Bu Ari melirik ponsel Naira yang berdering untuk kesekian kalinya, hal itu membuat Bu Ari bergumam, “Nai, coba diangkat dulu itu teleponnya, ganggu kita makan aja,” kata Bu Ari.
Mengetahui perintah Bu Ari yang ditujukan untuk dirinya, Naira mengiyakan. “Iya, Bu, maaf ya, aku ke teras dulu sebentar, di ruang makan biasanya gak ada sinyal,” ucap Naira. Naira kemudian mengambil ponselnya yang tetap masih berdering. Bu Ari pun melihat Naira yang sedang melangkahkan kakinya ke teras depan rumah.
“Beni, beni, tak akan aku biarkan kamu menerror anak gadisku,” kata Bu Ari pelan, matanya memincing ke arah Naira. Naira ke teras rumah dengan menutup pintu rumahnya. Bu Ari menggelengkan kepala melihat itu, “biarpun kamu bersembunyi, Ibu tetap akan tahu siapa yang sedang berusaha mendekati dirimu,” ujar Bu Ari. Bu Ari pun melanjutkan makannya yang masih tersisa setengah piring.
***
“Hallo, Ben, iya ada apa?” Naira mengangkat telepon setelah ditelepon oleh Beni lebih dari lima kali.
“Hallo, Naira. Syukurlah, akhirnya kamu mengangkat teleponku juga,” balas Beni.
“Iya nih, maaf ya Ben soalnya dari tadi aku sedang makan bersama Ibu di ruang makan. Kalau aku angkat teleponmu, yang aku takutkan Ibu akan marah dan mengecap aku sebagai anak yang tidak sopan, hihihi,” terang Naira diselingi candaan tipis.
“Ups, sungguh? Ya elah, ternyata kamu sedang makan bersama Ibumu, ya, tidak masalah lah kalau kamu butuh waktu untuk mengangkat teleponku,” Beni berkata.
“Terima kasih ya Ben, kamu pengertian sekali,” balas Naira yang tersipu malu.
“Ah, biasa saja lah, namanya juga teman tapi pernah pacaran,” Beni spontan mengatakan itu. “Eh maaf, maksud aku sih teman ya tetap teman, Nai,” Beni melanjutkan sambil tertawa kecil.
Naira tersenyum lagi, “jadi, ada apa ya kamu menelpon aku berulang kali? Apakah ada sesuatu yang penting?” tanya Naira.
“Gini, satu jam lagi aku jemput kamu untuk ke kafe, gimana?” jawab Beni sekaligus bertanya.
“Emm, boleh. Kamu mau kasih aku kejutan itu, ya?” celetuk Naira.
“Iya, benar, kamu tau aja,” balas Beni. “Gimana, Nai, bisa kan? Kalau iya, aku akan cepat-cepat mandi, ganti baju, dan berdandan,” lanjut Beni.
Naira menyeritkan dahinya, bisa-bisanya Beni lebih ribet dari dirinya, “bentar deh, kamu kok ribet banget mau ke luar tapi harus ini itu dulu,” ungkap Naira.
“Ya kan supaya orang yang bertemu dengan aku nanti bisa betah sama aku, dan memperhatikan setiap apapun yang aku utarakan,” terang Beni. Naira pun menelan ludahnya, dalam hatinya pun berkata, “sebenernya kamu tidak usah repot-repot mandi atau dandan untuk bertemu denganku, cukup senyuman manis yang kamu beri untukku, sudah bisa bikin aku betah sama kamu, kok,” batin Naira meronta.
Rupanya lamunan Naira yang tidak membalas ucapan Beni, langsung dimatikan Beni. Tut. Tut.. tut.. Beni pun menutup teleponnya. Usai menerima telepon dari Beni, Naira kembali masuk ke rumah dan menuju ruang makan. Disana sudah ada Bu Ari yang masih duduk manis walaupun makanannya sudah lenyap. “Beni, ya yang telepon?” todong Bu Ari sambil membersihkan bagian meja makan yang kotor.
Naira yang masih berdiri sambil memegang ponsel di tangan kirinya, hanya tersenyum sambil duduk di kursi yang sudah ia duduki dari awal. “Nai, kamu ini lagi kasmaran atau seperti apa? Jangan sampai kisah cintamu 2 tahun lalu terulang kembali. Kasihan kamu menyakiti dirimu sendiri,” nasihat Bu Ari.
Naira yang terkejut mendengar Bu Ari berkata demikian, hanya bisa menggaruk kepalanya, “hah? Ibu? Apa aku gak salah dengar ya Ibu ngomong kayak tadi,” Naira menopang dagunya dengan tangan kanannya.
“Ya tidak lah, Nai, justru Ibu berkata demikian supaya kamu tidak sakit hati lagi, dan lebih mencintai dirimu sendiri,” sambung Bu Ari. Bukannya Naira mendengarkan nasehat dari Bu Ari dengan baik, Naira malah nyeletuk, “apaan sih Ibu, aku tidak kasmaran atau ingin mengulang masa laluku, kok. Tenang aja, sekarang aku bukan perempuan lemah yang sukanya nangis.”
Bu Ari terpaksa percaya dengan ucapan Naira. “Ya udah Ibu percaya, itu dihabiskan ya makanannya, Ibu masaknya lama loh soalnya pakai perasaan dan kasih sayang yang tulus,” Bu Ari menghiperbola.
“Maaf Bu, maaf banget Bu, aku sudah kenyang banget, sekarang aku mau bergegas dandan dulu ya, ada seseorang yang mau menjemputku,” ucap Naira tanpa meninggalkan kesan bahagia sedikitpun. Takut Bu Ari marah akibat makanan Naira yang belum habis, Naira langsung mencium kening dan kedua pipi Bu Ari supaya amarahnya meredam, “Mwah! Ibu cantik gak boleh marah ya, makanan sisaku bisa diberikan ke Dodo,” bisik Naira. Naira menunjuk Dodo (kucing liar) yang sedari tadi mengeong ingin diberi makan. Persis keinginan dari Naira, Bu Ari mengambil piring yang masih ada ikan tersisa dan diberikan kepada Dodo. “Kali ini rejekimu, Do, makan yang banyak ya,” ucap Bu Ari sambil menuangkan makanan sisa ke hadapan Dodo.
***
Sekitar dua puluh menit berlalu, aroma wangi mulai menusuk hidung Bu Ari yang sedang mencuci piring di dapur. Aroma wangi yang tak asing itu mulai mendekat, membuat Bu Ari mencari asal aroma itu. “Dorrrrr!” tiba-tiba Naira mengagetkan Bu Ari. Lantas, Bu Ari pun terkejut. “Naira!!!!!! Untung saja piring dan gelasnya tidak pecah, licin loh ini karena Ibu lagi pegang sabun,” ujar Bu Ari.
“Hehe maaf ya Bu, jangan marah loh, kan aku mau kasih kejutan buat Ibuku tersayang,” ucap Naira, yang lalu mengedipkan kedua matanya.
Bu Ari memerhatikan baik-baik ke arah Naira dan mencari kejutan apa yang sedang ditampilkan Naira untuk dirinya. “Kejutan apaan sih? Ibu hanya merasa terkejut, tapi itu sungguh bukan kejutan,” balas Bu Ari. Naira pun membalas, “ih Ibuuuu, ini loh Bu!!!” Naira kembali mengedipkan kedua matanya.
“Astaga, Naira, kamu pakai maskara dan eyeliner ya?” tanya Bu Ari, sambil tersenyum ringan.
Naira mengangguk, “iya, Bu, itulah kejutan yang aku beri kepada Ibu,”
“Hah? Itu kah kejutan? Menurut Ibu adalah hal yang wajar ketika perempuan memakai maskara dan eyeliner, itu bukan suatu kejutan buat Ibu,”
“Yah Ibu gak asik ah, masa lupa sih. Ibu pernah bilang kalau aku berhasil memakai maskara dan eyeliner sendiri dengan baik dan benar, Ibu akan memasukkanku menjadi tim rias wedding festival,” ucapan Naira sedikit membuat Bu Ari mengingat sesuatu.
Bu Ari mengingat, dan menepok jidatnya, “astaga iya, karena Ibu sudah kewalahan mengerjakan rias seorang diri, makanya itu Ibu mau mencari tim,” Naira tersenyum mendengar ucapan Bu Ari ini. “Tapi, kayaknya kamu gagal deh, kamu masih jelek sekali tekniknya, lain kali ya,” sambung Bu Ari yang membuat Naira manyun.
“Ngomong-ngomong, kamu mau kemana kok pakai maskara dan eyeliner gitu? Gak kayak biasanya deh,” Bu Ari curiga.
Naira mendekatkan wajahnya ke depan telinga Bu Ari, “aku mau kencan, Bu, dengan seseorang pria,” bisik Naira.
Tanpa ba bi bu, Bu Ari langsung berkata, “Beni? Beni yang pernah menyelingkuhi kamu dan menyakiti kamu berulang kali sampai nangis itu, kan?”
Seketika Naira merasa malu, masa lalunya terbongkar begitu saja di hadapan Bu Ari. Naira pun tidak mengerti dari mana lah Bu Ari mengetahui masa lalu kelamnya bersama Beni.
“Hayo, kenapa kamu diam saja? Apakah yang Ibu katakan barusan adalah benar?” sambung Bu Ari lagi. Akan tetapi, Naira tetap tidak menjawab.
Tin.. tin.. tin.. suara klakson motor bebek terdengar dari dalam rumah. Naira bergegas mengintipnya dari jendela setelah mendengar bahwa klakson motor itu tidak asing milik siapa. Naira mengintip dari jendela, dan melihat sosok laki-laki menaiki motor bebek.
“Beni?” ucap Naira langsung membukakan pintu.
“Eh, Naira, sudah siap? Ayo kita berangkat,” balas Beni.
“Sudah, sudah, kok. Aku sudah siap,” Naira tersenyum, “ngomong-ngomong mobil jazz kamu kemana, ya? Biasanya pakai mobil, ini kok pakai motor bebeknya Wendi sih,” kata Naira.
“Hehe soalnya motorku lagi diservis, banyak banget yang rusak setelah pergi ke luar kota,” ujar Beni.
Naira pun mengangguk. “Eh bentar ya aku mau ambil tas dulu,” Naira bergegas ke dalam kamarnya mengambil tas yang sudah tergantung rapi di sebelah meja riasnya. Tas selempang berbentuk kotak berwarna merah hati itu selalu menemani Naira kemanapun ia pergi. Maklum, Naira memang mencintai barang itu sungguh, karena hadiah dari Bu Ari.
“Bu, aku pergi dulu, ya!” teriak Naira untuk Bu Ari yang masih asik di ruang belakang.
“Hati-hati, ya. Hati kamu dijaga, jangan sampai gampang untuk dimasuki oleh Beni lagi!” sahut Bu Ari.