Namanya Kinan Olivia, rekan kerja saya di ruang redaksi. Begitulah pernyataan yang keluar dari mulut Beni. Beni langsung menjawab pertanyaan Bu Ranti tanpa ba bi bu. Hal itu karena Beni tak merasa terjadi sesuatu yang ganjal ketika memberitahu perihal ini. Bu Ranti membisu, ia tidak membalas jawaban Beni. Wajah Bu Ranti tak menandakan apapun, ia hanya terdiam saja.
“Te? Tante kenapa?” tanya Beni, melambai-lambaikan tangannya di depan kedua mata Bu Ranti yang hening.
“Eng.. eng.. enggak apa-apa kok, Nak Beni,” Bu Ranti menggelengkan kepalanya, dan menjentikkan jemari kanannya, “sudah, tak perlu dipikir panjang,” terang Bu Ranti.
Beni mengangguk, namun dalam dirinya masih menyimpan beribu pertanyaan yang ditujukan kepada Andin. “Te, apa ada yang salah ya dengan surat yang baru aku bawakan untuk Andin?” tanya Beni lagi.
Bu Ranti menaikkan kedua bahunya, seolah tak mengerti apa yang harus ia katakan dan lakukan. Beni tetap menanti jawaban Bu Ranti, padahal ia tahu kalau Bu Ranti juga sedang bingung saat ini. Beni kembali mengayunkan dua tangannya di depan Bu Ranti. Bu Ranti tersenyum kecil, “sudah Nak Beni, kamu gak usah berpikir yang macam-macam,” tandas Bu Ranti.
Beni mengiyakan permohonan Bu Ranti, yang nyatanya Beni masih ingin menelaah apa yang sebenarnya terjadi. Merasa suasana di ruang tamu semakin bisu, Beni memutuskan beranjak dari sofa yang didudukinya lalu kembali ke rumahnya.
“Hmm, Te, kalau begitu aku pamit pulang dulu, ya,” pamit Beni seraya merapikan pakaian yang ia kenakan.
“Oh iya, terima kasih ya Nak Beni sudah menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah Tante,” Bu Ranti menyusul Beni dari belakang.
Setibanya di depan pagar rumah, Beni melambaikan tangannya. Tiba-tiba Bu Ranti menarik pelan tangan kiri Beni dan berbisik, “Nak Beni, kamu merasa ada yang gak beres kah sama Andin?” tanyanya. Beni menelan ludahnya dalam-dalam, “awalnya sih tidak, Te. Tapi, semenjak melihat tingkah Andin yang seperti itu, aku yakin ada sesuatu yang harus diselesaikan,” Beni mencoba menjawab.
Bu Ranti menjentikkan jemarinya. Bu Ranti seperti menemukan ide yang begitu cemerlang, Bola mata Bu Ranti yang tadinya sayu, kini terbelalak diiringi dengan senyum ceria yang terlukis, “Tante punya ide, tapi entahlah jika kamu tidak sepakat dengan ini,” kata Bu Ranti.
Beni menaikkan kedua alisnya, mengulum bibirnya, “apa itu, Te? Coba aku dengar dulu idenya, kalau bagus ayo kita laksanakan, kalau tidak bagus ayo kita perbagus lagi, hehe.” Kata Beni.
Bu Ranti lebih mendekatkan badan ke Beni, berusaha berbicara pelan tepat di telinga Beni. Walaupun tinggi Bu Ranti tak setinggi Beni, Bu Ranti mejinjit dengan baiknya. Kurang lebih lima belas menit, Bu Ranti usai membisikkan sesuatu ke telinga Beni. Beni tampak mengangguk saja, dan paham apa yang diinginkan oleh Bu Ranti.
“Gimana ide Tante? Ayo kasih pendapat dong,” tanya Bu Ranti.
“Ya, gimana ya, Te, agak berat sih, cuman ayo kita coba dulu,” jawab Beni.
“Kira-kira kamu bisa berhasil gak?” tanya Bu Ranti sekali lagi.
“Gak tau, Te, kan belum dicoba. Kalau gak sesuai ekspetasi ya maaf ya Te,” balas Beni.
“Iya, iya gak apa-apa, yaudah kamu pulang saja dulu, istirahat,” Bu Ranti pun mengakhiri pertemuan hari itu dengan melambaikan tangan ke Beni seraya naik ke mobil putihnya.
Brum… brum… brum…
Mobil Beni berusaha membalikkan arah ke arah gapura luar yang semula ia masuki. Jalan yang terbilang sempit tersebut, membuat Beni kewalahan mengatur mobilnya untuk keluar.
“Udah masuknya susah, keluarnya susah, eh dikasih tugas yang sesusah itu pula, nasib, nasib!” seru Beni di dalam mobilnya, sambil menatap kata spion untuk melihat kondisi di belakang mobilnya.
***
Pagi itu, ruang redaksi sama seperti biasanya, dihadiri awak-awak redaksi yang setia mencari isu dan menggali informasi. Beni yang sudah duduk rapi di atas kursinya, segera membuka laptop untuk melanjutkan desain yang diinginkan Kinan dua hari yang lalu. Beni bakal malas ketika mendengar Kinan terus menagih tugasnya.
Lima belas menit kemudian…
“Beni,” sapa Kinan, tapi tidak menoleh ke arah Beni. Beni menepok jidatnya dan berbatin, “tuh kan, apa aku bilang, pasti ditanyain terus.”
“Iya, Tan, ada apa?” balas Beni dengan nada tenang.
“Desainnya sudah sampai mana?” tanya Kinan lagi. Beni menghela napas panjang, “muak banget dengar kata-kata itu, sudah beratus kali semenjak aku kerja disini,” batin Beni menyeru lagi.
“Dikit lagi,” jawab Beni singkat.
“Dikit apa banyak? Jangan sampai kamu berbohong lagi ya,” Kinan mulai sewot.
“Bohong apaan? Kan aku beneran ngerjain sisa dikit,” balas Beni.
Kinan membalikkan badan, melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kinan menatap Beni tajam, bola mata Beni sudah melihat kesana-kemari.
“Apa kamu bilang barusan?” kata Kinan.
“Sisa dikit,” ucap Beni tak kalah sewot.
Kinan beranjak dari tempat duduknya, melangkahkan kakinya ke arah Beni. Tak.. tuk.. tak.. tuk.. suara sepatu heels yang ia kenakan mengiringi langkahnya yang membuat Beni deg-degan.
“Coba lihat mana hasil kerjamu yang aku minta dua hari yang lalu,” Kinan mendekatkan wajahnya ke Beni. Tak kuasa, Beni pun mengeluarkan air keringat yang membasahi dahi-dahinya. Beni tak bergerak, ia masih di posisi semua dengan badan yang menghadap laptop hitam.
Kinan memiringkan kepalanya ke kanan, berusaha melirik apa yang sedang dikerjakan Beni. “Beni, dengar aku ngomong gak?” seru Kinan dengan nada yang sedikit meninggi.
“Iya dengar, udahlah kamu positif thinking aja sama aku, aku kerjain kok, tenang aja,” jawab Beni santai.
“Hah? Tenang aja? Halo Beni! Aku nanya lagi deh, berapa kali tugas yang kamu kerjakan melebihi tenggang waku?” Kinan bertanya sembari membesarkan bola matanya.
“Baru juga satu,” kata Beni santai.
“Hah???? Coba ngomong lagi, yang keras dong!” Kinan tampak semakin jengkel.
“Apaan sih Kinan, kamu ini mengganggu konsentrasiku saja, kerjakan tugas yang diamanahkan padamu, begitupun aku,” ujar Beni yang merasa diusik kerjaannya.
“Beni, aku kasih tau kamu ya, kamu ini sudah berkali-kali mengerjakan tidak sesuai waktu dan hasilnya kacau. Akan tetapi, aku masih berbaik hati untuk menerima kamu tetap bekerja disini, lho!” terang kinan.
“Iya, maaf deh,” Beni memelankan suaranya.
“Sekarang sudah sadarkah berapa banyak tugas yang kamu kerjakan dan tepat waktu?” tanya Kinan lagi.
“Gak tau,”
“Kalau tugas yang kamu kerjakan melebihi deadline, ada berapa?”
“Lebih dari lima, Kinan,” kata Beni.
“Nah, jadi….”
“Sudahlah, iya aku akan berubah, mulai dari sekarang!” Beni sengaja memotong perkataan Kinan. Beni sudah enggan mendengar ceramah dan siraman ocehan dari Kinan. Mules aja gitu bawaannya.
“Bener, ya?” Kinan pun memastikan.
“Iya, Kinan, janji deh,” Beni berjanji.
“Oke, aku pegang janji kamu. Tolong ya Beni, Cuma kamu satu-satunya awak redaksi yang aku percaya buat kerjain desain. Apalagi untuk berita yang darurat, butuh cepat edit dan posting!” terang Kinan.
Beni tampak mengangguk saja. Kinan kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan kerjaan yag tertera di kertas putih. Beni menatap Kinan dari jauh, “maaf ya Kinan, aku sudah terlanjur ilfeel sama kamu, jadi aku gak mood gitu kalau ngerjain tugas dari kamu,” kata-kata itu hanya bisa diucapkan Beni dalam hati. Ya, Beni juga sebenarnya takut jika Kinan marah dan memecat dirinya.