Naira menyeritkan dahinya setelah mendengar perkataan dari Bu Ari. Dalam hati Naira, ucapan itu bisa saja terjadi bisa saja tidak, “Tuhan maha membolak-balikkan hati, kok, mana mungkin aku bisa kepincut lagi sama Beni,” batin Naira.
Naira membuka pintu rumah dan membalas senyuman Beni yang manis. “Nih, aku tahu pasti helm kamu ketinggalan di kantor,” Beni langsung menyodorkan helm setelah melihat Naira yang tak membawa helm.
“Oh, terima kasih Ben, kamu tahu aja kalau aku kebiasaan ninggalin helm di kantor,” Naira mengambil helm itu dan langsung memakainya.
“Ya iya lah aku tahu, karena kamu suka nebeng mobilnya Pak Rahmat, kepala devisi pemasaran, ya kan?” balas Beni.
“Kok kamu tau? Kamu suka merhatiin aku ya selama ini?” canda Naira sambil menodong jari telunjuknya ke arah Beni.
“Aduh Naira, masih aja suka begitu, haha. Udah yok naik aja ke atas motor, kita langsung pergi ke tempat yang sudah kita tentukan,” ujar Beni yang mencoba mengakhiri pembicaraan. Naira menaiki motor dan duduk tepat di belakang Beni. Sebelum motor itu berjalan, Naira meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya.
“Nai, kalau aku ngebut jangan kaget ya. Kamu kan sudah tau kebiasaanku dari dulu, hehe,” pinta Beni sebelum melajukan motornya.
“Iya, iya, aku sudah kuat mental kalau kamu bawa ngebut-ngebut. Tapi tolong kalau ada lampu merah berenti ya,” kata Naira.
Beni tertawa kecil mendengar ucapan Naira, Beni malu sekali Naira masih mengingat masa lalu Beni yang nakal dan suka nyerobot lampu merah. “Siap, Bos! Akan dilaksanakan sesuai perintah dari atasan,” ucap Beni meninggikan suaranya, Beni memberi tanda hormat ke Naira. Naira tersenyum dan perlahan motor bebek itu berjalan.
***
Hidangan lezat makanan dan minuman sudah tersedia rapi di atas meja makan. Piring bernuansa warna putih itu berjejer dan dipenuhi lauk yang membuat lidah ingin menyantapnya. “Hemmm, aroma wanginya menusuk hidung hingga masuk ke kamarku dan membuat perutku berbunyi, Ma,” ujar Andin melangkahkan kakinya ke ruang makan. Perutnya dielus dan bibirnya mengecap, “apa kah aku sudah bisa menyantap makanan itu, Ma?” Andin melirik hidangan yang ada di atas meja makan itu.
“Sebentar, teh hangatnya belum selesai Mama buat, tunggu ya,” ucap Bu Ranti dari dapur belakang yang masih asyik membuat teh hangat.
“Udah lah Ma, itu belakangan aja, yang penting makanannya aja dulu. Ayo, Ma, kita sarapan sama-sama,” balas Andin. Bu Ranti pun mengiyakan permintaan Andin. Gelas kecil dan lepek kecil yang sudah disediakan Bu Ranti untuk membuat teh hangat, sengaja disingkirkan ke sudut laci dapur. “Baik lah, ayo deh kita makan sekarang saja,” ujar Bu Ranti dan segera menutup laci agar tikus nakal tidak masuk ke gelas.
Bu Ranti mengambilkan piring, sendok, dan garpu untuk Andin dan diletakannya di hadapan Andin. Andin segera mengambil ayam goreng, nasi, dan sedikit hidangan sayur yang namanya sayur asem. “Tumben masak sayur asem, Ma,” kata Andin disela ia mengambil seentong sayur asem.
“Iya nih, di kulkas persediaan sayur cuma bisa dibuat sayur asem. Kenapa, Nak? Kamu tetap suka kan masakan Mama?” tanya Bu Ranti.
“Oh, ya jelas suka dong, Ma! Lagian setiap masakan yang dibuat dari tangan Ibundaku tersayang, pasti rasanya nikmat dan tidak ada yang menandingi,” jawab Andin yang membuat Bu Ranti menorehkan senyum halus.
“Syukurlah, yuk, kita makan,” ajak Bu Ranti. Andin pun ikut menyuapkan nasi ke mulutnya setelah melihat Bu Ranti usai mencicipi satu suapan.
Suasana ruang makan saat itu terasa hening, hanya terdengar dentingan piring yang berbenturan ringan dengan sendok dan garpu. Ya, hal itu biasa tercipta di ruang makan ketika Bu Ranti dan Andin makan berdua. Kunyahan demi kunyahan dirasakan makanan itu di mulut Bu Ranti dan Andin. Santapan pagi yang menyenangkan itu berlangsung dua puluh menit.
“Wah, sudah habis, enaknya,” ujar Andin sambil mengelus perutnya yang tadi lapar, sekarang sudah kenyang.
Bu Ranti tersenyum, “anak cantic Mama selalu banyak makan loh tiap sarapan pagi, tapi kok perutnya itu tidak gemuk-gemuk, ya?” balas Bu Ranti sambil melirik Andin yang kelaparan dan masih memegang perutnya.
“Hehehe ya bagus lah Ma, itu artinya tubuhku masih bisa berkompromi denganku dan tidak mau berontak,” jelas Andin. Merasa kurang puas dengan jawaban Andin, Bu Ranti nyeletuk, “kalau saja berat badanmu minggu depan naik tiga kilogram, Mama akan ngejek kamu, ya,” canda Bu Ranti.
“Ahaha, Mama bisa aja ah ancamannya, takut dong aku,” Andin memancungkan bibirnya dan menyipitkan kedua matanya. “Tapi bohong!” lanjut Andin yang langsung tertawa.
Bu Ranti menggelengkan kepala melihat tingkah laku anak puterinya itu, selalu saja bisa membuat warna hidup Bu Ranti lebih bervariasi. “Eh, dasar kamu yaaa, Andin, kalau bukan anak Mama, sudah Mama lemparin sendok kotor ini lho!” sambung Bu Ranti yang sudah memegang sendok kotor di tangan kirinya, dan siap melemparkan ke arah Andin. “Ya jangan dong, Ma, Mama gak boleh marah dong nanti wajah kencangnya itu bisa saja kendor!” Andin makin membercandai Bu Ranti.A Agar tidak beneran dilemparin sendok kotor oleh Bu Ranti, Andin segera berdiri dan meninggalkan Bu Ranti sendirian di ruang makan yang sedang membersihkan piring-piring kotor bekas makanan.
Andin memasuki kamar tidurnya, dan membuka lemari pakaiannya. Andin melihat-lihat pakaian mana yang cocok ia gunakan untuk pertemuan pagi ini bersama Beni. Satu, dua, tiga pasang pakaian bercorak polkadot dan strip sudah Andin coba. “Ah, kayaknya aku gak cocok deh pakai kayak gini, mirip anak SMP yang baru saja pubertas,” katanya setelah melihat dirinya di depan cermin.
Andin berpikir lagi, mana pakaian yang nyaman dan cocok untuk ia kenakan. “Aha! Kayaknya ini bagus, deh!” Andin lalu menarik pakaian berwarna biru dongker yang memiliki pita kecil di bagian pinggangnya, “sangat simple, nyaman, dan menarik,” kata Andin sambil menganggukkan kepala setelah memakai baju biru dongker itu.
Andin keluar kamar dengan dandanan yang sudah rapi persis seperti ingin menghadiri acara spesial. Andin pun menghampiri Bu Ranti yang asyik menonton drama korea di ruang tengah.
“Ma, aku ada pertemuan bersama Kak Beni pagi ini, Mama memperbolehkanku, kan?” tanya Andin sambil duduk di samping Bu Ranti.
Bu Ranti langsung menoleh ke arah Andin, Bu Ranti terkejut anak semata wayangnya itu berdandan seperti perempuan yang kalem dan halus sekali. “Boleh, tapi kok dandanan kamu jadi begini, Nak? Belajar dari mana?” tanya Bu Ranti.
“Ya, lihat di media sosial dan youtube aja, Ma, lagian aku cuma berpakaian dan dandan sebisaku saja, akrena alat make up yang aku miliki masih sedikit,” jawab Andin.
Bu Ranti bertepuk tangan, “pintar, pintar Nak, kamu sudah pandai berdandan ya, tapi kalau boleh tau apakah pertemuanmu dengan Beni adalah sesuatu yang begitu spesial?” Bu Ranti bertanya lagi.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Andin malu-malu sambil menutup mulutnya dengan tanga kanannya.
Bu Ranti spontan memincingkan kedua matanya dan tersenyum setengah licik, “jangan-jangan kamu lagi kasmaran ya sama Beni? Atau, hari ini adalah hari pertama kalian berkencan setelah berstatus pacaran?” kata-kata Bu Ranti semakin ngelantur, Andin hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan dari Bu Ranti.
“Ada aja si Mama pikirannya. Udah dulu ya Ma, Andin mau berangkat dulu, kali ini aku dan Kak Beni akan membahas tentang media baru yang ditawarkannya ke aku kemarin,” ujar Andin yang langsung keluar menaiki motor maticnya, dan melaju perlahan.