun melebihi jam kerja setengah jam lebih," kata Liza dengan tegas. "Saya memang tidak nglembur, Bu." Liza mengangguk. Indra tidak juga mengaku kalau dirinya berada dalam satu ruangan dengan Astri, padahal tertangkap oleh bola mata Liza sendiri. Bahkan tanpa kamera CCTV. "Terus kamu ngapain sampai bela-belain pulang jam segini?" tanya Liza memerlukan kepastian. "Ada urusan yang belum terselesaikan," jawab Indra. Liza tersenyum kecut diiringi tawa kecil. "Urusan kerjaan apa ada modus dibalik ini semua." "Maksudmu?" "Saya masih diberi kesehatan mata untuk melihat," jelas Liza. Indra merasa aneh dengan sikap Liza pada akhir-akhir ini. Memang dari dulu sangat peduli dengan karyawan lainnya, tetapi cara yang dilakukan sangat beda dengan hari-hari sebelumnya. "Kok kamu jadi curigaan seperti ini? Ada apa sih?" Indra penuh dengan keheranan. Pertanyaan Indra membuat Liza geragapan. 'Astaga! Kenapa aku jadi curigaan kek gini? Oke, aku harus bisa memutar balikkan fakta,' batin Liza. "Bu .... " Dengan sigap Liza memotong perkataan Indra. " ... semoga mataku tidak blur. Ada apa dengan Astri?" "Ya, masalah kerjaan," tandas Indra. Liza menggeleng. "Urusan kerjaan di luar jam kerja. Berduaan di ruangan yang sepi. Apa yang kalian kerjakan selama setengah jam lebih?" Indra tidak menyangka Liza akan berpikir senegatif itu padanya. "Demi Allah aku gak ngapa-ngapain. Jangan mikir yang aneh-aneh, Bu!" "Aku gak ingin aja orang lain berpikir tidak-tidak dengan kalian. Kalau aku mah bisa mantau siapa aja lewat rekaman CCTV. Saya ingatkan, jangan diulangi lagi!" tegas Liza. "Oke. Tadi bukan atas dasar kemauanku, tapi dia." "Gak harus di ruang kerja juga kali." Liza memberikan saran. Obrolan terlalu panjang dengan satu biangkerok permasalahan membuat waktu mereka tersita, hingga adzan maghrib berkumandang. Dua orang yang masih mematung saling melempar pandangan. "Udah adzan. Kamu bisa sholat di mushola dulu. Biar pulangmu lebih tenang," ujar Liza. Perkataan Liza memang benar, Indra mengangguk. Liza ditinggalkan begitu saja. Indra merasa kesal pada dirinya karena harus menuruti Astri, hingga membuat kepulangannya tertunda. *** Entah apa yang merasuki pikiran Liza, gadis itu membeli nasi goreng dua bungkus di pinggir jalan depan perusahaan. Ia membawa bungkusan itu sembari menunggu Indra menunaikan ibadah. Ibadah telah usai. Indra segera memakaikan sepatu pada kakinya. Tangga mushola menarik perhatian Indra, hingga ditemukan sosok berambut panjang yang tengah duduk dengan seorang diri. Ia yakin wanita itu bukan dedemit, tapi manusia. Indra mendekati sosok wanita itu. "Kamu kenapa masih di sini, Liz?" Liza yang tengah sibuk dengan handphone mengarahkan pandangannya pada Indra. "Aku beliin kamu nasi goreng. Mau ya? Seharusnya kamu sudah pulang, mungkin sudah menikmati masakan ibumu, tapi buktinya masih di sini. Anggap aja ini sebagai penggantinya, walaupun tidak serupa." "Kamu nunggu aku dari tadi?" tanya Indra. "Saya rasa tidak perlu dijawab. Yuk kita makan di taman aja, aku juga udah lapar nih," ajak Liza sambil menunjukkan taman perusahaan dekat jalan. Perut Indra yang sudah protes tidak mungkin menolak ajakan Liza. Mereka menikmati nasi goreng dengan indahnya pemandangan alam. Tebaran bintang membuat langit terlihat cantik. Hiruk pikuk kendaraan menjadikan suasana terbilang ramai. Dipertengahan menikmati lezatnya nasi goreng. Suasana makan bersama Liza mengingatkan Indra pada Pak Cipta. "Aku jadi keingat moment bareng Pak Cipta." "Moment apa itu?" Liza penasaran. "Sama seperti kamu. Maksudnya gimana tah?" Liza tidak tahu maksud kalimat yang baru diucapkan Indra. Ia menghentikan kunyahannya. "Iya seperti kamu. Saat aku sholat beliau menunggu aku dan membawakan makanan." Indra memberikan penjelasan. Anggukan ditampilkan Liza. Ia mulai paham. "Kan ponakannya. Wajar kalau nular." Dalam hitungan menit nasi goreng dua manusia ludes, hanya tersisa kertas minyak saja. "Keluarga selalu mengajarkan toleransi pada kami," ujar Liza. Indra paham dengan kalimat yang terucap dari mulut Liza. Ya, masih terkait dengan pembicaraan sebelumnya. *** Wasni menyambut kedatangan putranya di teras rumah. Indra yakin, kemarahan pasti akan datang pada dirinya. Ia juga sadar tidak memberi kabar atas keterlambatan untuk menuju rumah. "Assalamualaikum, Bu," kata Indra sambil menjabat tangan ibunya. "Waalaikumussalam," jawab sang Ibu dengan singkat sembari menerima uluran tangan sang anak. Rumah dimasuki Indra. Kamar tidur miliknya menjadi sasaran utama dirinya. Ia meletakkn tas sekaligus mengganti baju di kamar. Tenggorokan kering membuat Indra pergi menuju ruang makan. Mengambil gelas dalam rak, air putih dituangkannya. Beberapa tegukan dilakukan Indra. "Kalau pulang telat kasih kabar sendiri, jangan suruh orang," kata Wasni sambil menyaksikan sinetron. Indra menuju tempat ibunya duduk yang asyik dengan tayangan sinetron. Ia bergabung dengan ibunya. "Maafkan Indra ya, Bu! Gak ngabari Ibu." "Terus kamu nyuruh cewek kamu untuk ngabarin Ibu gitu?" "Maksud Ibu?" Indra sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan ibunya. "Untung aja Nak Liza ngabarin ke Ibu jadi gak ngawatirin kamu. Coba kalau gak," terang Wasni. Indra tidak pernah menduga kalau Liza bisa berkomunikasi dengan ibunya. Gadis itu tidak bercerita selama bersamanya. Ia berusaha memberikan alasan yang logis, walaupun fakta berkata tidak. "Kayaknya Indra pernah bilang sama Ibu. Kalau pas kerja Indra gak boleh pegang handphone, untuk komunikasi pakai telepon kantor. Wajarkan Liza yang mengabari Ibu, beliau itu atasanku, Bu." Wasni mengangguk. "Tapi beneran kamu gak ada apa-apa?" "Ibu kenapa sih jadi mikir yang aneh-aneh?" "Ya gak aneh. Cuman memastikan aja. Emang orang tua gak boleh tahu tentang masa dewasa anaknya?" Wasni tersenyum sambil melirik ke arah putranya. "Ya boleh-boleh aja sih." Indra berharap ibunya tidak membahas secara dalam tentang Liza. Hanya sekitar lima belas menit Indra menemani ibunya menonton televisi. "Indra capek. Mau istirahat dulu ya, Bu!" "Ya udah. Sana!" Indra bangkit dari duduknya. Mengajak tubuh menuju kamarnya untuk melepaskan lelah usia seharian bekerja. Entah apa yang membuat Indra terasa senang hari ini. Ia merasa ada yang spesial, walaupun kekesalan juga terjadi. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Liza. 'Tidak. Aku tidak boleh memikirkan dia. Jangan sampai diriku jatuh cinta dengan orang yang tidak mungkin menyatu,' batin Indra. Indra berusaha memejamkan mata walaupun pukul sebelas malam belum kunjung datang. Ia hanya ingin menghilangkan bayang-bayang Liza dalam pikirannya agar terbuang dalam alam mimpi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN