Teng.. teng.. teng..
Jam dinding yang terpasang di ruang redaksi mulai berbunyi, jarum pendek dan jarum panjangnya menunjukkan angka pukul 09.00. Itu artinya, waktu yang diberikan Kinan ke Beni untuk menyelesaikan tugasnya, harus selesai.
“Waduh!” Beni menggaruk kepalanya, ia mempercepat desainnya yang sudah hampir selesai.
Betul saja, Kinan sangat peka sekali dan ingat sekali terhadap tenggat waktu yang diberikannya. Kinan membalikan badan, dan kembali berjalan menuju kursi Beni. Beni masih stand by di depan laptopnya. Memainkan jemarinya di atas keyboard hitam dan mouse di sebelah kanannya.
“Gimana, Beni? Sudah?” tanya Kinan.
“Sudah, butuh finishing sedikit lagi, ya, sabar,” jawab Beni.
“Hmm, harusnya finishing dilakukan tiga puluh menit sebelum tenggat waktu, kalau begini sama saja kamu tidak tepat waktu mengerjakannya,” balas Kinan.
“Huft,” Beni hanya menghela napas panjang setelah mendengar balasan Kinan yang seperti itu.
Sekitar sepuluh menit, Kinan tampak tegas duduk di sebelah Beni, sambil ikut menatap layar laptop Beni. “Kamu bilang tinggal finishing?” tanya Kinan lagi.
“Iya, ini sudah 98% jangan khawatir ini gak selesai, berpikir jernih saja lah,” jawab Beni.
“Hah? Desain begitu sudah 98%? Kamu niat gak sih ngerjain tugas dari aku? Kok dari dulu gak pernah ada yang beres, loh!” Kinan meninggikan nadanya, sontak membuat Beni terkejut.
Beni menelan ludahnya, “ya aku harus buat desain yang seperti apa lagi? Kamu juga berkata terserah aku, yang penting cocok dengan konten berita terbaru, kan?” balas Beni cepat. Tampak kesal dari raut wajah Beni ketika Kinan berkata seperti itu. Sudah dua hari lamanya ia berusaha menyelesaikan tugas itu, namun begitulah balasan Kinan.
“Sumpah, kayaknya kamu harus ikut banyak pelatihan desain deh, desain kamu ini gak ada nilai-nilai kritisnya,” ucap Kinan sambil menunjuk desain yang sudah dibuat Beni.
“Ya terus aku harus gimana, dong?” Beni mencoba meredam emosinya.
“Buat lagi,” ujar Kinan santai.
Mendengar itu, kepala Beni memanas, emosinya serasa ingin pecah dan akan ditumpahkan pada Kinan. Beni berdiri dari kursinya, menaruh kedua tangannya di samping pinggangnya, “apa kamu bilang? Buat lagi?” tanya Beni menajam.
“Ya begitulah, coba lihat gambarmu sekali lagi,” Kinan kembali menunjuk gambar Beni.
“Kinan, cobalah belajar menghargai kerja keras orang lain, aku sudah melakukan sebisa aku, semampu aku, jangan seenaknya ngomong minta diulang lagi, parah!” ucap Beni yang di dalam hatinya sudah menggebu-gebu ingin berontak.
“Semua orang pasti kerja keras dong, apalagi urusan kerja, cuman maaf kerja kerasmu belum maksimal,” seru Kinan tak mau kalah.
“Kalau begitu, kenapa kamu tidak ngomong dari awal bagaimana gambar yang kamu mau, jangan langsung main nyuruh-nyuruh aja, gak jelas!” Beni mulai kesal, tak segan-segan meninggikan nada bicaranya.
“Hmm, aku pikir kamu orang yang pintar, cepat mengerjakan sesuatu dengan sempurna, ternyata selama ini aku salah,” Kinan beranjak dari tempat duduknya, “salah besar!” sambung Kinan yang kembali membesarkan volume suaranya.
Beni tampak malas berhubungan dengan Kinan, Beni enggan membalas lagi apa yang diucapkan Kinan. “Sekarang terserah kamu deh, ini kan sudah lewat tenggat waktu, dan berita harus segera dibagikan, kamu mau pakai atau tolak desainku silahkan, yang pasti aku sudah muak dengan apa yang kamu pinta selama ini!” jelas Beni dengan nada santai.
Kinan terdiam, ia masih mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan. Memakai desain Beni atau sama sekali tidak memakai desain untuk berita yang akan dipublish. Beni menyolokkan flashdisk khusus data redaksi ke laptopnya, dan memberikan ke Kinan, “nih, semuanya terserah kamu,” Beni langsung mengemas laptopnya dan dimasukkan ke dalam tas, dan pergi ke luar ruang redaksi meninggalkan Kinan seorang diri.
Beni pergi ke kantin, walaupun ini belum jam istirahat, Beni nekat saja jajan dan makan sepuasnya agar perut dan pikirannya segar kembali.
“Bu, siomay satu dan es campur satu ya, ingat gulanya sedikit saja,” seru Beni ke bibik kantin.
Beni duduk di kursi yang berada di bawah AC, supaya Beni bisa lebih rileks saja, “Huft, Kinan, Kinan, selalu saja banyak protesnya, bisanya nyuruh gak jelas lagi,” kata Beni.
Beni kembali membuka laptopnya, melihat desain yang dua hari ia kerjakan, dan baru saja dikritik Kinan. “Apa sih yang salah dari desainku? Aku ini sudah ikut lomba desain beberapa kali dan menang sebagai juara, sok mahal banget seleranya Kinan,” Beni geram.
Selang tiga puluh menit kemudian, grup w******p milik Beni berbunyi, nama grupnya adalah, “Redaksi Pasti Bisa.” Beni cepat membuka grup itu, ya walaupun pasti dominan oleh informasi dari Kinan.
Buruh Butuh Libur dan Uang Lembur! Begitulah isi informasi yang diberikan Kinan. Ternyata, itu judul berita yang baru saja ditulis Kinan dan harus segera diposting. Tidak hanya judul, Kinan juga memberikan link untuk bisa membaca berita itu.
Dua puluh menit kemudian, seluruh awak redaksi tidak ada yang memberi komentar atau membalas apapun tentang berita yang baru saja dibagikan Kinan. Bahkan, Pak Leon saja tidak membalas, “tumben, biasanya Pak Leon paling cepat komentar kalau soal berita begini,” kata Beni.
“Siomaynya satu, es campurnya satu,” bibik kantin mendatangi meja Beni dan memberikan pesanan Beni.
“Eh, Bi, ini gula di es campurnya sedikit aja, kan?” tanya Beni sebelum bibi kantin kembali ke warungnya.
“Jelas lah bang Beni, mana mungkin bibik lupa dengan pesanan bang Beni,” jawab bibik kantin.
“Oh, baguslah. Kalau sampai gulanya kebanyakan, nanti saya diabetes. Bibik harus tanggung jawab loh!” Beni bercanda.
“Ah, tidak-tidak, tenanglah Bang Beni, bibik juga paham kok perut Bang Beni makin lama makin membuncit,” gurau bibik kantin.
Bibik kantin pun tertawa dan kembali ke warungnya. Plak.. plok.. plak.. plok.. suara sepatu pantopel mengarah ke kantin. Suara itu berada di belakang Beni, dan Beni tak asing lagi dengan suara itu. Tak berselang lama, suara sepatu pantopel itu berhenti dan tak terdengar sama sekali. Beni merasa ada yang tidak beres, apalagi ketika merasakan ada hembusan napas di belakang telinganya.
Sretttt……….
Beni menolehkan kepalanya ke belakang, dan mencari hembusan napas itu. Nah, benar saja, Pak Leonlah si pemilik sepatu pantopel dan hembusan napas itu. Pak Leon tersenyum licik, dan membuat Beni ketakutan. Beni bergetar, sendok yang ada di tangannya pun ikutan bergetar.
“Eh Pak Leon, sudah lama Pak disini?” tanya Beni yang tak lupa seraya memberi senyuman.
Pak Leon semakin melebarkan senyumannya.
“Ayok Pak makan bareng, saya bayarin kok, kan habis gajian,” ucap Beni lagi.
Pak Leon tertawa dan ikutan duduk di kursi depan Beni. “Kok bisa kamu ke kantin sebelum jam istirahat?” tanya Pak Leon dengan ramah. “Hmm, tumben-tumbenan Pak Leon baik gini, biasanya langsung galak kalau ada karyawan yang tak disiplin,” batin Beni.
“Oh, pasti habis dapat jatah ekstra dari isterinya ya,” seru batin Beni yang mulai nakal.