Ribut

1161 Kata
“Mie pangsit bakso satu, es jeruk satu!” seru Pak Leon, mengarah pada bibik kantin yang baru saja memberi Beni makanan. Pak Leon kembali memperbaiki posisi duduknya, Beni yang sudah tidak napsu menghabiskan siomaynya, langsung menaruh sendok dan garpunya. Seketika Beni berhenti melanjutkan makannya. “Pak? Maaf..” kata Beni dengan terbata-bata. “Ada apa? Apa kamu ada salah sama saya sampai-sampai meminta maaf?” tanya Pak Leon, ia menopang dagunya sambil menunggu jawaban dari Beni. “Eng.. eng.. ya maaf atas ketidakdisiplinan saya yang ke kantin di luar jam istirahat,” jawab Beni halus, dan menunduk pasrah menunggu tanggapan Pak Leon. Pak Leon menyeritkan dahinya, ia memajukan wajahnya ke wajah Beni. Jelas sekali terlihat Beni sedang gugup. Sesuatu hal menjalar di pikiran Beni. Beni merasa bersalah atas kenakalannya yang makan di luar jam istirahat. Tak tahan melihat Beni yang gugup dan pucat seperti itu, Pak Leon pun juga tak tahan perutnya menahan lucu. “Kamu sudah tidak makan berapa hari?” kata Pak Leon tegas. “Dari pagi sih Pak, semalem saya sudah makan. Nambah dua kali,” jawab Beni. “Oh pantesan saja kamu buncit,” balas Pak Leon dengan raut wajah yang masih tegas. “I.. i..ya Pak. Kalau soal perut buncit saya, itu di luar kendali saya, itu bahkan di luar kemauan saya, Pak,” ucap Beni yang melirik perut buncitnya yang kian hari tidak mengempes. “Hahahahaha,” Pak Leon tertawa sambil memegang perutnya. Beni terkejut Pak Leon bisa tertawa lepas seperti itu, sementara Beni baru saja mengakui kesalahan yang ia perbuat. Beni tetap tenang, berharap semoga semua baik-baik saja, “Tidak mengapalah Pak Leon tertawa, semoga saja apa yang aku ucapkan tadi langsung dilupakan semua,” harap Beni penuh dalam hatinya. “Kamu tau kan apa yang akan saya berikan ke karyawan kalau mereka melanggar aturan tertulis, apalagi aturan itu sudah diberlakukan bertahun-tahun lalu,” Pak Leon mulai membuat jantung Beni kembali gelabakan. “Ya elah, baru aja didoain sudah tidak di dengar oleh Tuhan,” batin Beni. “Beni, ayo dijawab pertanyaan saya yang barusan. Apa kamu tidak mengerti? Atau malah pura-pura tidak tau apa yang saya katakana?” Pak Leon melanjutkan lagi pertanyaannya. “Bagi yang melanggar aturan, pasti akan diberi hukuman, Pak,” Beni mencoba menjawab dengan penuh kehati-hatian. “Benar sekali, dan kalau menurutmu hukuman seperti apakah yang harus saya berikan kepada kamu?” Lagi-lagi pertanyaan Pak Leon membuat Beni enggan menjawab. “Hmmm,” Beni hanya bergumam. Teng.. teng.. teng.. Waktu istirahat telah tiba. Seluruh karyawan diharapkan istirahat sampai dengan tiga puluh menit kedepan. Sekali lagi, waktu istirahat telah tiba. Pengumuman yang muncul dari pengeras suara yang terpasang di pelapon kantin, mengeluarkan kata-kata yang membuat seluruh karyawan keluar dari ruang kerjanya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Kinan, ia turut keluar dari ruang redaksi dan melangkahkan kakinya menuju kantin. Kinan melewati meja yang di kiri kanannya diduduki oleh Pak Leon dan Beni. Tak.. tuk.. tak.. tuk.. bunyi high heels biru yang dikenakan Kinan bermelodi seraya volumenya bertambah ketika mendekati Beni dan Pak Leon. Beni dan Pak Leon spontan menoleh ke arah Kinan dan segera memberi senyuman. Namun, Beni tidak dihiraukan oleh Kinan. “Halo Pak Leon, gimana dengan dinasnya? Apakah baik-baik saja?” Kinan langsung menggapai tangan kanan Pak Leon dan memberikan salam. Senyum lebar Kinan yang khas pun turut ia keluarkan seraya bertanya ke Pak Leon. “Baik-baik saja, lah. Oh ya, berita kamu untuk minggu ini sudah diselesaikan kah? Atau ada beberapa kendala untuk menyelesaikannya?” tanya Pak Leon yang tak kalah ramahnya. Melihat pemandangan itu, Beni merasa kesal dan campur aduk. “Idih, Kinan ini jago banget cari muka di depan Pak Leon, bagaikan peri baik hati yang tidak mungkin menyakiti anak kecil,” ujar Beni dalam hati. Tak ingin pembicaraan berhenti sampai situ saja dengan Pak Leon, Kinan segera mengambil kursi kosong dan diletakkan tepat di samping Pak Leon. Jadi, mereka duduk bertiga di meja yang sama, Kinan, Beni, dan Pak Leon. “Duh, makin mules deh perut gue harus lihat muka Kinan dan dengerin cocotannya,” seru Beni dalam hati. Kinan pun melanjutkan pembicaraan dengan Pak Leon selesai ia mengambil kursi kosong. “Syukurlah berita minggu ini sudah selesai semua, wartawan magang baru yang barusan diangkat juga sudah jago dalam mencari dan menulis beritanya,” info Kinan. Wajah Pak Leon semakin bersemangat, “Serius? Wah tidak sia-sia dong kita mengambil anak magang kemarin, artinya kan sudah bisa menggantikan posisinya Andin,” kata Pak Leon. “Ya begitulah, Pak. Semoga media kita semakin progressif, produktif, dan yang terpenting tidak pernah menyebarkan hoax,” jelas Kinan. “Siap, siap. Itu sudah semboyan kita sejak media ini berdiri. Jadi, kamu sudah tidak punya kendala kan bekerja di ruang redaksi?” tanya Pak Leon. “Kendala? Hmm, oh iya ada Pak! Saya ada kendala di bagian desain. Padahal itulah hal yang menarik untuk dimuat di berita kita,” jawab Kinan. Kinan tak melirik apapun ke arah Beni, seperti tidak ada sesuatu hal yang menarik di diri Beni oleh Kinan. “Ih, kalau kamu cowok, pasti udah aku ajak kelahi, Kinan!” gemas Beni. “Oh ya? Memangnya ada apa dengan desainnya?” kata Pak Leon. “Ya tanya aja dengan orang yang bersangkutan,” ucap Kinan sambil melirik sinis ke arah Beni. Beni yang sudah kesal dari tadi, membalas tatapan sinis Kinan. Pak Leon melempar pandangannya ke Beni, sambil melipat tangannya di atas meja makan, Pak Leon memberi pertanyaan ke Beni, “Beni, ada apa dengan desain di ruang redaksi?” “Baik-baik saja, Pak,” balas Beni. “Sungguh? Kata Kinan barusan ada kendala di bagian desain. Kalau kamu ada kesulitan atau masalah, langsung lapor ke saya aja.. atau diskusikan langsung dengan Kinan baik-baik,” perintah Pak Leon. “Udahlah, kamu ngomong aja apa yang kamu lakukan selama ini, gak usah sok-sok semua akan baik-baik saja,” tandas Kinan bernada angkuh. “Beni, ayo katakan saja. Saya tidak akan marah, malahan saya akan berusaha mencari solusi supaya kendala lainnya tidak terulang,” ucap Pak Leon. “Baiklah, saya harus katakana apa yang saya resahkan dari dulu. Pak Leon, dari dulu saya tidak menyukai cara Kinan yang menyuruh anggota lainnya untuk cepat-cepat menyelesaikan tugas dengan deadline yang sangat singkat,” jelas Beni. “Hah? Apa? Kamu gak usah cari masalah deh ya!” Kinan langsung memberhentikan Beni berbicara. “Maaf Kinan, dengarkan aku dulu. Aku belum selesai berbicara,” “Kinan, tolong jangan emosi terlebih dahulu ya,” ujar Pak Leon. Kinan merasa dirinya dianggap salah oleh Beni. Hal itu membuat Kinan marah dan menyimpan emosinya rapat-rapat di dalam kepalanya. Terlebih lagi, suasana di kantin itu semakin lama semakin ramai dan panas diiringi banyaknya karyawan yang nongkrong. “Beni, ayo lanjutkan lagi apa yang mau kamu katakan,” kata Pak Leon. “Pak Leon, saya sudah tidak terima loh dengan pernyataan barusan dari Beni. Dia itu mengada-ngada! Saya sudah memberikan deadline yang masuk akal kepada semua awak redaksi!” belum dimintai keterangan, Kinan langsung saja mengaku. “Masuk akal dari mananya? Deadline dengan waktu singkat dengan arahan tugas yang gak jelas. Begitukan cara kerjamu selama ini?” tandas Beni. “Arahan tugas yang gak jelas seperti apa? Mana buktinya!” “Oh kamu mau bukti? Aku kasih bukti, tapi awas kalau kamu tidak mengaku!” ucap Beni yang langsung meninggalkan meja itu. Tak lupa Beni membayar siomay dan es campur yang sempat ia cicipi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN