Naira masih tertidur lelap di atas tempat tidurnya yang bermotif hello kitty. Tempat tidur yang serba merah muda itu membuat Naira tak ingin meninggalkan kasur itu secepatnya. Nyamannya lagi, kipas angin yang memutar memenuhi sudut ruangan itu menjadikan suasana kamar Naira yang tadinya sembab menjadi lebih bertenaga.
“Naira, sudah jam tujuh pagi, apa kamu tidak bangun?” ucap Bu Ari sambil mengetuk pintu kamar Naira.
Akan tetapi, Naira tidak menjawab pertanyaan dari Bu Ari. Entah karena ia tidak mendengar, atau sengaja tidak mendengar saking nyamannya bergelayut di tempat tidurnya.
“Nai, Naira? Ibu sudah masak sarapan untuk kamu lho, jangan sampai dingin dan gak enak ketika di makan!” sambung Bu Ari, yang lebih mengeraskan suaranya dari bilik pintu,
Lagi lagi, Naira tidak membalas apapun dari perkataan Bu Ari.
Kring.. kring.. kring.. jam kecil yang berdiri di meja kamar Naira itu berbunyi untuk pertama kalinya. Jarum jam di jam tersebut menunjukkan angka pukul tujuh lebih lima belas menit. Mata Naira mulai membuka sedikit, samar-samar di bola matanya bahwa hari sudah mulai pagi.
Kring.. kring.. kring.. jam kecil yang beberapa menit lalu sudah berbunyi itu, kini mengeluarkan bunyi lagi. Kali ini nada yang keluar lebih lama dan lebih keras. Maklum, Naira selalu mengatur agar suara jam kecil itu semakin mengeras ketika semakin sering mengulangkan bunyi.
“Naira, apa kamu tidak mendengar alarmmu berbunyi?” suara Bu Ari terdengar lagi dari balik pintu. Pintunya diketik agak keras sehingga suara yang dikeluarkan lebih nyaring pula. Bu Ari yang jengkel mengetahui Naira belum bangun, langsung mengambil kunci cadangan untuk kamar Naira dari balik lemari Bu Ari.
Ceklek.. “Ah, akhirnya pintunya bisa terbuka, aku kira kunci ini sudah tidak berfungsi lagi karena karatannya dimana-mana,” ucap Bu Ari setelah senang kuncinya masih bisa dipakai. Bu Ari mengintip Naira yang tertidur di atas tempat tidurnya, “Dasar perempuan perawan, sekarang sudah mau jam delapan lebih lima belas menit, masih saja tidur!” sambat Bu Ari sambil menggelengkan kepalanya.
Bu Ari berjalan menuju tempat tidur Naira, dipandangnya anak tunggalnya yang memilik paras menawan tersebut, “Anak cantik, ayo bangun, nanti rejekimu dipatok ayam loh!” bisik Bu Ari. Ternyata, bisikan itu membuat Naira geli. Naira mengusap telinganya dan membuka kedua matanya, “Ibu? Bu? Kok bisa masuk kesini?” Naira terkejut. Naira langsung duduk walaupun yang dirasanya kantuk terus berlanjut.
“Ya bisa dong, habisnya kamu selalu tidak mendengar kalau Ibu bangunin,” balas Bu Ari.
“Ibu congkel pintu kamarku ya? Jangan dong Bu, bisa rusak,” kata Naira yang matanya masih samar melihat kondisi sekitar.
“Udah, tenang aja, kan ada Pak Dirham yang bisa memperbaiki segala kerusakan di rumah ini,” sahut Bu Ari. “Yuk, kamu langsung mandi dan sarapan ya, Ibu sudah masakin masakan spesial untuk anak Ibu yang tersayang,” ucap Bu Ari sambil tersenyum dan mengelus rambut tipis Naira.
Naira mengangguk, sesekali matanya terpejam dan meminta untuk raganya direbahkan lagi di atas kasur. Tapi, Naira yakin bahwa rasa kantuk ini bisa dihilangkan secepatnya.
Naira bangkit dari tempat tidurnya, tubuhnya direnggangkan pelan. Kedua tangannya direntangkan ke depan dan ke atas. Tak lupa pula, tangannya memegang di samping pinggang dan ditekukkan ke kiri dan kanan. “Ah, selamat pagi dunia, semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin, ya,” ucap Naira menyemangati dirinya. Hal itu rutin Naira lakukan lantaran dirinya sepi ketika tidak ada semangat dari siapapun. Menurut Naira, penyemangat terbaik dalam hidup ini adalah dirinya sendiri dan Ibu Ari.
Dret.. dret.. dret.. ponsel Naira yang sedang diisi baterainya di sudut ruangan berbunyi, kali ini nada yang terdengar itu lumayan asing. Naira mendekat dan bergegas mengambil ponselnya yang berdering. “Wah ada pesan masuk, tumben banget ada yang kirim pesan, biasanya juga lewat w******p atau media sosial,” ujar Naira.
Naira membuka kunci ponselnya, dan melihat bahwa Beni mengirimkan pesan untuknya. “Beni ngirim pesan pagi-pagi begini, ada apa ya?” Naira menerka-nerka sampai akhirnya membuka pesan itu.
“Nai, kamu sudah bangun, kah?” Beni mengirimkan pesan singkat ke Naira. Pesan singkat itu dilakukan lantaran Beni lupa mengisi kuota internet di ponselnya. Belum lagi, Beni kehabisan promo yang sering ia beli di pertigaan dekat rumahnya,
“Iya, Ben, aku baru saja bangun tidur. Pas banget tuh kamu mengirim pesan ketika aku sudah bangun tidur,” Naira membalas pesan Beni.
“Kebetulan banget ya, gini Nai aku punya kabar baik untukmu!” ucap Beni dengan nada bersemangat.
Naira memancungkan bibirnya, “kalau boleh tau, apa itu Ben?” tanya Naira.
“Sesuatu yang mungkin bisa membuat rencana kita berdua berjalan lancar,” jawab Beni. Jawaban Beni yang seperti itu sama sekali tidak membuat Naira puas.
“Apaan sih Ben, jangan suka bikin orang penasaran lah,” kata Naira.
“Ya biar seru dong, Nai. Oh ya, pokoknya hari ini kita harus ketemu ya. Kita harus ketemu dulu, karena kabar baiknya akan aku beri tahu ketika kita berdua sudah duduk bersama di satu meja,” ujar Beni.
Entah kenapa, Naira kemudian tersenyum ketika mendengar kata, “kabar baiknya akan aku beri tahu ketika kita berdua sudah duduk bersama di satu meja,” hal itu membuat Naira tak ingin berkata apapun. “Oh my god! Pagi-pagi gini sudah digombalin Beni. Makin tambah semanget deh aku menjalani hari ini,” batin Naira.
“Nai, pokoknya kita harus ketemu ya, see you di tempat yang sudah kita rencanakan, ya!” tandas Beni.
Pesan itu pesan terakhir dari Beni, setelahnya Naira membelas hanya dengan simbol. Naira tak berhenti tersenyum, Naira juga tidak langsung bergegas ke kamar mandi dan sarapan seperti perintah Bu Ari.
“Beni, kamu kenapa sih kok bisa bikin aku senang di pagi hari ini,” kata Naira pelan sambil membaca berulang kali pesan singkat yang masuk dari Beni. Naira tersenyum, dan memeluk ponselnya dengan suka cita.
Tanpa sadar, Bu Ari sudah lima belas menit mengacak pinggangnya di depan pintu kamar Naira. Sayangnya, Naira tidak menyadari keberadaan Bu Ari yang dari tadi mengawasi gerak-gerik Naira yang kesenangan.
“Ehem,” deham Bu Ari, membuat Naira kaget dan ponselnya terjatuh dari pelukannya.
“Eh, Ibu,” Naira nyengir setelah tahu Bu Ari berdiri di depan pintunya.
“Kamu kok gak mandi? Tadi Ibu bilang, apa? Jangan suka menunda waktu mandi loh, nanti airnya mati baru tau,” kata Bu Ari.
“Ih, Iya Bu, iya. Santai aja lah, semuanya akan terlaksana dengan baik,” balas Naira dengan tersenyum.
“Ibu perhatiin dari tadi itu kamu senyum-senyum terus lihat layar ponselmu, ada apa gerangan?” tanya Bu Ari penasaran.
Pertanyaan itu membuat Naira gelabakan, ia menggaruk pipinya dan rambutnya yang tidak gatal. “Eng.. enggak, Bu, gak ada apa-apa kok, postingan di media sosial lagi lucu nih,” jawab Naira yang gagu.
“Serius? Benarkah?” Bu Ari tak percaya.
“Iya, Bu, serius, dua rius malah, atau mau tiga rius?” lanjut Naira.
“Hmm, kamu lagi kasmaran, ya?” tanya Bu Ari yang semakin membuat Naira salah tingkah.
“Ibu, gak mugkin lah, mau sama siapa lagi aku kasmaran? Sudah cukuplah terakhir dengan Beni,” jawab Naira yang sok jual mahal.
“Oke lah, Ibu tidak mau memperpanjang urusanmu, sekarang segeralah mandi dan makan bersama Ibu di ruang makan. Kamu ini tidak peka ya, Ibu sudah lapar dari tadi,” sahut Bu Ari.
“Ehehehe, siap Bu Bos!” Naira nyengir dan mengambil handuk putihnya, setelah selesai mandi ia ke ruang makan untuk menyantap kegurihan masakan Bu Ari.
Bu Ari dan Naira pun menyantap sarapan yang penuh dengan kasih sayang itu, antara ibu dan anak.
Dret.. dret.. dret.. di sela-sela makan pagi, ponsel Naira yang di letakkan di sebelah kiri piringnya itu berbunyi lagi. Lagi lagi, Beni menelpon. Karena takut Bu Ari marah jika Naira mengangkat telepon, Naira malah menolak telepon Beni. Tiga puluh menit kemudian, ponsel Naira kembali berbunyi dan dari Beni lagi. Rupanya Bu Ari merasa terganggu dengan ponsel Naira yang terus berdering. Dan sampai akhirnya…………