Mata Andin terus memandang laki-laki yang akhir-akhir ini terus bersama dirinya, Beni. Beni yang masih memilah alpukat yang bagus bersama si penjual, membuat Andin tersenyum melihat paras Beni yang lumayan rupawan itu. “Duh, kenapa ya aku ini, dari tadi merasa senang tiap lihat Kak Beni? Ah, tidak, tidak! Aku tidak boleh berpikir macam-macam! Bisa panjang urusannya kalau aku benar menaruh hati untuknya,” ucap Andin lirih.
Beni sudah selesai memilih alpukat dan sudah dibayarnya pula. Lalu, Beni bergegas menuju pintu mobilnya. Andin yang tidak ingin ketahuan kalau dari tadi melirik Beni, cepat-cepat mengubah posisi duduknya seperti yang terakhir dilihat Beni.
Duk.. duk.. duk.. Beni membuka pintu mobilnya dan masuk untuk duduk di tempat untuk pengemudi. “Ah, alpukatnya banyak segar-segar sekali, pasti rasanya enak nih mau di jus atau diapain,” ujar Beni ketika sudah duduk di kursi pengemudi.
Andin melempar senyuman manis ke arah Beni. “Oh, jadi selama ini Kak Beni suka jus alpukat juga?” tanya Andin. Beni tertawa ringan, “hahaha tidak, aku tidak terlalu suka buah alpukat,” balas Beni.
Andin berpikir, Beni yang tidak suka alpukat mengapa membeli alpukat? Di dalam benak Andin mulai percaya diri, “hmm, apa karena alpukat itu sengaja Kak Beni belum buat aku, ya? Kan kebetulan aku suka banget sama yang namanya buah alpukat,” pikir Andin mengangan. “Eh, tapi dari mana Kak Beni tau kalau aku pecinta buah alpukat? Kayaknya aku belum pernah memberi tahu apa-apa tentang buah kesukaanku, deh,” ujar Andin dalam hati.
“Buah ini sengaja aku beli buat Naira, Din,” sahut Beni di tengah ketenangan. Mendengar Beni menyahut seperti itu, diri Andin yang awalnya percaya diri sekali bahwa buah itu untuknya, kini kecewa sekali.
Perasaan Andin yang tadinya senang ingin diberi buah alpukat, seketika hilang dan berubah menjadi kecemburuan yang tidak menentu. Andin hanya mengangguk, tidak melempar satu kata pun pada Beni. Namun, di dalam hatinya kini mulai meraung-raung, “ih kesel deh, aku pikir ini alpukatnya dibeliin untuk aku, ternyata Mbak Naira, ih gemes banget Kak Beni!” seru Andin dalam hatinya yang agak kecewa.
Tak lama kemudian, Beni menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan parkiran mobil. “Andin, kamu hari ini ada kegiatan lain, gak?” tanya Beni sambil melirik Andin yang sedang murung di sebelah kirinya.
“Gak ada,” jawab Andin singkat dan raut wajahnya masih murung.
“Serius? Berarti aku bisa membawamu keluar dengan waktu yang cukup lama, dong?” balas Beni.
Entahlah, perasaan Andin yang sudah terlanjur kecewa itu tidak membalas omongan Beni lagi. Mungkin, Andin butuh waktu beberapa saat untuk mengobati kekecewaannya yang sudah menaruh ekspetasi tinggi pada Beni.
“Din, kok diam aja sih? Tumben nih kamu diem di dalam mobil, biasanya ceria tuh atau bahkan ikutan nyanyi kalau aku putar lagu beginian,” sapa Beni yang merasa tidak biasa melihat tingkah Andin hari itu. Di tambah lagi, Beni sudah memutarkan beberapa lagu mellow yang cocok untuk Andin. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Andin berbicara atau bahkan bersuara. Andin tetap saja menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong.
Beni yang merasa sudah melakukan hal untuk membuat Andin tersenyum atau bersuara, namun tidak membuahkan hasil yang baik. Maka dari itu, Beni memilih diam saja dan tetap melanjutkan untuk mengemudi mobil jazz putihnya.
***
Naira melirik layar ponselnya, berharap ada seseorang yang menghubungi dirinya entah itu untuk membahas hal penting mau pun tidak penting. Naira membuka seluruh kolom chat yang ada di whatsapp¬-nya, dan masih banyak sekali chat teman kerabatnya yang tidak dibalas. Selain itu, Naira mencoba membaca isi chat yang masuk ke dalam grup chat w******p-nya. Dari sekian banyak grup chat w******p yang masuk, tidak ada satu pun pembahasan yang menarik perhatian Naira.
“Huft, bete banget sih aku di sini, gak ada kerjaan, lihat grup w******p juga makin bete,” keluh Naira yang sedang berbaring di atas kasur empuknya. Sejak satu jam yang lalu, Naira naik ke atas kasurnya itu dan tidak ada aktivitas produktif yang ia kerjakan.
Beberapa menit kemudian, sesuatu hal datang menghampiri pikiran Naira. Naira ingin membuka media sosial instagramnya dan menonton beberapa iklan dari minuman yang baru saja rilis.
Kini telah hadir minuman yang cocok untuk segala usia dan segala suasana, mengandung vitamin dan gizi yang seimbang, dapat digunakan sebagai teman minum Anda! Begitulah bunyi dan lirik iklan yang ditonton Naira.
Lalu, Naira tetap menonton iklan itu dan ingin mengetahui minuman rasa apa saja yang akan hadir di supermarket dekat rumahnya itu.
Susu kurma hadir dengan varian baru yang lebih enak, sedap, dan pastinya bikin nagih! Ya, minuman itu bernama s**u kurma alpukat, segar dan sehatnya pasti bikin ketagihan! Dan, buah sepuluh pembeli pertama di outlet terdekat, akan mendapatkan dikson sebesar lima pulih persen! Buruan tunggu apa lagi? Jangan sampai kehabisan ya!
Di dalam iklan tersebut, buah alpukat dan s**u kurma dijadikan objek iklan untuk menarik perhatian penonton. “Waaaaaah, ternyata varian rasa barunya adalah s**u kurma alpukat. Pasti enakkkk banget, wah kebetulan nih aku kan pecinta buah alpukat juga. Aku harus jadi orang pertama yang beli di supermarket dan gak boleh kehabisan!” ujar Naira antusias dan wajahnya ceria. Kemudian, tiba-tiba saja Naira mengingat sesuatu hal lagi dari buah alpukat. Ya, itu tentang Beni. Beni memiliki janji kepada Naira perihal buah alpukat kesukaannya itu.
“Oh iya, aku baru ingat kalau hari ini Beni berjanji sama aku akan membelikan buah alpukat sebagai bentuk rasa terima kasihnya,” ujar Naira sambil menjentikkan jari. Naira yang kebetulan ingin alpukat pasca melihat iklan di media sosial instagramnya, langsung menghubungi Beni.
Sebanyak dua kali Naira menelpon Beni, tidak ada jawaban dari Beni. Begitu pula dengan chat w******p, Beni tidak membalas atau pun membaca chat yang dikirimkan oleh Naira. Naira tidak berhasil menghubungi Beni, pikirannya sudah menjalar ke spekulasi yang aneh-aneh.
“Beni ini kemana sih?! Beni ini lagi ngapain juga sih?! Kok telepon sama chat aku gak dikasih respon sama sekali, Ckck!” sambat Naira yang tetap mengirimkan chat “P” ke Beni sebanyak dua puluh kali lebih.
Pada saat itu, padahal Beni online. Naira yang mengambil kesempatan saat Beni online, mencoba menghubungi Beni lagi dengan cara menelponnya.
Tin.. tin.. tin.. Naira masih menunggu untuk diangkat teleponnya oleh Beni. Dan ketika telepon itu sudah terangkat, Naira langsung nyerocos sebelum Beni berkata “hallo”
“Eh Beni, kamu masih ingat janji kamu gak untuk hari ini? Kamu jangan pura-pura gak tau atau b**o ya, ini aku masih nungguin kamu tepati janji loh!” Naira berkata begitu saja lewat telepon.
“Ha.. ha.. hallo Mbak Naira?” sahut suara seorang perempuan dari telepon Beni.
“Eh? Kok ada suara perempuan? Dan kok perempuan sih yang angkat teleponku? Siapanya Beni ya ini perempuan?” terka Naira dalam hatinya sambil terdiam dan belum membalas sahutan dari perempuan yang mengangkat telepon Beni.
“Hallo Mbak Naira? Maaf mbak, Kak Beninya lagi di jalan mengemudi mobil dan gak bisa diganggu. Mungkin Mbak Naira bisa menelpon Kak Beni lagi kalau sudah sampai,” ucap perempuan itu lagi. Naira menyeritkan dahi, ia seperti kenal sekali dan tidak asing dengan suara perempuan dari balik telepon itu.
“Kak Beni?” Naira mencoba menebak panggilan itu untuk Beni dalam hati. “Oh iya, ini kan suaranya Andin, dan hanya Andin saja lah yang memanggil Beni dengan sebutan Kak Beni,” Naira pun merasa berhasil menjawab pertanyaannya sendiri.
“Andin? Ini Andin kan ya? Kok kamu bisa ada sama Beni sekarang? Kamu lagi dimana dan ngapain sama Beni?” tanya Naira dengan bertubi-tubi pertanyaan.
Akan tetapi, pertanyaan banyak yang dilontarkan Naira tadi belum sempat dijawab oleh Andin lantaran kondisi sinyal Andin dan Naira yang kurang mendukung.
“Hallo, Mbak Nai?” ujar Andin.
“Mbak Naira, hallo?”
“Mbak Naira dengan suara aku, gak?”
“Maaf banget Mbak Naira, disini kayaknya sinyal gak bagus,”
“Mbak?”
“M… bak.. Naira?” ucap Andin terakhir kalinya lewat telepon sebelum telepon itu terputus.
Tut.. tut.. tut.. dan sekian menit kemudian telepon Naira dan Beni terputus. Pasca menghubungi Beni tadi, Naira menampilkan raut wajah yang sedih, kecewa, dan ingin sekali marah. Ada apakah yang ada di dalam diri Naira?
“Ih Beni!!! Kok kamu bisa sama Andin sih hari ini, kalian kencan kah? Atau kamu lagi menyatakan perasaan sayang ke Andin. Beni, kamu jahat!!” ujar Naira dengan keresahan dan kekecewaan yang ia rasakan. Spontan, Naira melemparkan ponselnya itu hingga mendarat di ujung kasur tempat ia sedang duduk.
Wajah Naira seolah melemah. Perasaannya campur aduk dan semakin perih mengetahui bahwa Beni sedang bersama Andin hari ini, dan dalam satu mobil.
Flasback dua tahun lalu, masa-masa indah Beni dan Naira.
Tin.. tin.. tin.. Beni menjemput Naira dengan mobil milik Beni biasanya, yaitu mobil honda jazz berwarna putih. Naira yang sudah menunggu kehadiran Beni untuk dijemput, sedari tadi sudah siap berdiri di depan pintu rumahnya. Naira tampak ayu dengan baju yang ia pakai bermotif bunga dan berwarna kuning. Sementara celana yang ia kenakan, jeans.
Melihat mobil Beni yang sudah sampai di depan rumah, Naira melukiskan raut wajah yang bahagia menyambut kehadiran Beni. Beni membuka kaca jendela mobilnya, “sayang, ayo naik ke mobil,” ucap Beni dengan raut wajah yang tidak kalah bahagia.
Naira mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan Beni. Naira segera melangkahkan kakinya menuju mobil Beni. Naira pun membuka pintu mobil yang ada di sebelah kiri Beni.
“Hmmm, kamu harum sekali malam ini sayang,” ujar Beni setelah menghirup aroma wangi yang berasal dari tubuh Naira.
Naira tersenyum melihat tingkah lucu pacarnya itu, “ah sayang bisa aja, ini parfum yang kamu beliin sebagai kado ulang tahunku kemarin, sayang,” balas Naira.
“Oh ya? Ternyata baunya benar-benar wangi ya, itu artinya salesnya gak boong. Gimana, kamu suka gak sama wangi parfum yang aku beliin?” tanya Beni. Naira mengangguk antusias, “sukaaaa sekali,” kata Naira antusias.
“Kalau bau parfum yang aku pakai saat ini, kamu suka gak wanginya?” tanya Beni lagi.
Naira mendekatkan wajahnya ke arah Beni. Kemudian, Naira mendekatkan posisi hidungnya tepat di atas bahu Beni, tempat Beni biasa menyemprot parfumnya.
“Hmmm, wanginya juga enak sayang, seger, dan gak bikin sakit kepala,” jawab Naira yang jawabannya itu membuat Beni senang.
“Serius? Benar kah, sayang? Kalau begitu pilihan aroma partfumku tidak salah seratus persen ya,” kata Beni kegirangan Naira menyukai baunya.
“Kamu memang hebat memilih aroma parfum, sayang, jadi tambah sayang deh,” tiba-tiba Naira langsung memeluk Beni di samping kanannya. “Eh, maaf maaf sayang, aku reflex saking senangnya,” Naira pun meminta maaf.
Beni yang awalnya tercengang melihat Naira yang tiba-tiba memeluknya, tiba-tiba ia memilik perasaan yang senang pasca dipeluk. “Oh, iya, gak apa-apa kok sayang kalau kamu peluk aku, kan aku pacar kamu. Kalau peluk itu artinya tanda sayang,” ujar Beni sambil tersenyum manis dan matanya menyipit merayu ke arah Naira. Naira hanya bisa tersenyum dan menundukkan kepala, “ah kamu ini sayang,” ucap Naira malu.
Beni pun menyalakan mesin mobilnya, dan memutar balikkan mobilnya ke arah gang untuk keluar kencan dengan Naira. “Udah siap ya, gak ada barang kamu yang ketinggalan, kan?” tanya Beni memastikan pada pacarnya itu.
“Hmm, kayaknya gak ada sih, dompet, ponsel, uang, tissue, charge, udah deh gak ada yang ketinggalan sayang,” balas Naira sambil mengecek satu per satu apa yang sudah ada di dalam tasnya.
“Oke deh, kalau begitu kita berangkat kencan sekarang ya,” kata Beni. Naira mengangguk senang.
Ngeng.. ngeng.. ngeng.. mobil jazz putih Beni langsung melajukan kecepatannya dengan standar, melewati ke luar gang rumah Naira. Beni dan Naira menikmati perjalanan malam itu, ditemani dengan bintang-bintang yang tersebar indah di atas langit. Tak pernah absen senyum keceriaan dan kebahagiaan dari wajah Beni dan Naira, dua sejoli yang sedang memadu rasa cinta.
“Sayang, kita mau kencan kemana nih, kafe, mall, laut, atau restoran seafood?” tanya Beni kepada Naira.
“Terserah sayang deh, yang penting kita berdua terus, hehe,” jawab Naira yang dirasa tidak menjawab pertanyaan Beni.
“Lho, kok gitu, sayang? Aku gak tau kamu suka apa dan pengen kemana,” ungkap Beni.
“Hehehe, kemana ya, kafe aku sudah bosan, kalau ke mall capek jalan,” tutur Naira.
“Oh kalau begitu kita ke restoran seafood aja ya, kita nyemil ikan bakar,” saran Beni.
“Hah nyemil ikan bakar? Ya elah sayang, itu kan mahal banget. Lagi pula aku juga sudah kenyang banget tadi makan banyak di rumah,” jelas Naira. Beni mengangguk.
“Jadi kemana dong, sayang? Tapi kamu mau nyemil, gak?” tanya Beni.
“Mau-mau aja sih, aku mau nyemil takoyaki, sayang!” jawab Naira memberi jawaban.
“Oke lah, permintaan Tuan Puteri kesayangan Beni diterima! Kita meluncur ke kedai takoyaki biasanya, ya,” ujar Beni.
“Siap, siap, tapi kamu ya yang bayarin takoyakinya, sayang?” Naira meminta ditraktir.
“Ah siap! Tenang aja, pasti aku bayari kok, sayang!” tandas Beni.
Mereka berdua akhirnya memilih tujuan untuk ke kedai takoyaki untuk berkencan pada malam itu.