Narasi Awal (1)

1250 Kata
Andin membaca kembali berita-berita terdahulu yang pernah dibuatnya. Berawal dari penemuan bayi di belakang sekolahnya itu, membuat Andin mengerti bagaimana dunia menjawab pertanyaan para manusia. Dari situ pula Andin menyadari bahwa musibah yang dihadapin seorang manusia, berbeda-beda takarannya. Dan untuk pertama kalinya Andin menggendong bayi yang tidak bersalah itu, yang ditelantarkan oleh kedua orang tuanya. “Dari bayi itu aku belajar memahami hidup, bahwa dunia bisa saja langsung mengerasi manusia karena suatu hal. Tanpa disangka, bayi itu mengalami hal paling berat semasa hidupnya,” tukas Andin. Bayi yang belum bisa berbicara bahkan belum bisa membuka matanya itu, harus menerima kenyataan kalau dirinya tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, bayi tak bersalah itu sudah tenang di pelukan bidadari surga. Banyak bidadari yang merawatnya dengan baik, hingga bayi itu tumbuh dewasa mirip bidadari surga pula. Sudah sepantasnya sosok bayi mendapatkan tempat yang layak, baik, dan dikelilingi orang-orang baik pula. “Tak mengapa kamu tidak bisa merasakan setahun hidup di dunia, yang penting kamu bisa bertemu orang-orang terbaik yang akan menuntunmu ke surga,” seru Andin. Di malam itu suasana semakin mengalun. Di selingi dari suara kaset lawas WestLife, yang diputar oleh Bu Ranti dari ruang tamu. Suara personil boyband dari barat itu, memasuki telinga Andin dengan ramahnya. Ibaratnya, tidak ada cela untuk mencela. Dan juga, malam hari adalah waktu terbaik untuk kembali intropeksi diri, dan bersyukur dengan semua yang terjadi di dunia ini. “Loh, kamu belum tidur, Din?” tanya Bu Ranti yang mendatangi kamar Andin, dan menghampiri Andin yang duduk di dekat jendela. “Belum, Ma. Bintang dan bulan mala mini cukup terang, cahaya mereka masuk tanpa permisi ke kamarku. Jadinya, silau deh susah tidur,” jawab Andin. “Masa? Biasanya juga bintang dan bulan itu bersinar kayak gini kok. Andin … cerita saja sama Ibu kalau ada masalah,” ujar Bu Ranti yang seperti tahu betul apa yang dirasakan anaknya itu. “Eng … enggak ada kok, Bu. Beneran deh,” Andin menunjukan wajah semringahnya. “Din, kamu tahu gak? Tempat curhat terbaik seorang anak itu berada pada keluarganya, terutama orang tua,” tukas Bu Ranti yang memberikan sebuah kode, kalau Andin harus bercerita tentang apa yang dirasakannya. “Karena orang tua dan anak itu punya feeling yang saling mengikat. Salah satu diantara mereka ada yang tidak enak di hati, pasti merasakan bareng-bareng, kok,” lanjut Bu Ranti. Andin memandangi wajah Bu Ranti dengan hidung mancung dan mata yang besar itu, tampak sosok bidadari dunia untuk Andin yang sudah mengisi hari-hari Andin begitu menyenangkan. “Dan apa yang dikatakan Mama tadi, memang benar adanya, Ma. Aku sedang rindu … “ ungkap Andin seraya memeluk kedua dengkulnya. “Rindu siapa? Kamu sedang jatuh hati, Nak?” tanya Bu Ranti yang membuat Andin terkekeh. “Kok Mama langsung ngomong kayak gitu, sih? Kalau aku jatuh hati, pastinya merenung dan senyum-senyum sendiri dong, Mama kayak gak pernah muda aja. Tapi, kali ini rindunya bukan soal jatuh hati Ma,” Andin menegaskan. Bu Ranti mengelus rambut Andin, “Hehehe, maaf kalau Mama sok tahu. Lantas, kamu rindu siapa?” Bu Ranti memandang wajah puteri tunggalnya itu. Andin mengubah posisi duduknya ke arah Bu Ranti. “Ma, Mama ingat kan saat pertama kali aku menulis berita? Berita itu tentang bayi yang dibuang di belakang sekolahku, masih ingat gak Ma?” tanya Andin. Bu Ranti menganggukan kepalanya. “Masih, kenapa memangnya, Nak?” “Nah, aku rindu sama bayi itu, Ma. Mama tahu gak sih, pertama kali aku menemukan bayi itu, rasanya seperti melihat malaikat kecil hadir di hidup aku. Tapi, aku merasa bersalah dan gagal total karena tidak bisa membiarkan bayi itu hidup lebih lama, Ma … “ jelas Andin mengingat kejadian pertama yang tak bisa ia lupakan itu. Tak terasa, air mata menetes dari pelupuk matanya. Bu Ranti yang mempunyai hati lembut itu, langsung mendekap puteri tunggalnya yang bersembunyi di balik air mata. “Din, bayi yang waktu itu kamu tolong, dia sudah bahagia sekali di Surga. Dia malah berterima kasih sekali sama kamu, yang sempat mendekapnya dalam hangat. Dia juga berterima kasih kok karena kamu juga memberinya kain penghangat untuknya,” ucap Bu Ranti yang bermaksud menenangkan Andin. “Tapi, aku benar-benar gagal menolong bayi itu, Ma … andai saja waktu itu aku berangkat ke sekolah lebih cepat, pasti bayi itu bisa bertahan hidup sampai sekarang, dan tinggal bersamaku, Ma,” tegas Andin yang menahan isak tangisnya. Bu Ranti membelai rambut Andin, “Din, berhenti menyalahkan diri kamu sendiri ya, apa yang kamu lakukan itu sudah lebih dari terbaik. Sudah lebih dari orang baik lah pokoknya. Mama juga bangga kamu bisa menjadi penolong bayi itu. Dan soal umur, kamu paham sendiri kan, Tuhan memberi umur hidup dan mati manusia itu secara rahasia. Kita tidak bisa langsung menuduh kematian seseorang semata-mata karena diri kita sendiri. Semuanya sudah diatur sama Tuhan,” tutur Bu Ranti dengan lembutnya. Andin pun berusaha memberhentikan tangisnya, walaupun ingatan-ingatan soal bayi itu terus terlintas saat ini di kepalanya. Andin memang anak tunggal dari orang tua yang sudah tidak bersama lagi alias broken home. Makanya, ketika menemukan seorang bayi suci yang baru lahir itu, hasrat dan jiwa Andin sebagai kakak langsung tumbuh. Andin merasakan kesepian di rumah ini, di saat Bu Ranti kerja keras bagai quda. Dan dirinya juga memaksakan diri untuk mencari kegiatan-kegiatan positif lainnya. “Mama tolong berdoa juga buat keselamatan bayi itu ya, Ma … “ pinta Andin. “Pasti, Mama sudah menganggap kalau bayi itu adalah adik kamu, loh,” terang Bu Ranti yang mengelus rambut Andin sekali lagi. “Pertama kali melihat bayi itu dari foto, rasanya ada kemiripan kayak kamu, Din,” tukas Bu Ranti. “Oh ya? Apanya yang mirip, Ma?” Andin memandang Bu Ranti. “Malahan aku tidak merasa kalau dia mirip aku, soalnya kan wajah bayi di umur segitu wajahnya sulit teridentifikasi,” balas Andin. “Dia mirip sama kamu … hidungnya sama-sama mancung … tapi ke dalam, hehehe,” celetuk Bu Ranti dan membuat bibir Andin tersenyum lebar. “Ah, Mama ini bisa-bisanya ngejek aku, udah malam bukannya tidur malah ngejek nih!” Andin menyeka sisa air matanya yang sudah tidak menetes itu. “Heheh sengaja, biar anak Mama yang paling cantik seantero jagad raya ini tidak menangis lagi. Sayang kalau air matanya keluar terus-menerus, jadi berlian enggak, jadi emas pun enggak. Jadi, sia-sia, kan?” canda Bu Ranti sekali lagi, dan kali ini Andin mencubit pelan lengan Bu Ranti. “Mama paling jago ngelawak, nanti ikut audisi jadi stand up comedy Indonesia, gimana Ma?” Andin gantian menyeletuk lucu. “Gak ah, Mama pasti gak laku! Hehehe. Kan yang dicari orang TV itu standar industri banget yang putih, tinggi, cantik, langsing, sedangkan Mama?” Bu Ranti menatap tubuhnya. “Tidak sama sekali,” lalu Bu Ranti menggelengkan kepalanya. “Mama mau ikutin standar industri gak biar masuk TV? Aku tahu caranya, loh!” tawar Andin. Namun Bu Ranti menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Gak usah, gak usah! Nanti kalau Mama beneran terkenal, siapa dong yang jagain kamu di rumah? Kamu pasti bakal kangen sama Mama toh?” “Percaya diri banget nih si Mama!” Andin menjulurkan lidahnya ke Bu Ranti. Kamar Andin yang disoroti cahaya terang dari bintang dan bulan malam itu terasa b*******h. Tawa dari kedua perempuan yang duduk di dekat jendela itu, menambah suasana harmonis yang menyatukan hati. Beginilah aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan seorang single parent kepada anak tunggalnya. Bu Ranti harus bisa membuat Andin bersemangat, pantang menyerah, dan tidak berlarut dalam kesedihan. Sehingga, Andin tidak merasa sendiri dan kesepian di dunia ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN