Meeting Part 2

1220 Kata
Tepat di jam yang sama, pukul 10.00 waktu setempat. Beni dan Naira pergi menuju kafe yang mereka setujui. Begitu juga dengan Andin, yang merasa hari itu adalah hari pertama ia memulai kembali masuk ke dunia kepenulisan. “Apa aku yakin dengan pilihanku sendiri, ya?” ucap Andin dalam hatinya, sambil mengendarai sepeda motor matic. Naira menatap sekelilingnya dari atas motor, Beni yang mengendarai dengan perlahan itu membuat Naira makin lama memandang alam sekitar. “Tumben kamu ngendarainnya pelan gitu, udah gak jadi pembalap lagi, ya?” kata Naira, yang tetap memegang erat jaket Beni di bagian pinggang. “Ya memang masa laluku penuh dengan arena balap tiap hari, akan tetapi makin bertambahnya usia hal itu makin tidak menarik,” balas Beni, masih dengan mengendara pelan. Naira bersembunyi dari balik jaket Beni, dan tersenyum kecil mendengar ungkapan Beni, “ternyata kamu makin dewasa ya, Ben, jadi kepengen tau bagaimana Beni dewasa memperlakukan perempuan pujaannya,” batin Naira. Rupanya pagi itu jalanan tidak terlalu macet dan ramai, hal itu membuat Beni perlahan ingin menambah kecepatan motornya, “Nai, kamu masih trauma kah dengan aku yang suka laju kalau memboncengmu?” tanya Beni. “Hmm, ya masih sih, aku malah gak pengen ngulang dibonceng kamu kalau lagi ngebut,” jawab Naira. “Tapi kalau jalanan sepi dan ada kesempatan untuk ngebut, apakah aku boleh menambah kecepatan motornya?” tanya Beni lagi. “Hmmm,” Naira melihat situasi jalan yang ada di depan dan belakangnya. “Kayaknya gak usah ngebut deh, kan kita lagi gak buru-buru,” lanjut Naira ketika ragu untuk mengijinkan Beni mengebutkan motornya. “Yah,” desah Beni, wajahnya terlihat tidak setuju ketika diintip Naira dari cermin motor. Brum.. brum.. brum.. Beni menambah kecepatan motornya, knalpotnya mulai berbunyi dan ngeng…. Motor itu melaju dan membuat Naira hampir jatuh ke belakang. “Beni!!!!!!!! Jangan laju-laju!” teriak Naira yang hanya bisa teriak dan menutup matanya. Sepoi angin merasuk ke tubuhnya dan mengibarkan rambut cokelatnya itu. “Udah aku bilang, aku gak mau ngebut! Kamu ini gak berubah ya dari dulu,” teriak Naira lagi. “Maafkan aku, Nai, hasratku selalu ingin melaju ketika jalanan terlihat sepi,” sahut Beni dengan menaiki nada suaranya. Motor bebek yang melaju, membuat Naira gemetaran dan tak henti-hentinya ngomel di atas motor. “Dasar kamu ya Beni!” “Ben, udah dong, aku takut nih,” “Ben, rambut aku bakal kusut loh, ayok berhenti!” “Kita gentian nyupir yuk, aku saja yang bonceng kamu!” “Ben!” “Beniiiii!” Teriakan Naira selama perjalanan tidak meruntuhkan keinginan Beni untuk mengemudi perlahan. Malahan, Beni hanya tertawa kecil sambil meminta maaf, “maaf Nai, maaf, lagipula aku paham kok keamanan dari mengemudi motor,” kata Beni. *** Andin sudah tiba di kafe yang masih sepi pengunjung itu. Suasana klasik nan elegan membuat Andin tersipu senang berada di ruangan yang penuh desain unik. Andin mencari tempat yang dirasanya nyaman dan bisa digunakan untuk berdiskusi serius. “Dimana ya, aku bingung nih,” kata Andin pelan. “Aku gak pernah ke kafe sama sekali, jadi gak tau deh mana tempat strategis untuk berdiskusi serius,” lanjut Andin dalam hati. Merasa tidak mampu berpikir untuk mencari tempat duduk, Andin memilih duduk di depan barista sambil menunggu kedatangan Beni. “Ah, biar Kak Beni saja yang cari tempat duduknya, daripada nanti salah dan diskusi tidak kondusif, aku malah yang gak enak,” ucap Andin sambil mangut-mangut. “Selamat datang, Nona, perkenalkan saya Hana sebagai waitress disini, Nona mau pesan apa?” sapa perempuan imut yang berada di bilik barista kafe. Perempuan itu bernama Hana, tersenyum memperkenalkan nama ke Andin. Lembut sekali tuturnya. “Hai, Hana, terima kasih atas tawarannya,” balas Andin dengan senyuman juga. “Iya, Nona, sudah kewajiban saja seperti itu setiap hari,” ucap Hana. Andin mengangguk, kesekian kalinya ia bertemu pelayan sebuah rumah makan yang setia tersenyum kepada pelanggannya. Bahkan, kebanyakan dari mereka akan mendapatkan bonus gaji ketika pelanggan yang ia layani membelanjakan banyak makanan atau minuman. Andin membaca menu yang terpampang di atas papan barista. Papan tebal itu berisikan daftar makanan dan minuman yang disediakan di kafe itu. Andin menggelengkan kepala dan belum memutuskan mau memesan apa setelah membaca kurang lebih lima menit. “Gila, harganya mahal banget, satu kali minum minimal Rp35000, uang yang aku bawa cuman Rp40.000,” batin Andin. Andin pun nyengir, “tunggu ya Hana, aku menunggu temanku saja baru memesan,” ujar Andin. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, seorang laki-laki dan perempuan memasuki pintu kafe. Ternyata perempuan dan laki-laki itu adalah Naira dan Beni. Naira memasuki pintu kafe sambil memperbaiki rambutnya yang berantakan, sementara Beni masuk dengan wajah senang diselingi tawaan yang membuat Naira ngomel. “Gara-gara kamu nih rambut aku rusak!” omel Naira. “Gak apa-apa lah, anggap aja kita nostalgia ketika masih pacarana dua tahun lalu,” celetuk Beni. Beni langsung mengarahkan Naira ke meja nomor dua puluh dua. Ya, seperti biasanya Beni selalu suka duduk di bawah pendingin ruangan. Padahal, ruangan sudah dingin sekali. Mengetahui tempat duduk Naira dan Beni, Andin langsung berdiri dari tempat duduknya dan pergi ke arah Beni dan Naira. “Hana, aku ke meja temanku sebentar ya, bisa dipastikan aku akan memesan makanan atau minuman secepatnya,” bisik Andin. Dalam hati Andin sebenarnya tidak begitu enak dengan Hana yang dari tadi menunggu Andin memesan minuman. “Hai,” sapa Andin kepada Beni dan Naira. Sontak Naira dan Beni mencari asal suara itu, ternyata ada Andin yang sudah berdiri di belakang Beni. “Eh, Andin, kamu apa kabar? Duduk sini,” Naira membalas sapaan Andin dan menepuk kursi kosong di sebelah kirinya. “Baik, mbak Nai,” kata Andin lembut. Andin langsung duduk di kursi yang dimaksudkan Naira. “Wah, ternyata kamu sudah datang? Sudah nunggu dari tadi, kah?” tanya Beni. “Hmm, kayaknya sekitar tiga puluh menit deh, Kak,” jawab Andin. “Maaf ya, gara-gara aku, kamu menunggu lama sekali. Sudah memesan minuman, kan?” tanya Beni lagi. Andin tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “belum, Kak,” ujar Andin. “Loh, kenapa? Kamu sudah lama menunggu lho, gak haus apa?” ujar Beni. “Ya haus sih Cuma makanan disini kayaknya mahal banget, uangku bisa saja tidak cukup,” Andin kembali nyengir. Beni tertawa kecil mendengar ucapan Andin. “Astaga, bisa-bisanya kamu begitu, aku jadi merasa bersalah nih mengajak kamu ke tempat ini,” kata Beni. “Yaudah, kamu mau memesan apa? Bia raku saja yang bayar,” sambung Beni. “Sungguh? Benarkah?” tanya Andin tak percaya, melototkan kedua matanya. “Iya, sebagai bentuk rasa bersalahku lah,” jawab Beni santai. “Kamu juga Nai, silahkan pesan apa yang kamu suka biar aku saja yang bayar,” ucap Beni ke Naira. Naira mengangguk, “apakah itu bentuk bersalahmu juga sudah ngebut dan memberantakkan rambut indahku ini?” canda Naira. “Iya, bisa jadi. Duh, hari ini aku kok merasa bersalah kepada dua perempuan yang ada di hadapanku ya,” ujar Beni dengan mimic wajah gelisah. Andin dan Naira saling tatap, “Biasalahhhhh!” koor Andin dan Naira, membuat Beni tertawa lepas. Andin dan Naira berjalan menuju barista dan sudah ada Hana yang menyambutnya lembut di sana. “Selamat datang, Nona, perkenalkan saya Hana sebagai waitress disini, Nona mau pesan apa?” Hana mengulang ucapan yang sama di awal. “Aku mau pesan hot green tea saja, bagaimana denganmu, Andin?” “Kayaknya aku pesan dessert cake saja deh,” kata Andin. “Oke. Pesan dessert cake dan hot green tea satu, ya,” ujar Naira ke Hana. “Baik lah, terima kasih atas pesanannya, kalau boleh tau Nona sekalian duduk di sebelah mana?” tanya Hana. “Itu!” Naira menunjuk tempat duduk di bawah pendingin ruangan yang sudah ada Beni duduk disana, “yang ada laki-laki berbaju cokelat menyebalkan duduk disitu,” balas Naira. “Baik, Nona, pesanan akan tiba secepatnya,” tutup Hana lembut. Selesai memesan minuman, Andin dan Naira kembali duduk di meja mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN