Jederrrr! seketika Andin merasa dirinya mampu melihat apa saja yang akan terjadi. Andin membuka matanya, ia baru sadar kalau telah masuk ke alam bawah sadar. "Benarkah semua mimpi yang aku rasakan tadi?" Andin mengucek matanya, merasa sesuatu yang tidak baik akan terjadi dikemudian hari.
"Haruskah aku melanjutkan ini semua dan membuang segala ketakutanku?" batin Andi menerka.
Andin menatap sekelilingnya, masih biasa saja dan aman.
Andin memegang seluruh anggota tubuhnya, masih biasa saja dan aman. Lantas, apa yang membuat dirinya begitu cemas?
"Ya, kejadian yang akan datang," serunya lirih.
Ceklek. Bu Ranti membuka kamar Andin. Andin langsung beranjak dari tempat tidurnya dan memeluk Bu Ranti. Bu Ranti kebingungan.
"Ada apa, Nak?" tanya Bu Ranti.
"Aku masih diberi kesempatan Ma sama Tuhan," jawab Andin.
"Maksud kamu?"
"Kesempatan untuk merubah sesuatu yang buruk di masa depan,"
"Caranya?"
"Hmmm," Andin berpikir sambil menelaah mimpi yang diingatnya.
“Din, kalau mau tidur itu berdoa dulu ya, biar mimpinya gak aneh-aneh kayak gitu,” seru Bu Ranti pada anaknya itu.
Dada Andin masih sesak, kejadian-kejadian yang berjalan di mimpinya tadi terasa nyata. Andin bisa merasakan seperti kembali ke masa lalu soal permasalahan yang berhasil ia pecahkan. Mulai dari penemuan bayi, kecurangan Karin saat menjabat menjadi pemimpin redaksi, dan soal Rezvan yang memakan uang ospek kampus.
“Kenapa ya Ma, tiba-tiba aku dihadapkan dengan mimpi yang mengusik hidupku? Isinya buruk semua lagi!” pikir Andin.
“Kamu mau tahu apa penyebab kamu mimpi buruk?” tanya Bu Ranti. Andin pun angguk-angguk.
“Sebenarnya jawabannya ada di dalam diri kamu sendiri, sih. Kalau dari ilmu kedokteran yang pernah Mama baca di internet, kalau kamu mimpi buruk itu berarti kondisi diri kamu ini sedang tidak baik-baik saja. Kamu terlalu cemas dengan banyak hal hingga menyebabkan kecemasan itu ikut masuk ke dalam mimpi. Atau, bisa jadi kamu terlalu lelah seharian ini. Kamu menyadari hal itu, gak?” terang Bu Ranti.
“Sebenernya untuk perasaan cemas sendiri, aku tidak terlalu berat memikirkannya sih. Paling ketika sudah tidur, kecemasan itu mereda sedikit demi sedikit. Hmm, mungkin karena aku terlalu banyak dan lelah bergerak seharian ini,” Andin pun menyadari kenapa dirinya bisa mimpi buruk.
“Nah itu dia … ya udah malam ini kamu bobo sama Mama saja ya, biar Mama peluk sampai pagi,” ujar Bu Ranti yang memberikan selimutnya pada Andin.
“Terus, Mama pakai selimut yang mana, dong?”
“Kita pakai berdua lah. Mama juga kalau tengah malam suka kedinginan loh, dan butuh selimut. Jangan rebutan ya!” tukas Bu Ranti.
Andin terkekeh. “Siapa juga yang rebutan selimut, Ma? Kayak anak kecil aja.”
“Loh, semasa kamu kecil itu, kamu selalu rebutan selimut sama Mama. Jadi sekarang Mama memberi warning dulu, hehehe,” kata Bu Ranti yang langsung menyembunyikan badannya di bawah selimut.
“Hahaha, itu kan dulu Ma. Sekarang loh Andin sudah besar dan gak mau rebut-rebut kayak gitu lagi,” tukas Andin.
“Ya baguslah kalau gitu. Dah, sini lanjutin tidurnya, sudah malam banget ini.. jam setengah dua pagi tuh,” ujar Bu Ranti yang sempat melirik jam di kamarnya.
“Iya, Mama cantik … Oh ya, Mama gak mau dongengin atau nyanyiin lagu untuk aku? Biasanya kalau kebangun gini, aku suka susah tidur,” ucap Andin.
“Aduh Din … ini sudah malam loh, kamu malah nambah-nambahin kerjaan Mama. Mama peluk aja ya,” balas Bu Ranti yang mendekap kepala Andin di dadanya. Bu Ranti pun tak ketinggalan untuk membelai rambut halus anak semata wayangnya itu.
“Hmm, kalau peluk kamu kayak gini, jadi ingat pertama kali kamu hadir di dunia untuk Mama. Mama mendengar tangis kamu untuk pertama kalinya, dan Mama langsung meletakan badan mungil kamu di d**a Mama. Lalu, kamu tenang,” cerita Bu Ranti ditengah-tengah matanya yang mau tertutup.
“Tuh kan, malah Mama sendiri yang nambah kerjaan. Katanya mau bobo, itu kok ngedongeng?” sentil Andin yang sudah pelan-pelan menutup matanya.
“Hehhe maaf, Mama khilaf. Dah, tutup matanya ya anakku cintakku sayangku yang paling cantik sedunia,” Bu Ranti lantas mengelus alis hingga mata Andin itu.
***
Mumpung di kantin ini bertemu dengan Pak Leon, ada sesuatu yang ingin diungkapkan oleh Beni perihal masalah di redaksi. Terlebih lagi soal Kinan yang makin hari makin membuat Beni muak tak karuan. Dikit dikit disalahin, dikit dikit disuruh ngulang … emangnya Beni mau apa digituin? Capek tau!
“Pak, Pak Leon ada waktu banyak gak kira-kira sekarang?” tanya Beni sebelum meluapkan cerita yang sebenar-benarnya.
“Gak terlalu sih, emangnya ada apa, Ben?” jawab Pak Leon.
“Gini, Pak, saya mau cerita soal teman-teman yang ada di redaksi. Saya juga gak enak hati mau memendam ini terlalu lama, yang ada bikin saya sakit hati,” terang Beni.
“Oh ya udah, jelaskan saja, ini saya dengarkan kok,” Pak Leon menyilakan kedua tangannya di atas meja, dan memantang tajam Beni yang ingin berbicang dengannya.
“Pak, tapi mohon maaf natapnya jangan kayak gitu ah, saya hmm … risih, Pak,” tukas Beni yang menyadari ada yang salah dari tatapan Pak Leon itu.
Gimana gak risih coba, Pak Leon seorang laki-laki yang sudah beristri, menyipitkan matanya ke Beni dan sempat-sempatnya mengedip-ngedip. Beni kan jadi ingat sama banci yang ada di pinggiran pohon beringin waktu itu. Wajar aja lah Beni risih. Beni gak mau dideketin banci apalagi dikejarin banci kayak waktu dulu, bikin trauma tau nggak. Sampai rumah pun gak bisa tidur karena kebayang kedipan mata dari banci tersebut.
“Oh maaf, saya kelilipan, Ben. Kamu jangan mikir yang enggak-enggak ya, saya bukan homo!” ujar Pak Leon dan mengambil sapu tangan bersih dari kantong jasnya.
SRET! Sapu tangan itu pun mengelap kedua mata Pak Leon yang bersembunyi di balik kacamata minusnya. “Nih sudah, biar kamu gak risih. Sekarang silakan cerita apa yang mau kamu obrolkan,” ucap Pak Leon.
Rupanya Pak Leon sudah siap saja mendengarkan cerita dari Beni. Kadang-kadang Pak Leon auto jadi tegas dan perhatian sih. Tapi, tak jarang juga Pak Leon bersikap semena-mena dan hanya menyayangi Kinan sebagai karyawan paling teladan di sini.
“Jadi gini Pak, saya kan sudah lama bekerja di media ini dan langsung masuk ke bagian redaksi. Teman-teman kerja saya cukup baik diajak kerjasama sih, hanya saja ada satu orang yang menurut saya kurang koorperatif. Dia bersikap semaunya, dan selalu saja menyalahkan rekan kerja yang lain. Sedangkan dirinya? Tidak mau disalahkan sedikitpun,” Beni membuka obrolan itu dengan penuh kefokusan seraya menatap kedua mata Pak Leon. Kebiasaannya Beni itu, kalau cerita harus ada intonasinya di awal. Hehehe.
“Siapa karyawan yang kamu maksud itu, Ben? Langsugn sebutkan saja,” tanya Pak Leon yang langsung menembak nama.
“Ada, Pak … namanya … “ belum saja mengungkapkan siapa pelaku itu, pesanan Beni sudah datang di mejanya. Karena sudah keburu lapar, Pak Leon baru ingat kalau dia belum memesan apapun.
“Makan duu deh Ben, pembicaraan kita ini serius banget, dan butuh tenaga yang banyak,” ucap Pak Leon. Di situlah Beni melengos, ini bukanlah waktu yang tepat untuk melapor ke Pak Leon.