Andin membuka laptop yang sudah ia letakan di atas meja kamarnya. Ia mencari-cari data dari hasil liputannya yang terdahulu. Andin pun membuka folder yang berjudul, “Kebenaran di atas kebenaran,” yang sering ia buka untuk menyimpan data liputan selama bekerja di media.
“Rindu tapi banyak sekali perjuangannya,” ucap Andin ketika membuka satu per satu file yang disimpannya.
Andin memberikan senyum lebar di depan layar laptopnya pasca melihat kenangan yang dirasakannya. Apakah Andin ingin mengulang masa-masa itu? Sontak, batin Andin berkata ragu, “maju mundur dan tidak bisa dipastikan apakah aku akan melanjutkannya,” ragunya.
Tok.. tok.. tok..
“Andin, ayo keluar, ada tamu yang mencari dirimu,” seru Bu Ranti dari balik pintu kamar.
Pandangan Andin berhenti menatap kenangan itu, ia segera mencari asal suara Bu Ranti. “Siapa. Ma?” tanya Andin. “Hmm, tumben aku ada tamu, rupanya masih ada yang mencari keberadaanku,” batin Andin.
“Nak Beni yang mencarimu, Nak, ayo segera keluar. Ada hal penting yang ingin disampaikan,” balas Bu Ranti.
Andin berpikir, bisa-bisanya Beni ingin mengatakan sesuatu yang penting kepada Andin, “biasanya Kak Beni selalu bercanda dan tidak pernah mengobrol intim dengan aku selama di redaksi,” kata Andin.
“Ma, seriusan itu Kak Beni? Mama gak bohongan kan? Gak ada unsur prank sama sekali, kan?” Andin memastikan.
“Ya elah Andin, sungguh. Mama gak pernah mau bohongin kamu, lho!” ujar Bu Ranti. “Cepetan ya, kasihan loh kalau Nak Beni nunggu lama-lama, kamu dandannya gak usah kelamaan!” sambung Bu Ranti, dan kemudian suara dari balik pintu milik Bu Ranti itu hilang.
Andin mengiyakan perintah Bu Ranti, ia langsung mematikan laptopnya yang sedang menyala dan membenahi pakaiannya. Andin melihat di cermin akan dirinya, “ganti baju atau tidak, ya? Ini baju tidur dan aku takut tidak sopan di hadapan Kak Beni,” pikir Andin.
Andin menegok ke arah hanger hitam yang berada di samping meja belajarnya, “nah, kayaknya pakai ini saja lah, aku rasa jadi tidak terlalu santai,” Andin merogoh blazer merah maroon yang panjangnya sampai lututnya. “Lumayan,” Andin menjentikkan jemari dan meninggalkan cermin itu.
Andin menatap ruang tamu, dan memang benar disana sudah ada Beni yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat muda. Mendengar langkah kaki Andin yang menghampiri ruang tamu, Beni melemparkan pandangan ke arah Andin yang sebelumnya fokus pada ponsel barunya.
“Andin..” sapa Beni dan langsung menaruh ponselnya di kantung jaket kulitnya.
“Halo Kak Beni, tumben kesini,” balas Andin.
“Hah? Kok tumben sih, perasaan aku sudah pernah kesini deh,”
“Iya, memang pernah, tapi kan waktu itu cuma sekali. Lagian itu sudah berminggu-minggu yang lalu,” kata Andin.
“Biasalah, orang sibuk,” jawab Beni sombong.
“Wah, sekarang sibuk apa, Kak? Apakah Kak Beni masih sibuk di redaksi bersama Kak Wendi, Kak Naira, dan Kak Kinan?” ucap Andin.
Beni menganggukkan kepalanya. “Hmm, ya seperti biasanya, kamu kan juga paham sendiri karena sudah pernah mengalaminya,” kata Beni santai.
“Oh begitu,” balas Andin menganggukkan kepalanya menandakan paham.
“Eh iya Din, kamu sibuk apa sekarang ini?” tanya Beni.
“Hmm, gak sibuk apa-apa sih, Kak, cuma merenung saja,” jawab Andin.
“Andin itu mau Tante suruh mempersiapkan tes untuk masuk jurusan Kimia saja. Sebentar lagi penerimaan perguruan tinggi, jadi Andin harus belajar,” Bu Ranti yang tiba-tiba nimbrung dan membawa nampan berisi tiga gelas dan satu teko berukuran sedang.
Beni melempar pandangan ke Andin, “kamu berminat melanjutkan sekolah di jurusan Kimia, Din?” tanya Beni lagi.
“Entahlah, aku malah belum kepikiran sama sekali tentang jurusan yang akan aku ambil di kuliah nanti,” jawab Andin seadanya.
“Loh, itu Tante Ranti memintamu untuk sekolah di jurusan Kimia, apakah kamu benar-benar jago Kimia sehingga Tante Ranti mengatakan seperti itu?” Beni penasaran.
Beni pun melihat-lihat piagam yang terpampang seperti biasa di meja cokelat yang ada di ruang tamu. Beni baru ingat kalau Andin sudah berpartisipasi dalam ajang olimpiade akademik, khususnya di bidang Kimia. “Oh aku baru ingat, kamu kan memang banyak pengalaman di bidang IPA ya, percaya deh kalau kamu bisa di jurusan itu,” seru Beni.
“Kak Beni, pengalaman itu gak menjamin apa-apa ketika orang yang mengalaminya itu tidak menikmati apapun,” terang Andin.
“Akan tetapi, orang yang sudah mengalami hal seperti itu bisa saja selangkah lebih maju dan sudah memahami dasar-dasarnya,” balas Beni.
Andin mengangkat kedua bahunya, “sebenernya 50% 50% sih, masih ada keraguan di diri aku untuk masuk ke jurusan itu,” Andin mengakui. Mendengar pengakuan Andin yang barusan, Bu Ranti langsung mencubit paha kanan Andin yang kebetulan bersebelahan dengan tempat duduk Bu Ranti.
“Awww,” Andin terkejut.
“Kamu kenapa masih ragu?” tanya Bu Ranti.
“Ragu apakah aku bisa menikmatinya sampai akhir atau hanya coba-coba berhadiah lalu bosan,” jawab Andin.
“Hmm, ya terserahmu lah, kita bahas nanti saja soal ini,” kata Bu Ranti. “Nak Beni, maaf ya tadi saya nimbrung pembicaraan. Nak Beni kalau ada yang mau disampaikan ke Andin, silahkan,” Bu Ranti mempersilahkan.
Bu Ranti menuangkan teh panas yang berada di dalam teko itu ke dalam gelas yang tadi dibawanya. Asap-asapnya bercampur dengan suhu panas yang menyelimuti teh buatan Bu Ranti. “Teh panasnya sambil diminum ya, kalau sudah dingin nanti tidak enak,” kata Bu Ranti yang pastinya dengan nada sumringah.
“Terima kasih Tante Ranti,” ucap Beni yang langsung menyeruput teh panas yang sudah dituang Bu Ranti. “Sluuuurrrrrp, enak sekali di perut,” seru Beni keenakan.
Tak lama, Andin dan Bu Ranti menyusul untuk menyeruput teh panas itu.
“Andin, sehubungan masa tes kuliah belum tau jadwalnya, dan semisal kamu belum ada kegiatan apapun, aku ingin menawarkan kamu untuk masuk ke mediaku,” Beni langsung to the point apa alasannya datang ke rumah.
Andin yang masih memegang gelas berisi teh panas, otomatis langsung menaruh di atas meja seperti semua, “hah? Maksud Kak Beni seperti apa, ya?” Andin masih bingung.
“Ya seperti itu, kalau kamu tidak ada kegiatan alias nganggur saja di rumah, aku menawarkan kamu untuk bergabung di media yang baru saja aku buat,” jelas Beni.
“Sungguh? Bukannya Kak Beni masih bekerja di media lain ya? Apa konsentrasinya tidak terpecah-pecah?” Andin menyeritkan dahi.
Beni melemparkan senyum kecil, “sepertinya aku akan keluar dari media itu dalam waktu dekat ini,” jawab Beni.
Kedua bola mata Andin membesar seiring mendengarnya perkataan itu dari Beni. Bagaimana tidak, Beni salah satu orang paling berpengaruh di redaksi itu, terutama dalam hal desain dan karikatur poster. “Kak, apakah keputusan Kak Beni sudah dipikirkan matang? Sayang sekali sudah berkarir di media itu lebih dari empat tahun,”
“Ya, kamu paham sendiri kan bagaimana atmosfer bekerja di media itu? Kerja keras dan ketat deadline, dan aku sudah muak dengan hal itu,” terang Beni.
Mendengar itu, Andin sudah mulai paham dengan maksud Beni yang ingin keluar dari media. “Aku paham sih, tapi….”
“Terlebih lagi aku tidak suka dengan sikap Kinan sebagai pemimpin redaksi, sangat tidak professional, cari muka, dan hanya mementingkan diri sendiri,” Beni memotong omongan Andin,
Andin tersenyum, banyak hal yang ingin ia sampaikan perihal Kinan yang begitu tempramen dan tegas itu. “Jadi, Kak Kinan salah satu faktor terkuat yang membuat Kak Beni ingin keluar?” tanya Andin.
“Iya, aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari,” tandas Beni.